BALI EXPRESS, SEMARAPURA – Berbagai cara dilaksankan warga di Bali untuk mengekspresikan kemenangan dharma melawan adharma. Seperti tradisi yang dilaksanakan di Pura Dadya Panti Timbrah yang sangat unik.
Di Pura Dadya Panti Timbrah Banjar Timbrah, Desa Pasksebali, Kecamatan Dawan, Klungkung ada tradisi yang dinamai Dewa Pasraman, di mana filosofinya untuk mempertemukan sekala niskala Ida Sasuhunan yang malinggih di sana dengan panjaknnya semua.
Pemangku Pura Panti Timbrah, Jero Mangku I Made Mustika mengungkapkan bahwa tradisi Dewa Pasraman sudah dilaksanakan secara turun temurun dengan tujuan agar panjak pura tersebut tidak melupakan asal-usul mereka, apalagi sudah banyak bertempat tinggal di lain daerah. “Sekitar tahun 1900 masehi, penduduk yang ada di sini hanya berjumlah 18 kepala keluarga. Karena berkembang, maka dibuatkanlah pura parhyangan dan panti,” terang pria pensiunan PNS Kodam ini, kepada Bali Express (Jawa Pos Group) di rumahnya Banjar Timbrah, Desa Pasksebali, Kecamatan Dawan, Klungkung, pekan kemarin.
Tradisi Dewa Pasraman, lanjutnya, menunjukkan rasa bhakti kepada leluhur yang suci, di samping memupuk rasa kebersamaan antar sesama pangempon.
“Yang disungsung (digotong) merupakan linggih (tempat) pasimpangan Ida Bhatara yang ada di Pura Besakih, Pura Lempuyang, dan Dewa Tri Sakti,” terang pria 72 tahun tersebut.
“Prosesi ini juga merupakan rangkaian pemaknaan hari Galungan dan Kuningan. Sebagai simbolisasi kemenangan dharma melawan adharma,” bebernya.
Leluhur dulu memilih tempat di Panti Timbarh, lanjutnya, juga dimaksudkan untuk menjaga perbatasan Klungkung dengan Karangasem pada zaman tersebut.
Mangku Mustika memaparkan proses awal tradisi Dewa Pasraman diawali dengan mendirikan dua buah penjor sehari sebelumnya. Penjor tersebut berisi palabungkah, palagantung, dan palawijil. Semua bahan yang digunakan tersebut bersumber dari alam, sebagai simbol Bhuwana Agung untuk mengawali pelaksanaan upacara.
“Penjornya sedikit berbeda dengan penjor biasanya. Seperti ada perwakilan satwa yang digunakan pada penjor, yakni anyaman berbentuk burung,” ungkapnya. Dikatakannya, burung merupakan manuk yang berasal dari manu, yang berarti kayun (mau) berdasarkan niat. Sehingga bisa diartikan bahwa sebelum pelaksanaan upacara didasari dengan niat yang baik dan penuh dengan ketulus-ikhlasan.
Keesokan harinya pada hari Sabtu, pembuatan sarana lainnya, seperti pembuatan banten caru, atau pembuatan segala sarana yang harus disediakan pada pelaksanaan piodalan yang akan berlangsung sore harinya. Setelah itu, dilaksanakan prosesi nunas paica yang dilakukan anak-anak yang masih duduk di sekolah dasar sampai taman kanak-kanak.
“Pelaksanaannya harus dilaksanakan di depan pamedal pura, dengan maksud untuk mendatangkan generasi penerus selanjutnya untuk mangempon pura panti nantinya,” terang ayah empat anak tersebut.
Dalam nunas paica itu, lanjut Mangku Mustika, suguhan yang terdiri atas nasi, lawar, dan sate, tidak ada perbedaan antara anak satu dengan lainnya. “Cara seperti ini sebagai tradisi memupuk kebersamaan sejak kecil hingga nantinya menjadi pangempon pura,” urainya. Setelah itu, ada juga pelaksanaan magibung (makan bersama). Namun sedikit berbeda dengan magibung pada umumnya. Berbahan dari lima jenis bahan lawar, yang terdiri atas daun belimbing, nangka, paku, kelapa, dan pisang. Sedangkan di tengah-tengahnya berisikan garam. “Pesertanya bebas, bisa dari kalangan remaja dan dewasa. Tujuan dari lima jenis lawar itu untuk lambang catus pata dan satunya lambang gibungan,” paparnya.
