Bagi seorang brahmana, perjalanan tirtayatra sembari menyampaikan pesan-pesan Kitab Suci Wedha pada seluruh umat manusia merupakan kebahagiaan sejati. Begitulah yang terjadi pada diri Bhagawan Saradwan, putra Bhagawan Gotama.
Pagi itu, usai menyampaikan pesan-pesan Wedha yang tertuang dalam larik sloka kepada kelompok petani yang hendak berangkat menggarap tegalannya, ia pun melakukan meditasi surya sewana pada Dewi Savitri. Memujanya dan memohon keselamatan untuk dunia. Denting genta pun membahana menaklukkan batin yang resah menapaki ruang ketenangan.
Para petani itu pun lantas memohon berkah darinya. Bhagawan Saradwan sepenuh kemampuannya memberikan segala yang dimilikinya, sebelum pamitan utnuk melanjutkan perjalanan menuju selatan guna melanjutkan brata tirtayatra.
“Tuan, akan melewati hutan sebelum menemui dataran tinggi wilayah selatan….” Ujar salah seorang petani tua.
“Dan, ditengah hutan itu Tuan akan menemui sungai, yang kata orang, sungai itu berair jernih dan berbau harum….” Sahut yang lainnya.
“Konon, sungai itu tempat mandinya para bidadari…..” timpal petani yang lebih muda.
Bhagawan Saradwan hanya tersenyum saja, ia tak mau berkomentar membahas masalah itu. Karena sesuatu yang tak pasti, akan membuat perjalanannya tidak lancar.
“Terima kasih, atas informasi kalian. Kini, saya hendak melanjutkan perjalanan. Saya mohon diri,” katanya. Beberapa petani memetikkan buah-buah segar untuk bekal Sang Bhagawan melalukan perjalanan menuju wilayah selatan.
Hari mulai beranjak senja, manakala kakinya menginjak perbatasan desa dengan pinggiran hutan. Suara burung yang tadinya ramai berkicau, mulai meredup. Dan, berganti suara jerit kalelawar, yang mulai muncul satu, dua ekor beterbangan di udara menyambut langit jingga. Begitu pula, burung srigunting yang mencari mangsa mulai beterbangan dari sarangnya. Bhagawan Saradwan benar-benar menikmati nyanyian alam yang tidak pernah ia saksikan tatkala masih menuntut ilmu di pasraman ayahandanya.
Dilihatnya, belukar mulai melebat. Saat ia mulai memasuki wilayah hutan. Ia mulai memasang mata, karena tidak mau mengganggu jalannya sang ular. Jika terganggu bisa saja ia kesal, lantas mematuknya. Namun matahari mulai bersembunyi dibalik latar cakrawala gelap. Sinarnya, tak lagi menjangkau kedalaman hutan.
Sehingga sepasang matanya tak mampulagi melawan kegelapan. Ia tak akan bisa mengharapkan sang rembulan membantunya. Sebab hari itu ia tahu benar, berdasarkan dauh rembulan mengalami proses kematian. Dauh menyebut dengan istilah Tilem. Akhirnya, ia putuskan untuk istirahat saja, namun sebelum menutup sang petang seperti biasa ia meditasi. Pasrah kehadapan Sang Pencipta, Brahman Yang Agung.
Malam semakin gelap, tak satupun bintang hadir menghias tabir langit. Seolah enggan menyapa mayapada. Suara lolongan srigala liar makin menjadi, begitu pula babi hutan. Sesekali auman macan menyiksa telinga. Sang Bhagawan sadar, kalau ia masih tinggal disana dan matanya lelah. Bisa-bisa saat mentari menguak pagi, tubuhnya tinggal kerangka saja.
Maka, tanpa pikir panjang ia memanjat pohon besar. Sembari mulutnya komat-kamit mengucapkan sloka-sloka suci Wedha. Tepat pada puncak kegelapan. Ia terlelap di dahan ranting. Dalam mimpinya ia bertemu dengan seseorang yang berparas cantik yang muncul dari rimbun bunga. “Akh! Siapakah gadis berambut cantik itu?” batinnya. Namun, si gadis tak berucap kata, ia hanya menyerahkan sebilah busur dan sepasang anak panah.
