BALI EXPRESS, DENPASAR – Dapur dalam bahasa Bali disebut Paon atau Puwaregan ini, tak hanya menjadi tempat memasak. Namun, punya fungsi khusus menurut keyakinan Hindu.
Di Bali, dapur memiliki beberapa nama, yakni Pawaregan, Peratengan, dan Paon. Ketiga sebutan tersebut sangat lazim didengar telingan masyarakat Bali. Kata Pawaregan berasal dari kata wareg yang berarti kenyang (tidak lapar). Agar mampu terhindar dari rasa lapar, maka manusia harus makan, dan tempatnya adalah di dapur. Selanjutnya adalah Peratengan yang berasal dari kata matang yang artinya masak.
“Seperti diketahui bahwa aktivitas memasak untuk membuat olahan menjadi matang adalah di dapur,” ujar Budayawan Denpasar I Gede Anom Ranuara yang diwawancarai Bali Express (Jawa Pos Group) di Denpasar Rabu (28/6/2017).
Lebih lanjut kata Anom, khusus untuk kata Paon adalah sebuah istilah yang paling sering didengar. Kata ini sesungguhnya berasal dari istilah Pa Abuan yang artinya tempat abu. Tentu dengan demikian sangat mengena dengan konsep memasak masyarakat Bali zaman dahulu. Di mana sebagian besar menggunakan bungut paon atau tempat memasak yang berasal dari batu bata atau tanah liat. Di bungut paon inilah nanti abu sisa pembakaran kayu bakar akan terkumpul, sehingga dikenal dengan sebutan paon.
Selain dikenal sebagai tempat untuk memasak, dapur di Bali memiliki banyak makna, baik untuk upacara agama maupun sebagai tempat penyucian diri. Hal tersebut dikaitkan dengan Dapur sebagai Stana Dewa Brahma. “Jadi, untuk memohon panglukatan kepada Dewa Brahma, masyarakat diharapkan memohon di pelangkiran dapur,” ujarnya.
Dalam lontar Wariga Krimping disebutkan bahwa, Dewi Saraswati yang merupakan sakti dari Dewa Brahma sebagai dewa yang memberikan penyucian diri. Ketika seseorang mengalami sebel atau cuntaka setelah melakukan upacara Pitra Yajna, dapat memohon panglukatan kepada Dewa Brahma di pelangkiran dapur.
Selain itu, dalam lontar Dharma Kahuripan dan lontar Puja Kalapati, dijelaskan bahwa bahwa tahapan upacara matatah disebutkan, dalam rangka magumi padangan, upacara ini juga di sebut masakapan kepawon dan dilaksanakan di dapur.
Dalam pertamanan tradisional Bali berlandaskan unsur satyam, siwam, sundaram, religi dan usada, juga disebutkan bahwa tanaman untuk keperluan dapur dan tanaman obat-obatan untuk keluarga (toga) biasanya ditanam di dekat dapur. Pohon kelor (Moringaoleivera L) sebagai penangkal dan menghancurkan kekuatan negatif. Tanaman buah-buahan sebaiknya ditanam di areal ‘teba’ (tegalan) dekat dapur atau di bagian luar natah lainnya.
Selain sebagai tempat memasak atau pun tempat makan, ternyata dapur juga menetralisasi ilmu hitam atau pun butha kala yang mengikuti sampai ke rumah. Pernyataan tersebut tertuang dalam Lontar Asta Kosala Kosali dan Asta Bumi.
Oleh karena itu, anggota keluarga yang berpergian hendaknya mengunjungi dapur terlebih dahulu, sebelum ke bangunan utama rumah ketika sudah pulang atau datang dari luar.
Tak jarang di Bali muncul mitos bila penghuninya tidak ke dapur terlebih dahulu, ketika sampai di rumah, maka bhuta kala atau segala ilmu hitam mengikutinya sampai di dalam kamar. “Sampai akhirnya penghuni rumah tersebut mengalami perasaan tidak tenang (seperti dihantui) dan tiba-tiba jatuh sakit tanpa sebab yan pasti,” tuturnya.
Hal tersebut menandakan bahwa jalanan juga dilalui oleh mahluk niskala (gaib). Namun, pada dasarnya manusia tidak semuanya dapat melihat mahluk gaib tersebut, karena hanya orang-orang tertentu yang memiliki indera keenam yang dapat melihatnya. Tidak jarang juga mahluk gaib itu mengikuti manusia ketika dalam perjalanan sampai ke rumah , sehingga perlu adanya upaya untuk mencegah terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan.
Selain itu, beberapa upacara Yadnya di Bali sangat berkaitan erat dengan Puwaregan atau dapur, seperti Ngalukat Bobotan untuk melenyapkan atau melebur segala noda kotoran (leteh) suatu kandungan. Juga ritual Pangelepas Awon untuk bayi berumur 12 tahun. “Dengan banten pacolongan untuk upacara kambuhan untuk membebaskan dari pengaruh-pengaruh negatif tri mala.” katanya.
(bx/gus /yes/JPR) –sumber