Makna dan Filosofi Lawar Di Bali

Lawar adalah masakan khas Bali yang umumnya terbuat dari  parutan kelapa yang dicampur dengan daging cincang (babi atau ayam atau penyu), bumbu Bali, dan tentunya darah setengah matang. Lawar merupakan masakan yang wajib ada dalam setiap kegiatan pesta adat masyarakat Bali. Karena tanpa lawar, makanan yang disajikan menjadi kurang lengkap. Selain enak, lawar sebagai makanan tradisional Bali ternyata memiliki filosofi tersendiri.

Lawar mengandung makna keharmonisan dan keseimbangan. Hal ini dilihat dari bahan-bahan pembuatnya yaitu :

  • parutan kelapa (putih, simbol Dewa Iswara di timur)
  • darah (merah, simbol Dewa Brahma di selatan)
  • bumbu-bumbu (kuning, simbol Dewa Mahadewa di barat) dan
  • terasi (hitam, simbol Dewa Wisnu di utara).

Keempat arah mata angin tersebut melambangkan keseimbangan. Selain itu sifat-sifat bahannya yang berupa

  • rasa manis (kelapa)
  • asin (garam)
  • pahit (buah limo)
  • pedas (bumbu)
  • amis (darah), asam (asam) dan
  • bau kurang sedap (terasi)

jika mampu meraciknya dengan tepat akan menghasilkan rasa yang nikmat. Hal ini merupakan filosofi bagi seorang pemimpin dalam mengoptimalkan potensi-potensi rakyatnya yang berbeda-beda sehingga bisa menciptakan keharmonisan.

Filosofi yang sering diutak-atik di Bali adalah tentang makna “kosong” dan “penuh”. Kosong acap diberi arti tentang keheningan, bukan kenestapaan. Kosong, nol, bukan hampa, sering dianggap sebagai sesuatu yang tertinggi, paling mulia, luhur, dan maha luas. Hanya mereka yang kenyang pengalaman hidup, pernah mengalami yang paling tinggi, bias bertemu dengan kosong. Mereka yang sudah pernah penuh, baru kemudian bias menikmati kosong.

Hakikat kosong dan penuh ini lazim menjadi pembicaraan ketika Hari Raya Nyepi. Orang-orang berdebat tentang ujung dan awal tahun yang meriah penuh, hening, kosong. Penuh dan kosong dihayati sebagai sebuah siklus, mata rantai tak kenal putus. Orang-orang yang sangat menikmati kemeriahan penuh hiruk-pikuk pengerupukan sehari menjelang Nyepi, karena mereka yakin besok pasti bersua kosong. Tapi, di Bali, orang lebih suka menikmati penuh tinimbang meresapi kosong. Hanya para yogin, penekun spiritualisme, merasa sangat bahagia jika bersua dengan kosong. Berjam-jam mereka bersemedhi agar bisa berada dalam wilayah maha luas. Sebaliknya, banyak orang merasa terpuaskan jika diri terpenuhi, dan merasa sengsara jika mereka berada dalam kosong.

Kendati orang Bali menghayati filosofi penuh dan kosong, tampaknya jauh lebih banyak yang senang dengan penuh. Cermatilah seni lukis Bali, sangat meriah dan seluruh bidang kanvas penuh oleh gambar. Seni lukis gaya Batuan memenuhi bidang kanvas dengan coretan-coretan: turis memotret perempuan mandi, pedagang bakso lewat, di udara melintas pesawat terbang, dan di laut kapal berlayar dengan cerobong mengepulkan asap.

Masakan Bali seperti lawar, kalau dicicipi, rasanya juga penuh, meriah. Bumbu seperti bawang putih, cekuh, terasi dan pala, diolah dengan tiga perlakuan: digoreng, dipanggang, dan dinyanyah. Lawar pun gurih dan khas. Rasa menjadi liat dan padat, sungguh-sungguh terasa khas lawar.

Tidak hanya dalam urusan lawar dan lukisan, orang Bali suka yang penuh, pekarangan rumah mereka pun penuh. Bangunan tersebar di empat penjuru angin: meten di utara, bale dangin (timur), bale dauh (barat), dan paon/pawon (dapur) di selatan. Jika keluarga beranak pinak banyak lelaki mereka enggan meninggalkan natah itu, lebih senang tinggal berdesak-desak di pekarangan tempat mereka tumbuh. Jika anak-anak itu beranak pinak pula, semakin penuhlah halaman rumah itu. —sumber