Bhagawan Saradwan menampik pemberian itu, pasalnya ia tak biasa membunuh. Namun, ia tak mampu menolak. Dirinya tak enak hati, kalau orang yang memberinya ikhlas jatuh kecewa. Dalam pergumulan bathin didalam mimpinya, membawanya kepenghujung pagi. Diufuk timur, sinar kemerahan jelas terlihat dari ketinggian. Kokok ayam hutan, membangunkannya. Burung-burung mungilpun ramah berlompatan di ranting-ranting dekat tempatnya istirahat. Ia tengadahkan tangannya, perlahan udara segar merasuk kealiran nadinya.
Baru saja ia hendak turun, matanya terpaku pada busur dan sepasang anak panah. Ia usap kedua matanya, namun busur yang tergantung di ranting dan sepasang anak panah itu masih tetap teronggok dihadapannya. Ia cubit lengannya sakit. “Berarti malam itu benar adanya, gadis itu datang dan memberikan busur dan panahnya?!” pikirnya. Ia ambil benda itu, ditimang-timangnya, lalu dikalungkannya dilehernya. Sepasang anak panah itu digemggamnya, saat ia menyatukan telapak tangannya. Ajaib panah itu menghilang. Menyatu dengan busur yang bertengger dilehernya.
“Aneh!” pekiknya. “Sudahlah, aku tak akan membuang waktu. Usai mandi disungai aku harus melanjutkan perjalanan. Dan, aku sangat berterima kasih sekali, pada siapapun yang tinggal di pohon ini atas anugrahnya, semoga Tuhan memberikan jalan keselamatan baginya,”bisiknya.
Saat kakinya menyentuh tanah, suara halus aliran sungai didengarnya. Ia pun segera menuju arah suara debur. Hanya beberapa menit, suara itu semakin jelas. Sungai tak jauh lagi. Ia pun bergegas. Saat memasuki area sungai, betapa terperanjat dirinya oleh warna pelangi yang berpendar. Dan, ia melihat seorang gadis sedang mandi, berkecipak air bening.
Secapat mungkin ia mengalihkan pandangannya, ia sadar perbuatan mengintip adalah dosa. “Uphs ! Sepagi ini aku mendapat godaan, namun diriku mesti tabah menghadapi,”gerutunya.
Ia pun menunggu gadis itu selesai mandi. Karena ia pun hendak mandi. Tak lama kemudian gadis itu menyongsongnya.
“Kanda, aku telah selesai mandi,”tegurnya.
Merdu sekali suara itu. Karena merasa tiada orang lain di sana, Bhagawan Saradwan menoleh. Betapa terperanjatnya ia, gadis yang menegurnya itu; gadis yang hadir di mimpinya semalam.
“Aku seorang bidadari yang kena hukuman Dewata, Kanda. Dan, selama sekian tahun harus menetap dan tinggal di busur itu,”katanya, jemari lentiknya menunjuk ke leher Sang Bhagawan.
“Siapapun lelaki yang ikhlas, lantas mengalungkan busur dilehernya adalah suamiku. Kelak, aku melahirkan sepasang putra lelaki dan perempuan, baru kutukan itu selesai. Aku berhak kembali ke Swarga Loka.”
Mendengar pengakuan tulus gadis cantik itu, hati sang Bhagawan luluh. Ia pun menerima wanita itu sebagai istrinya.
Akhirnya, perjalanan Bhagawan Saradwan tertunda sementara waktu. Ia pun tinggal menetap disana bersama istrinya yang setia. Sembilan bulan setelah pernikahannya dengan putri bidadari, ia peroleh putra dan sembilan bulan kemudian, ia memperoleh seorang putri. Seperti biasa putra-putrinya keluar masuk di busur tempat bundanya menjalani hukuman. Setelah si bungsu sudah bisa merangkak dan belajar berdiri, Putri Bidadari menghadap Bhagawan Saradwan.
“Maafkan, Dinda. Berani lancang menghadap Kanda….”sapanya santun.
