Kesisipan Bhatara Kawitan

Realitas di masyarakat menunjukkan bahwa banyak orang mengalami sakit yang tak kunjung sembuh. Sudah berobat ke dokter, justru penyakitnya tak pernah terdiagnosa, sehingga dokter hanya bisa meraba-raba dan memberi obat yang tak pas. Dibawa ke dukun, juga tak kunjung sembuh, malah dikatakan kena ilmu hitam saudara yang punya perasaan iri. Justru sampai di rumah jadi bertengkar dan cekcok dengan saudara. Setelah sekian lama berobat, sekian banyak uang habis untuk berobat, lalu dicoba bertanya ke jero dasaran, konon katanya kesisipan dari Ida Betara di merajan atau kawitan. Disarankan untuk tangkil menghaturkan guru piduka, akhirnya berangsur sembuh.

Ada lagi sekeluarga besar cekcok tak berkesudahan dalam rumah tangga, sampai akhirnya mereka tak bertegur sapa satu sama lain. Seolah-olah permasalahan yang dihadapi selalu menemui jalan buntu yang berujung pada pertengkaran. Masalah sepele menjadi perseteruan hebat. Pokoknya ada saja dalih untuk bertengkar. Seperti keluarga tersebut diselimuti awan gelap, tak ada pikiran terang sedikitpun.

Di lain pihak seringkali sebuah keluarga selalu dirundung malang, selalu diliputi kesedihan karena ditimpa musibah, kecelakaan, kehilangan, kesakitan,  setiap usaha yang dibuat selalu merugi, bangkrut dll.

Lain lagi ceritanya, setelah sekian lama menderita sakit seseorang berobat ke dokter dan ke dukun tak sembuh-sembuh, lalu bertanya ke Jero Dasaran dikatakan tak terjadi apa-apa. Namun pada suatu hari salah seorang keluarganya kerauhan mengatakan bahwa damuh Ida Betara tak pernah tangkil ke Kawitan, ke Merajan Agung atau ke Paibon. Akhirnya setelah menghaturkan guru piduka, dan tangkil bersembahyang ke sana, akhirnya berangsur sembuh.

Pernah kejadian pula seseorang bujang, sebut saja namanya Wayan Begug bekerja di Denpasar. Ia berasal dari Songan, Kintamani,  Bangli, namun jarang pulang. Pada suatu hari ia mengalami sakit dan badannya terasa tak enak. Ia mengira ini sakit akibat kelelahan biasa. Namun setelah beristirahat cukup, justru penyakitnya tak kunjung reda. Sampai akhirnya ia beristirahat berhari-hari. Ia mencoba untuk berobat ke dokter, namun tak sembuh. Ia mencoba minum jamu-jamuan, malah tak berkasiat apa-apa. Sampai akhirnya ia mencoba untuk mengkonsultasikan dirinya ke grya dimana di sana ada orang wikan / pintar. Di sana didapat bahwa yang bersangkutan kesisipan di sanggah, diharapkan untuk pulang tangkil kehadapan Ida Betara Kawitan. Walaupun sebenarnya ia di kos setiap hari ngayeng / nyawang / ngayat  Ida  Betara Kawitan agar dituntun jalan menuju keselamatan dan kebaikan. Namun demikian ia tetap diharapkan untuk tangkil kehadapan Ida Betara Kawitan. Akirmya ia segera pulang untuk tangkil ke merajan kawitan dan akhirnya ia segera sembuh.

Mendengar beberapa contoh di atas, hal tersebut rasanya tak masuk akal. Namun itulah realitas di masyarakat Bali. Kejadian ini banyak terjadi di kalangan masyarakat Bali Hindu. Istilah ini disebut dengan kesisipan (dipersalahkan) oleh Ida Betara kawitan atau leluhur. Karena pretisentana (keturunan) yang masih hidup tak pernah pedek tangkil ke asal mula tempat leluhur berstana. Akibatnya, leluhur akan memberi peringatan kepada para sentana yang malas atau lupa dengan kawitannya. Peringatan ini sejatinya leluhur sangat sayang kepada sentana agar tak terlena dengan hidup di dunia, tidak malas memuja Ida Betara Kawitan dan Ida Sanghyang Widhi. Dari alam sana para leluhur membimbing sentana untuk senantiasa menjalani yang namanya kemuliaan.

