BALI EXPRESS, DENPASAR – Pamali atau yang oleh masyarakat Hindu di Bali disebut Pemali, merupakan fenomena yang menarik untuk dibahas. Pasalnya, tak jarang masyarakat yang mengeluh mengalami sakit pada bagian tubuh tertentu, perasaan tidak tenang, hingga demam, karena hal-hal yang sepele, seperti lalai menaruh barang, menanam pohon yang tak semestinya di pekarangan. Bahkan, karena bagian bangunan tak sesuai ukuran.
Percaya atau tidak, pamali ini pernah dialami oleh sejumlah orang Bali. Pinandita Ketut Pasek Swastika mengakui, fenomena ini cukup unik untuk dibahas, namun benar-benar ada dan pernah ia lihat sendiri. Secara sederhana, ia menjelaskan, pamali berhubungan dengan tindakan atau perilaku masyarakat Hindu, khususnya di Bali.
“Pamali sebenarnya kesalahan yang dibuat oleh kita dengan tidak sengaja yang menimbulkan efek negatif. Contohnya salah menaruh barang, salah menanam sesuatu, atau tanaman melewati areal pekarangan,” ujarnya kepada Bali Express (Jawa Pos Group), Senin (10/4/2017).
Misalnya, ia menuturkan, dalam lontar Taru Pramana dinyatakan, Tan wenang sarwa buku tinanem ring palemahan. Artinya, tumbuhan yang berruas tidak boleh ditanam di pekarangan. Contohnya adalah bambu, tebu, dan sebagainya.
“Secara logika itu menghabiskan tempat. Selain itu, bambu dan tebu kan memiliki medang atau bulu-bulu halus yang menyebabkan gatal,” ujarnya.
Pinandita Ketut Pasek Swastika melanjutkan, pamali juga bisa disebabkan karena menaruh barang tidak pada tempatnya. Misalnya menjemur pakaian di kawasan tempat suci, itu bisa jadi pamali. Bisa pula karena menanam sesuatu, tapi akar, batang, dahannya melewati pekarangan. Apalagi di sebelahnya ada pekarangan orang lain.
Tidak hanya itu, salah membuat bangunan juga menyebabkan pamalinan. Makanya, dikatakannya, ada istilah bale cacat, yakni ukurannya tidak sesuai dengan perhitungan asta kosala-kosali atau asta bhumi. Misal untuk fondasi ada ukurannya tradisionalnya dengan hitungan tinggi, candi, watu, segara, gunung, dan rubuh.
“Candi untuk tempat suci, watu untuk rumah, segara untuk gaing atau pembatas sumur, gunung untuk tembok, sedangkan rubuh tidak digunakan. Kalau itu salah, tentu jadi pamali,” terangnya.
Menariknya lagi, pamali bisa disebabkan oleh kesalahan dalam pembuatan tempat tidur atau dipan. Masyarakat Bali percaya palang-palang di bagian bawah dipan harus sesuai hitungannya. Palang yang pendek memiliki hitungan, yakni likah, wangke, wangkong. Sedangkan yang memanjang memiliki hitungan galar, galir, dan galur.
“Likah untuk manusia, wangke untuk mayat, dan wangkong yang menyebabkan sakit pinggang,” jelasnya. Demikian pula galar untuk dipan, galir menyebabkan dipan tidak kuat dan terkadang berbunyi, sedangkan galur menyebabkan dipan cepat rusak.
Pinandita Ketut Pasek Swastika menjelaskan, benda-benda, pekarangan, atau tumbuhan di sekitar memiliki pengaruh ke tubuh manusia, terutama penghuninya. “Itu ada. Karena ada konsep makrokosmos (alam semesta) dan mikrokosmos (tubuh manusia). Antara kedunya saling mempengaruhi. Makanya ada istilah loro loroning atunggal, dua unsur menjadi satu,” jelasnya.
Ia mencontohkan seperti konsep dewata nawa sanga atau pangider bhuana. Di dalam konsep tersebut ada dewanya, aksaranya, warna, unsurnya, dan sebagainya. Kalau salah menempatkan, tentu akan menimbulkan dampak.
“Misalnya antara unsur yang semestinya ditaruh di utara tertukar dengan yang di selatan, tentu seperti orang yang sungsang (kepala di bawah dan kaki di atas). Tentu lama-lama menjadi sakit,” terangnya.
Di samping itu, Wakil Ketua PHDI Provinsi Bali tersebut mengatakan, fenomena tersebut juga tidak bisa dilepaskan dari kebiasaan masyarakat Hindu di Bali mangurip-urip (menghidupkan secara gaib) benda tertentu, sehingga memiliki energi. Mulai dari pekarangan, bangunan, hingga ke pelangkan atau dipan. Kalau energi benda tersebut dengan energi tubuh bertentangan, tentu akan ada efek yang timbul. Apakah ini berarti menjadi umat Hindu ribet?
“Tidak, justru dengan ini masyarakat Hindu di Bali senantiasa berhati-hati dalam bertindak. Kalau benar, maka akan mendatangkan manfaat, tapi kalau salah, tentu akan datang permasalahan,” jelasnya.
Lalu, mengapa terkadang dalam satu rumah tidak semua penghuni terkena dampaknya? Pinandita Ketut Pasek Swastika mengatakan, ada istilah masyarakat Bali menyebutkan tampak panas dan dingin. “Misalnya tampak tangan atau garis tangannya bagus, tentu yus (energinya) baik dan tidak terpengaruh oleh energi yang negatif. Nah, di dalam keluarga kan tidak semua energinya sama. Kalau ada yang lemah, dialah yang kena,” ujarnya. Tapi kebanyakan yang kena dikatakannya adalah kepala keluarga. Hal itu karena kepala keluarga yang bertanggung jawab kepada keluarganya.
“Itu khusus untuk palemahan atau pekarangan. Tapi kalau benda, misalnya tempat tidur, maka yang tidur di sana yang kena dampaknya,” imbuhnya.
(bx/adi/rin/yes/JPR) –sumber