BALI EXPRESS, DENPASAR – Ornamen berupa kepala raksasa yang dinamai Karang Bhoma, kerap ditemui pada ukiran tempat suci umat Hindu di Bali, terutama di bagian atas gelung kori. Siapakah sesungguhnya sosok raksasa bertaring tajam, mata melotot, dan dua tangan di kanan kirinya, seolah siap mencengkeram ini?
Berdasarkan mitologi, Bhoma konon adalah putra dari Dewa Wisnu dan Dewi Pertiwi. Ia lahir dari pertemuan Sang Dewa dan Sang Dewi dalam sebuah misi pemutaran Gunung Mandara atau Mandara Giri untuk mendapat Tirtha Amrita. Saat itu, Dewa Wisnu mendapat tugas untuk mencari pangkal dari lingga milik Dewa Siwa.
Guna memudahkan misinya, Dewa Wisnu mengubah wujud menjadi seekor babi hutan dan mulai melakukan penggalian di tanah. Nah, saat itulah ia bertemu dengan Dewi Pertiwi yang merupakan penguasa tanah. Dari pertemuan itu lahir Bhoma yang memiliki wujud menyeramkan. Sang Bhoma kemudian dikenal sebagai penguasa hutan belantara.
Dari mitologi tersebut, Bhoma tak lain adalah tumbuhan itu sendiri. Ia tumbuh dengan subur pada tanah (Pertiwi) yang mendapatkan air (Wisnu) yang cukup. Mitologi tersebut juga berpengaruh pada misi pelestarian hutan. Pasalnya,masyarakat tradisional percaya hutan rimba adalah salah satu tempat yang angker karena ada penguasanya. Di Bali sendiri, sosok penjaga hutan belantara disebut dengan Banaspati.
Bhoma kerap disandingkan dengan kata Bhauma dalam Bahasa Sansekerta, dengan arti sesuatu yang tumbuh dari bumi atau pertiwi. Dengan demikian, konotasinya mengarah pada tumbuh-tumbuhan.
Kisah tentang Bhoma juga diutarakan dalam Kakawin Bhomântaka atau Kakawin Bhomakawya yang berbahasa Jawa Kuno. Kakawin ini merupakan salah satu yang terpanjang dalam Sastra Jawa Kuno, yakni mencapai 1.492 bait.
Terkait dengan ukiran Karang Bhoma yang terdapat di gelung kori atau beberapa bagian tempat suci di Bali, tidak terlepas dari kepercayaan perlindungan dari Sang Hyang Bhoma. Oleh karena itu, ukiran tumbuhan pada pusatnya kerap berisi ukiran Karang Bhoma. “Ini tidak terlepas dari konsep Tri Hita Karana, khususnya harmonisasi hubungan manusia dengan alam,” ungkap Dr. Drs. Ketut Sumadi, M.Par kepada Bali Express (Jawa Pos Group), belum lama ini.
Dosen IHDN Denpasar tersebut mengatakan, ukiran Karang Bhoma bukan sebatas dekorasi pada tempat suci, namun memiliki makna di baliknya. Hal ini sejalan dengan konsep bangunan yang tertera pada Asta Kosala Kosali dan Asta Bhumi. “Apapun yang ada di Bali tidak hanya sebatas dekorasi. Demikian pula Bhoma ini, yang dipercaya sebagai sosok pelindung di tempat suci dan penolak hal-hal negatif yang hendak masuk ke dalamnya,” terangnya.
Apalagi, lanjut mantan jurnalis ini, bangunan yang dibuat oleh masyarakat Bali melewati prosesi ritual, baik penyucian dan ‘penghidupan’ atau yang biasa disebut pasupati. Dengan demikian, ukiran Karang Bhoma dipercaya memiliki kekuatan magis yang ada di dalamnya.
Meski begitu, kata Sumadi, ukiran Karang Bhoma tak bisa diaplikasikan di sembarang bangunan. Biasanya, ukiran Karang Bhoma hanya diaplikasikan di tempat suci. “Mengingat Bhoma adalah salah satu sosok yang disakralkan, secara umum ukiran Karang Bhoma diaplikasikan di tempat suci, seperti pura,” ujarnya.
Bagimana jika diaplikasikan di rumah? Pria ramah dan murah senyum ini mengatakan tidak sepatutnya. Pasalnya, kekuatan Bhoma yang telah dipasupati cukup besar dan efeknya tak hanya bagi sesuatu di luar tempat suci, namun juga di dalamnya. Oleh karena itu, jika diaplikasikan di rumah, maka kesalahan perlakukan penghuni rumah bisa berakibat fatal. “Kalau untuk di rumah, orang menghindari menggunakan Bhoma, karena dia bisa ‘makan’ diri kita sendiri. Kalau bisa, hindari itu. Bahkan ‘just decoration’ atau hanya hiasan juga keliru,” tegasnya.
Dengan demikian, Sumadi kembali menegaskan, ukiran Karang Bhoma hendaknya sebatas diaplikasikan di tempat suci, khususnya pura. “Hanya dipakai di tempat suci, khususnya di pura. Biasanya diletakkan di gelung kori. Kalau orang yang berpikiran negatif, bisa dilindas,” tegasnya.
Dikatakannya, belakangan ini dekorasi yang dibuat untuk acara seremonial juga tak sepatutnya berisi ukiran kepala Bhoma. Hal itu terkait dengan Bhoma sebagai salah satu simbol suci, selaku sosok penjaga dan penindak tegas orang-orang yang memiliki pikiran, perkataan, atau perbuatan negatif di tempat suci. “Itu sesuai dengan totem. Totem adalah kepercayaan tradisional terhadap binatang yang memberikan perlindungan dan juga membahayakan jika kita salah menempatkan,” terangnya.
Namun, jika ukirannya hanya sebatas tumbuhan, tanpa kepala Bhoma, kata dia tak masalah. “Lebih baik cukup ukiran bun (tumbuhan menjalar). Jangan sampai ada kepala Bhoma,” tandasnya.
(bx/adi/yes/JPR) –sumber