Siklus kehidupan, dari usia kanak-kanak sampai renta, bagi mahkluk hidup terutama manusia, secara pribadi merupakan misteri yang tiada pernah terungkap sampai sekarang. Untuk mengungkap, mereka dibatasi umur. Disebut kanak-kanak sampai umur sekian.
Usia remaja, dewasa…bla…bla…bla… tua dan mati. semua peristiwa yang dialaminya sirna terbakar api, tergerus angin dan larut dalam catatan air. Bagi sebagian orang, bertambahnya usia, adalah siksaan. Ketakutan terhadap dewi maut yang selalu mengintip, menjemput dirinya adalah siksa.
Selain usia, cinta pun misteri. Kadangkala, cinta datang, singgah sebentar lalu pergi tak pernah terpikirkan. Kendati gejalanya, terasakan sampai ke akar nadi. Namun, penyelesaiannya selalu melalui proses yang panjang untuk menuntaskannya. Cinta juga merupakan siksa.
Usia dan cinta, selalu berjalan beriringan. Namun, kadangkala saling menyimpang. Semua itu, karena kepuasan yang tak punya batas.
Kerajaan Patali, di daratan Jambu Warsa memang sangat disegani oleh pemerintahan apenage dibawah kekuasaannya. Tak terkira, aliran upeti setiap tahun diterima oleh rajanya, Sri Ari Dara. Kendati aliran upeti, emas dan permata yang melimpah ruah, ia tetap tak terpengaruh oleh kenikmatan dunia itu. Sehingga tak diragukan lagi, benar adanya, para bhagawanta istana, menjuluki beliau dengan gelar Sri Singapati yaitu orang besar yang telah mampu menaklukkan panca indra. Pasalnya, sedari muda ia begitu rajin belajar menekuni sastra Wedha.
Sekian tahun dalam hitungan hari umur buana bertambah. Seiring pula perjalanan usia sang penguasa Patali, yang ditunjukkan sengan raut yang mulai keriput, rambut mulai berwarna. Hatinya mulai gusar, apalagi melihat permaisurinya tidak lagi berkulit kencang. Guratan ketuaan memancar dari wajahnya. Untuk menghilangkan kegundahannya itu, ia pun mengadakan pesta pora untuk rakyatnya tercinta.
Tatkala pesta tiba, baginda raja merasa cemburu melihat pasangan muda dan mudi Patali berduyun-duyun datang ke alun-alun. Betapa mesra mereka di pesta itu. Angannya, menerawang masa mudanya. Api asmara itu menggelegar kembali, membunuhi perasaan tua. Ia merasa perjaka kembali. Namun saat ia menoleh ke arah permaisuri di sebelahnya. Uph! Binar jiwanya meredup. “Istriku tiada lagi menarik…” pekik bathinnya.
Rombongan undangan yang memadati upacara pesta rakyat semakin bertambah. Agak jauh dari singgasananya, duduk sosok sepuh penuh wibawa. Beliau dikenal dengan nama Rakryan Patih Bandeswarya. Di sebelahnya duduk istrinya yang bernama Diah Pinatih. Mereka tak bergeming menyaksikan tampilan tarian yang diiringi oleh gamelan Semar Pagulingan yang bersuara merdu.
Dari luar alun-alun, menyeruak di antara rimbunan penonton. Seorang dara manis diiringi dua orang dayang-dayang menuju ke arah Ki Patih. Orang tua sepuh itu tersenyum, lalu telunjuknya mengarah ke singgasana raja. Bersamaan Ki Patih bangun sembari membimbing lengan sang istri, si dara manis tergopoh-gopoh membuntutinya.
“Daulat Tuanku. Maafkan hamba yang rendah ini menghadap bersama keluarga di hadapan Tuanku.”