Ia mengatakan sejumput garam itu, sebagai penetral perbedaan satu sama lain. Di mana pada pelaksanaan magibung akan menyatukan sifat dari beberapa orang menjadi satu, satu rasa, dan sepenanggungan. “Cara ini juga diharapkan akan menghasilkan keharmonisan dalam pelaksanaan piodalan yang berlangsung,” imbuhnya.
Setelah magibung, baru Ida Sasuhunan dipundut medal (keluar) untuk proses masuciang (pembersihan) sebelum pujawali ke sumber mata air di Pura Segening, berdektan dengan Tukad Unda. Selesainya masuciang, kembali lagi ke areal pura, di mana semua jempana dan pratima disambut oleh Rejang sebagai manifestasi widyadara dan widyadari, dan Daratan. “Daratan itu, jika dicari maknanya sebagai pengaman. Tentu pengaman dewa-dewi yang malinggih di Pura Panti Timbrah ini,” paparnya.
Pada saat itu juga prosesi Dewa Pasraman dimulai. Sasuhunan sebelumnya diupacarai dengan sarana segehang agung. Dilanjutkan memutari areal jaba tengah pura sebanyak tiga kali, menggunakan bale alit sebagai porosnya. Di mana juga sebagai titik tengah dari pura tersebut. Memutar, lanjut Mangku Mustika, sebagai simbol kehidupan, stiti, utpeti, dan pralina.
Pada saat itu pula, sebagaian jempana masolah (menari), dengan syarat satu jempana harus diiring oleh dua orang saja. Ini sebagai bukti nyata bahwa pangempon pura satu suara dan sepenanggungan satu sama lain.
Pada saat prosesi inilah kerap terjadi beberapa gesekan, senggol, saling dorong, bahkan beradu sengit. Meski kerap terjadi aksi saling dorong, namun tidak pernah berujung pada perkelahian karena emosi, apalagi ada dendam.“Selesai prosesi Dewa Pasraman, mereka sembahyang dengan baik. Intinya biasa saja, tidak ada yang akhirnya ribut berlanjut setalah prosesi usai,” terang Mangku Mustika. Tiga hari setelah Dewa Pasraman, dilaksanaka ngalemek (subur), upacara memohon kesuburan, di mana persembahyangan tetap dilaksanakan selama 10 hari kedepannya.
Di tempat terpisah, Wakil Kelihan Pura Panti Timbrah, Wayan Gede Prawira menambahkan, prosesi Dewa Pasraman dilaksanakan tepat pada pukul 18.00 sampai 19.30.
Sebelum itu, lanjutnya, ada pelaksanaan mendak pada soang-soang panyimpenan yang terdapat di beberapa rumah pangempon. “Ada sekitar delapan panyimpenan, baik dari panyimpenan di rumahnya pemangku dan krama biasa,” terang pria 38 tahun tersebut.
Gede Prawira mengakui tradisi tersebut sudah ada dari zaman dulu. Jika tidak dilaksanakan, desa setempat bisa kena musibah, seperti masalah ekonomi, kerukunan, dan lain sebagainya. “Tradisinya memang seperti tabuh rah, karena dilihat secara nyata itu berupa aduan. Namun, kami tidak berani menyebutnya seperti itu, tetap Dewa Pasraman. Mungkin masyarakat lain melihatnya seperti mapalu (perang),” jelas pria yang tiga tahun baru menjadi wakil kelihan pura tersebut. Jika penasaran dengan tradisi Dewa Pasraman, bisa datang di areal Pura Panti Timbrah, Banjar Timbrah, Paksebali pada Saniscara Wuku Kuningan, bertepatan dengan Hari Raya Kuningan.
(bx/rin/bay/ade/yes/JPR) –sumber