BALI EXPRESS, DENPASAR – Pamor Joged Bumbung kembali mencuat, menyusul diunggahnya tarian joged dan pangibing jaruh (porno) pekan lalu di media sosial. Tarian yang sering digunakan sebagai hiburan di sela-sela pelaksanaan upacara manusa yadnya atau pitra yadnya ini, sudah jauh menyimpang dari pakemnya.
Ketua Program Doktor (S3) ISI Denpasar, Prof.I Wayan Dibia
mengungkapkan, joged berawal dari tarian Legong yang sudah muncul di daerah Sukawati. Kemudian ada tarian Joged Pingitan yang khusus ditarikan pada tempat yang disakralkan saja. Setelah munculnya joged tersebut, lanjut Dibia, baru muncul tarian Joged Bumbung. Tarian ini hanya untuk hiburan semata. Bahkan dulu sering dipentaskan di jaba pura dan balai banjar. “Sampai saat ini, awal dari tarian Joged Bumbung belum diketahui secara pasti kapan munculnya. Namun, karena ada sebuah kesepakatan, maka pada tahun 1740 dianggap berawal tarian tersebut,” terang pria 70 tahun ini, ketika ditemui di Taman Budaya, Denpasar, pekan kemarin.
Seiring berjalannya waktu, lanjut Dibia, tarian rakyat ini
terus berkembang sampai sekarang. Bahkan, dulu hanya menggunakan gambelan seadanya, sesuai dengan kemampuan masyarakat.
Berawal dari tahun 1986, lanjutnya, mulai ada tarian yang gerakannya erotis. “Karena joged merupakan sebuah tari pergaulan, sehingga gerakan-gerakan sensual yang memang sudah ada dari dulu, akhirnya diadopsi,” terangnya.
Tetapi ketika itu, pihaknya meminta agar sewajarnya saja, sehingga tidak jadi seronok. Di samping itu juga karena sudah sesuai dengan pakemnya.
Namun, pada tahun 1980 sudah mulai ada gerakan pada bagian pinggul. “Yang pertama hanya goyang biasa, kemudian berlanjut pada tahun 1990 sampai ke bagain gerakan pinggul yang maju mundur,” ulasnya.
Dibia mengatakan, sempat hilang gerakan erotis tersebut pada tarian joged. Namun, pada tahun 2001 kembali lagi ada gerak tambahan seperti itu. Bahkan benar-benar dianggap sebagai tarian yang merusak pakem, terlebih dengan penggunaan kamben yang di atas lutut. “Penari joged pada umumnya menggunakan sebuah gelung di kepalanya. Selain untuk mempercantik penampilan agar terlihat lebih menawan, juga mempunyai taksu ketika menari,” urainya.
Tarian Joged Bumbung merupakan tari pergaulan yang sering dipentaskan pada tempat yang disakralkan, tetapi tidak disebut dengan tari wali. Karena merupakan tari yang difungsikan sebagai hiburan saja.
“Tariannya sangat fleksibel dan sesuai dengan kemampuan masyarakat. Tidak ada patokan yang kaku soal pangiring berupa gambelan dalam pementasannya,” paparnya.
(bx/ade/rin/yes/JPR) –sumber