Raja menoleh ke arah Ki Patih. Ia pun tersenyum, dipandanginya wajah-wajah dihadapannya. Tatkala, sepasang matanya menumbuk mata sayu Diah Tantri. Gemuruh badai menghantam jiwanya. Ia merasakan hal yang luar biasa. entahlah, mahluk apa yang bersemayam sehingga imannya runtuh. Lama ia bengong. Layaknya, melihat bintang jatuh tepat di hadapannya.
“Tuanku, ia putri hamba. Namanya, Diah Tantri.”
Raja mengangguk, wajahnya merah menahan malu.
“Ki Patih, janganlah duduk berjauhan. Di sebelahku masih banyak kursi kosong. Silahkan, ambil tempat yang lebih dekat lagi….”
“Ba…baik. Tuanku….”
Ki Patih Bandeswaryapun mengambil tempat di sebelah kanan raja. Acara pertunjukan berlalu, namun mata raja selalu saja sempat mencuri pandang ke arah Diah Tantri. Ia tak pernah menikmati atraksi seniman yang menyuguhkan keindahan padanya.
Seminggu kemudian, tidak biasanya raja memanggil Ki Patih secara dadakan dan tanpa protokoler. Ia hanya mengutus pengawal, tanpa surat. Pangawal itu, hanya menyampaikan sepatah kata “Raja hendak membicarakan sesuatu yang sangat rahasia”.
Pikiran Ki Patih tak mampu menduga, apa yang akan disampaikan raja. Secara tergesa-gesa ia pun menuju pendopo istana.
“Daulat, Tuanku. Patih menghadap, apa yang hendak baginda sampaikan ?”
“Ki Patih….! hendaknya Ki Patih memahami apa yang hendak aku sampaikan.
Dalam pemujaanku setiap hari pada Dewata, aku selalu menggunakan sarana bunga dan dupa yang baru. Sangat nista sekali pemujaan itu, andaikata saja aku menggunakan bunga yang layu. Apalagi, bunga yang sudah kupersembahkan kupakai lagi. Ukh ! Betapa hina rasanya. Begitu pula, seorang gadis tak boleh duakali melayani di pelaminan. Ibarat bunga layu, sangat nista rasanya. Aku kembalikan kepadamu. Apakah raja yang megah dan agung, maha utama ditengah masyarakatnya nyatanya nista belaka ?”
Otak Ki Patih Bandeswarya yang cerdas mengolah kalimat junjungannya. Akhirnya, ia menyimpulkan, junjungannya mengalami masa puber kedua. Ia tak bisa menolak. Keputusan raja adalah utama. Apapun itu, ia harus melaksanakan.
“Baiklah, Tuanku. Hamba paham, seluruh gadis Patali adalah milik Tuanku. Hamba akan berusaha mencarikan yang Tuanku kehendaki setiap hari……”
Ki Patih pulang. Esoknya, Ki Patih mulai berburu gadis ‘ABG’ di desa itu. Jauh sampai ke pelosok perkampungan. Awalnya, sih mudah. Namun, semakin hari ternyata kian berat. Sedangkan raja tak mau menerima andaikata Ki Patih mengatakan gadis-gadis sudah mulai berkurang. Coba saja, selama kurun enam bulan ini, puluhan gadis telah menjadi korban sang raja yang penuh nafsu. Ia jadi pusing melihat kelakuan tuannya. Bayangkan saja, satu hari satu orang gadis. Habis melayani lalu dibuang.
Ki Patih yang mulanya ceria. Kini, mulai murung. “Andaikata gadis-gadis di negeri Patali telah habis, tinggal putriku Diah Tantri. Orang tua macam apa aku ini, kalau saja rela menyerahkan putri semata wayangku pada raja angkara ?”
Sepulang dari istana, ia hempaskan tubuhnya di balai payogan. Tanpa bersalin pakaian, langsung tidur, lagaknya seperti orang yang frustasi saja. Gelagat buruk ini ditangkap oleh Diah Pinatih istrinya. Ia pun memanggil Diah Tantri, putrinya.
