Bagi masyarakat Bali yang beragama Hindu, bunga merupakan sarana ritual yang sangat penting. Malah, dapat dikatakan, bunga merupakan sarana persembahan pokok bagi umat Hindu selain api dan air. Namun, tidak segala jenis bunga bisa dipersembahkan atau digunakan sebagai sarana dalam persembahyangan. Tradisi pelaksanaan agama Hindu di Bali menyebut sejumlah jenis bunga yang pantang untuk dipersembahkan.
Secara prinsip, bunga yang tidak disarankan untuk digunakan sebagai sarana persembahyangan yakni bunga yang pusuh (belum kembang), bunga yang sudah layu, bunga yang jatuh dengan sendirinya atau sudah gugur, bunga yang tumbuh di kuburan serta bunga yang dimakan semut atau ulat. Pantangan menggunakan bunga-bunga tersebut sebetulnya lebih didasari pada konsep bunga sebagai persembahan ke hadapan Tuhan sehingga mestilah bunga tersebut suci, bersih, mekar dan harum.
Khusus untuk bunga yang dimakan semut atau ulat, alasannya sebetulnya sangat logis. Bunga yang dimakan ulat dan semut tentu tidak bersih lagi. Mungkin di bunga itu ada kotoran dari semut atau ulat yang memakannya. Begitu pula bila bunga itu disumpangkan di sela telinga, nanti telinga bisa kemasukan ulat atau semut.
Selain itu, ada juga bunga yang dipantangkan untuk dimanfaatkan sebagai sarana sesaji upacara karena bunga tersebut dimitoskan telah dikutuk oleh dewa. Pendharma wacana (penceramah agama) dan penulis buku agama Hindu, Drs. I Ketut Wiana, M.Ag., menyebut bunga tulud nyuh atau jempiring alit (Gardenia augusta Merr) serta bunga salikanta pantang digunakan untuk sembahyang. Pasalnya, bunga ini disebutkan tidak mendapatkan penglukatan atau pembersihan dari Dewa Siwa.
Mitologi ini termuat dalam lontar Aji Yanantaka. Diceritakan dalam kerajaan Yanantaka sedang berkecamuk penyakit lepra. Raja dan para patih juga ikut terserang penyakit tersebut. Semua dukun sudah mencoba mengobati tetapi tak satu pun ada yang mempan. Sang raja kemudian mengutus mahapatihnya untuk menghadap Dewa Siwa mohon perlindungan. Dewa Siwa bersedia menghilangkan semua penyakit itu. Lantaran Dewa Siwa berwujud dewa, tidak dapat langsung bertemu dengan manusia, maka kerajaan Yanantaka di-pralina menjadi hutan belantara. Tidak tampak lagi wujud manusia.
Setelah itu, barulah Dewa Siwa turun ke Yanantaka. Semua kayu dan pohon, termasuk tanaman bunga datang satu per satu mohon penglukatan Dewa Siwa. Namun, hanya dua pohon bunga yakni jempiring alit dan salikanta yang tidak mau minta penglukatan Dewa Siwa. Karena itu, Dewa Siwa mengutuk kedua bunga tersebut tidak boleh dipakai sarana dalam pemujaan.
Pantangan yang dilatarbelakangi mitos juga berlaku untuk bunga turuk umung atau kedukduk. Mitologi tentang bunga ini termuat dalam lontar Siwagama. Diceritakan Dewi Uma melahirkan dua orang putra, seorang berupa raksasa dan seorang sangat tampan diberi nama Sang Kumara. Selesai melahirkan, kain dalam (tapih) yang penuh darah itu dicuci dalam telaga Rambawa dan dijemur di sebelahnya. Kain dalam itu direbut lalat dan tumbuh pohon bunga turuk umung atau kedukduk. Dewi Uma kemudian memastu bunga turuk umung atau kedukduk tidak boleh digunakan persembahan. Secara logika, bunga yang direbut lalat tentu tidak harum baunya, karena kotor/tidak suci.
Bunga lainnya yang dikenal tidak patut digunakan untuk sarana banten yakni bunga gemitir. Dalam lontar Kunti Yadnya, bunga gemitir disebut-sebut berasal dari darah Dewi Durga (sakti Dewa Siwa). Namun, setelah mendapat penglukatan dari Dewa Siwa seperti dinyatakan dalam lontar Aji Yanantaka, bunga gemitir boleh digunakan untuk persembahan. Akan tetapi, hanya yang kembangnya bagus dan berwarna kekuning-kuningan. Bunga gemitir yang warnanya merah tidak diperkenankan untuk digunakan sebagai sarana upakara. Selain itu, bunga gemitir juga tidak baik dipakai sarana memercikkan tirtha, karena cepat busuk dan mengundang bibit penyakit.