BALI EXPRESS, GIANYAR – Di wilayah Gianyar terdapat beberapa candi maupun goa yang diyakini sebagai tempat bertapa pada zaman kerajaan dulu. Seperti Candi Tebing yang ada di Banjar Jukut Paku, Desa Singakerta, Kecamatan Ubud, Gianyar.
Candi Tebing, menjadi salah satu tempat yang digunakan untuk bertapa oleh Maharesi Markandhya. “Pada zaman kerajaan dulu, beliau datang dari arah selatan melalui aliran Sungai Wos, dan membuat peristirahatan untuk beryoga di Candi Tebing ,” ujar salah seorang tokoh warga setempat, Ida Bagus Putra Pudharta, ketika diwawancarai Bali Express (Jawa Pos Group), pekan kemarin di Gianyar.
Candi Tebing , lanjutnya, dibuat tepat berada di pinggir Sungai Wos, karena dari arah wilayah Singapadu akan menuju Pura Gunung Lebah yang berada di Ubud. “Mungkin saat itu rombongannya lelah dan memilih untuk beristirahat, sambil membuat tempat beryoga, berupa pertapaan yang di tengah-tengahnya ada candi. Bahkan, juga membuat beberapa tempat permandian berupa pancuran yang ada di pinggirnya. Setelah itu, baru menuju utara ke Pura Gunuh Lebah,” terang pensiunan Guru Agama Hindu ini.
Suasana di Candi Tebing sangat asri sekali, apalagi berada di pinggir sungai dengan bebatuan yang besar.
Untuk mencari Candi Tebing tidak susah, hanya memerlukan waktu sekitar 45 menit jika berangkat dari Pusat Kota Denpasar. Susuri Jalan Payangan – Denpasar, dari Patung Barong Batubulan lurus ke utara. Sekitar enam kilometer akan menemukan pertamina di Desa Tebongkang, Singakerta. Bila sudah sampai, belok ke kanan menuju setra (kuburan) Desa Singakerta. Nah di Selatan setra akan terpampang papan nama bertuliskan Cagar Budaya Candi Tebing Jukut Paku.
Dari papan nama tersebut, turun sekitar 60 meter, maka akan sampai di candi tersebut.
Ida Bagus Putra Pudharta mengatakan, Candi Tebing saling berkaitan dengan pura penataran yang ada di atas Candi Tebing.
Dikatakannya, Candi Tebing dulunya sebagai pasraman Maharesi Markandhya di sepanjang Sungai Wos.
Candi Tebing, lanjutnya, ada hubungan dengan Goa Raksasa di dekat Pura Gunung Lebah di sebelah barat Ubud. Selain erat terkait dengan Pura Tirta yang berdiri di Desa Negari, Singapadu, Sukawati. “Ketiganya saling berkaitan, merupakan satu jalur dilewati oleh Maharesi Markandhya saat itu. Sehingga sama persis letaknya di pinggir Sungai Wos,” papar pria 60 tahun tersebut.
Candi Tebing diyakini sebagai sthana Siwa Guru dan tempat pemujaan Ista Dewata. Dikarenakan Maharesi Markandhya yang menganut ajaran Siwa ke Bali, membuat Candi Tebing di sekitar aliran Sungai Wos . Dikatakannya, berdasarkan penelitian yang dilakukan ahli arkeologi, Candi Tebing yang berbentuk Wihara sudah didirikan pada abad ke 8 masehi. Wihara merupakan satu kesatuan yang utuh dan tidak boleh dipisahkan satu dengan yang lainnya karena arealnya sebagai pasraman. Selain itu, juga sebagai tempat pemujaan terhadap sasuhunan yang ada di Pura Penataran Agung Jukut Paku dan digunakan sebagai taman atau beji Pura Penataran.
“Air yang ada di pancuran areal Candi Tebing dapat digunakan untuk masuciang (pembersihan) Ida Sashununan yang ada di Pura Penataran,” ujarnya. Ditambahkannya, warga setempat dan warga dari luar desa juga nunas tirta ke sana.
Biasanya digunakan tirta pamayuh (air suci) untuk menyucikan seseorang dari mala petaka (semua keburukan) saat otonan (hari lahir). “Sering saya lihat, dari warga sini, bahkan ada juga dari luar Desa Singakerta yang nunas trita untuk tirta pamayuh. Mereka tahu dari cerita masyarakat, juga karena dianggap sebagai tempat untuk nunas panugerahan,” terang pria yang bersiap menjadi pedanda ini.
Orang yang suka spiritual pun, lanjutnya, kerap datang saat malam hari bermeditasi mohon diberkati petunjuk. Soal khasiat magis dari air di Candi Tebing, lanjut Gus Pudharta, hingga kini belum ada secara nyata, hanya digunakan sebagai tirta pamayuh saat pelaksanaan otonan saja. Ia juga menjelaskan, bahwa selama satu tahun dilaksanakan dua kali pacaruan untuk pembersihan kawasan suci . Pertama dilaksanakan pada saat menjelang piodalan pada Anggara Kasih Medangsia dan saat sasih kasanga.
Saat piodalan disungsung oleh seluruh banjar yang ada di Desa Adat Singakerta, yang terdiri atas enam banjar, sedangkan pangemponnya hanya dari Banjar Jukut Paku . Di tempat terpisah, Kelihan Dinas Jukut Paku, Desa Singakerta, Gusti Made Wijayana mengaku akan menata ulang areal Candi Tebing karena jalan menuju ke sana sangat miring. Sehingga dibuatkan jalan dengan lebar sekitar tiga meter dan panjangnya sekitar 60 meter. Yang berawal dari parkiran menuju depan Candi Tebing. “Karena belum ada bantuan dari pemerintah, kami hanya menggunakan dana swadaya saja dari warga.
Agar setiap pelaksanaan piodalan di sini bisa berjalan dengan baik, meski jalan yang kami buat seadanya saja,” papar pria 51 tahun tersebut. Made Wijayana juga mengaku sudah melaksanakan rapat dengan desa setempat. Terkait dengan pengelolaan candi tersebut, karena petugas kebersihannya sudah ada satu orang.
Namun, ia harapkan adalah bantuan dari pemerintah untuk menata dengan baik areal sekitar Candi Tebing karena bisa menjadi objek wisata. “Maunya dikelola sendiri dari desa, tetapi terkendala dana. Makanya fasilitas hanya seadanya ,” terang pria yang baru tiga tahun menjadi kelihan tersebut. Diakuinya ada beberapa orang spiritual yang secara rutin datang untuk bersemai dan malukat di pancuran yang seluruhnya ada 11 pancuran di areal candi tersebut.
Dirinya juga mengatakan, ada atau tidak bantuan dari pemerintah, masyarakat akan terus melaksanakan upakara yang sudah berjalan. “Masyarakat meyakini tempat tersebut memiliki pengaruh yang sangat baik terkait keadaan wilayah desa. Sehingga pacaruan tetap dilaksankan dua kali dalam setahun,” pungkasnya.
(bx/ade/rin/yes/JPR) –sumber