“Oh, tak jadi masalah, Dinda tidak mengganggu Kanda…”sahut Bhagawan Saradwan sedih, karena ia sadar istrinya akan meninggalkannya.
“Sudah saatnya Dinda mengakhiri masa hukuman, putra-putri kita sudah beranjak besar. Kanda sudah mampu mengasuh mereka, kalau mereka rindu padaku, ijinkan mereka masuk ke busur,”isaknya sedih. Lantas, ia menjatuhkan dirinya di dada bidang Bhagawan Saradwan.
Sembari mengusap bulir airmata yang membasahi pipi istrinya, Bhagawan Saradwan berujar bijak,” Roda kehidupan selalu berputar, pertemuan ada dalam satu masa, dulu, kini dan yang akan datang. Perpisahan selalu mengakhiri pertemuan, itulah roda kehidupan yang dipengaruhi ruang, waktu dan kondisi. Perpisahan bukanlah suatu kematian; namun babak baru, kehidupan baru. Lanjutkan perjalananmu, karena itu memang garis kehidupan Dinda. Setiap mahluk membawa jati dirinya mencari kesejatian utama. Mungkin dimasa yang akan datang, kita akan bertemu kembali….”
Usai kata-kata Sang Bhagawan putus. Di punggung Putri Bidadari tumbuh sayap-sayap halus, dipandanginya sebentar sepasang tubuh mungil di hadapannya. Mengecup dahi mereka. Lalu, tubuh Putri Bidadari mengecil, menjadi peri cahaya dan terbang menghilang dari hadapan Bhagawan Saradwan.
Alkisah, kegelisahan Raja Hastina, Prabu Santanu sepeninggal permaisurinya Gangga Dewi semakin tak tertahankan. Padahal waktu sudah lama berlalu, bahkan Bisma Dewabrata putranya, sudah tinggal bersamanya, dikembalikan oleh Dewi Gangga padanya. Namun, hati yang tandus memang tak ada pemecahannya. Sebagai Raja Agung, ia tak bisa mengobati lara jiwanya.
Untuk menghilangkan kegundahannya, kerapkali ia melakukan perjalanan jauh, berburu ke tengah hutan. Suatu saat, saat beliau sedang melakukan perburuan rusa. Rombongan istana terhenti pada sebuah tegalan kecil dipinggir sungai berair jernih. Manakala ia hendak membasauh wajahnya yang kering.
Sepasang matanya melihat bayangan dua bocah kecil terpantul di permukaan air. Sepasang bocah itu baru saja selesai mandi, lalu diikutinya arah pulangnya sang bocah. Dan, betapa terkejutnya ia, bocah itu masuk kedalam busur. Dipungut, lalu dibawanya busur itu pulang ke istana. Bhagawan Saradwan, melihat dari kejauhan. Ia tersenym dalam hatinya berucap syukur putra-putrinya dipungut oleh Maharaja Agung.
Di dalam ruangan khusus Maharaja Santanu, busur itu ditempatkan di atas pegangan gading yang berukir indah. Pagi-pagi sekali, kedua bocah itu keluar dari busur, betapa terkejutnya mereka sudah berada di dalam ruangan yang penuh dengan ukiran emas.
“Kak, dimana kita? Di mana ayah ?”
“Aku sendiri tidak tahu, Dik ?”sahut yang laki-laki.
“Kalian berada di istanaku, Hastina Pura….” Sahut suara berat di hapannya.
“Siapa nama kalian ?”
Mereka menggeleng.
“Baiklah, aku yang memberi nama kalian. Kau yang sulung kuberi nama Kripa dan bungsu kuberi nama Kripi, kalian kuangkat anak, tugas kalian di sini sebagai teman bermain putraku Bisma Dewabrata, agar ia tak kesepian….”
Setelah mereka dewasa, Kripa seperti ayahnya, menjadi Bhagawan di Hastina. Mengajar putra-putra Raja dan dikenal sebagai guru dari Panca Pandawa dan para Kurawa. Sedangkan Kripi menjadi istri Bhagawan Drona, mengasuh Aswatama hingga dewasa. –sumber