Mengapa hanya kesisipan oleh leluhur (kawitan?). Mengapa jarang terdengar kesisipan oelh Ida Betara di Pura Kayangan Jagat, atau lainnya? Karean leluhur merasa bertanggung jawab terhadap sentananya, karena leluhur mempunyai hubungan langsung dan masih memiliki hubungan emosional dengan sentananya. Demikian juga kalau diandaikan secara sekala seperti seorang anak yang nakal, maka yang diperingati adalah orang tuanya, dengan harapan orang tuanya akan memperingati anaknya agar tak nakal. Kia-kira demikian juga terjadi di niskala, sehingga lebih sering kita dengan kesisipankarena betara Kawitan. Walaupun selain kawitan bisa saja orang mengalami kesisipan di pura umum karena melakukan kesalahan tertentu, sehingga betara melalui pengawal atau ancangan pura tersebut memberikan semacam peringatan.

Bagaimana kejadiannya dengan I wayan Begug yang sudah rajin ngayeng Ida Betara Kawitan dari tempat kostnya? Perlu diketahui bahwa ngayeng itu adalah mengayat atau memuja Ida Betara dari tempat yang jauh. Ngayeng dilakukan apabila yang bersangkutan tak sempat tangkil karena faktor jarak tinggalnya yang terlalu jauh, atau karena waktu yang sangat mendesak. Ketika Ida Betara di-ayeng, maka Ida Betara akan hadir dimana beliau di-ayeng untuk mendengar segala doa dari yang ngayeng. Namun perlu diingat bahwa ngayeng itu dilakukan ketika kepepet artinya tak sempat menghadap langsung. Ngayeng itu kalau di dunia manusia bisa diandaikan seperti berdoa lewat telepon atau mengirim doa lewat “sms”. Namun tak boleh terus-terusan begitu. Kalau ada kesempatan, mestinya datang atau menghadap langsung ke kawitan. Itulah yang diharapkan. Seperti kita menghadap kepada orang tua, tak selamanya kita akan  bicara lewat telepon atau sms. Kalau ada kesempatan, alangkah baiknya bertemu langsung, bisara langsung, tatap muka langsung, jadi akan terjadi jalinan emosional yang semakin dekat dan semakin kuat. Karena diantara sentana dan leluhur sejatinya masih ada hubungan emosional, ada kerinduan diantara  keduanya bail sentana yang ada di dunia dengan leluhur yang sudah berada di alam sunya. Inilah yang perlu dipahami mengapa banyak orang kesisipan karena leluhur.

Lalu timbul pertanyaan kenapa Ida Betara di Besakih atau kayangan jagat tak pernah membuat kesisipam. Karena beliau sifatnya kayangan jagat dan beliau boleh dipuja dimana saja, dan beliau sudah dipuja langsung di setiap kayangan tiga atau kayangan umum dimanapun berada. Kalaupun toh beliau akan memberikan peringatan kepada damuh betara, maka Ida Betara kayangan jagat akan meminta kepada leluhurnya untuk memberi peringatan kepada sentananya yang malas. Atau Ida Betara Sungsungan Jagat (Ida Sanghyang Widhi Wasa) sudah menciptakan hukum adil yang disebut dengan hukm karmapala. Artinya bahwa hokum tersebut akan bertindak dengan sendirinya, tak perlu diawasi, dan pasti berlaku adil untuk siapa saja. Oleh karena itu sebagai manusia Bali, akan terikat dengan tiga hukum di dunia ini yakni hukum negara, hukum agama atau hukum Tuhan (karmapala) dan hukum leluhur kawitan seperti yang dituliskan dalam bhisama leluhur. |sumber