“Aduh, Ibu, ada apa memanggil Nanda ?”
Diah Pinatih menatap wajah putrinya lekat. Betapa terkejut dirinya, kulit kemayu itu pucat, seolah tiada dialiri darah, “Nanda, kamu sakit ?”.
Menguneng Ragi dan Rarasati, embannya saling toleh. Lalu Manguneng Ragi menjawab, “junjungan hamba tidak sakit, Gusti. Hanya kecapaian, bayangkan saja setiap malam harus menghapal sastra yang diajarkan Dang Guru…..”
“Bayangkan saja,” potong Rarasati, “sastra yang dihafal tiga sergah, sembilan puluh sloka, serta tigaratus sepuluh penjelasannya. Belum lagi yang lain. Andaikata otak saya yang diperintah begitu, pasti saya sudah semaput, Gusti,” lanjutnya terkagum-kagum.
“Sudahlah, Bibi. Jangan dilanjutkan … saya senang melakukannya,” ujar Diah Tantri.
Ibunya tersenyum. “Bunda bangga padamu. Bunda cuma ingin menyampaikan sesuatu, tentang ayahandamu. Lihatlah perilakunya, setiap hari seperti orang linglung. Bunda jadi kasihan. Cuma kamu yang bisa menghiburnya. Tanyakan apa yang telah terjadi ?”.
“Baiklah, Bunda…”
Esok harinya, saat ayahandanya masih lelap dalam tidurnya, Diah Tantri sembari membawa pecanangan – tempet sirih – mengunjungi ayahandanya. Ia menunggu, sabar, di samping balai.
Saat ayahandanya mengendus, ia terperanjat.
“Oh, putriku. Sudah lama?”
“Baru saja, ayah….”
“Tidak biasanya, ananda ke mari. Adakah sesuatu yang kurang ? Andaikata ya, ayahanda akan membelikan apapun itu. ”
“Tidak, ayah. Justru sebaliknya ada apa dengan ayah ? Tidak biasanya, ayahanda berubah jadi pemurung, jarang bicara dan nanda sering menjumpai ayah melamun di balai payogan …”
Mendengar ketulusan putrinya, Ki Patih yang bertubuh kekar, meneteskan airmata haru. Maka diceritakanlah kejadian di istana. Raja yang suka mengumbar nafsu, sudah puluhan gadis Patali menjadi korban. Kini, para gadis sudah habis. Ia merasa tak mampu lagi mengabdi pada Raja Patali.
“Andaikata demikian, biarlah ananda untuk selanjutnya menjadi korban bagi Raja Patali. Demi ayah, ananda siap, kok ?”
“Janganlah, ananda berkata begitu. Ayahanda tak sudi menyerahkan dirimu pada raja…”
Akhirnya Ki Patih Badeswarya menyerah. Ia sendiri mengantar putrinya ke istana. Betapa senangnya, Prabhu Ari Dhara. “Andaikata Ki Patih menyadari, aku menginginkan putrinya, tentu kejadian ini dapat dihindarkan. Sampai saat ini, aku sangat menghormati kesetiaan dan pengabdian Ki Patih,” kata batinnya.
Saat malam mulai merambah, sang raja sangat lelah. Ia pun merebahkan diri disamping Diah Tantri. Dengan sabar Diah Tantri melepaskan mahkota sang Prabhu, sembari bercerita. Ia menceritakan Nadhaka Harana. Sang Prabhu sampai tertidur mendengar kisah Diah Tantri yang luar biasa. Malam, keesokan harinya pun kejadiannya sama, Sang Prabhu minta dilanjutkan cerita, raja pun mengantuk lalu tertidur lagi. Begitulah seterusnya, Diah Tantri tak pernah selesai menuturkan ceritanya, selalu bersambung dan tak pernah habis ide ceritanya. Bagaikan air yang mengalir tiada henti.
Perjuangan Diah Tantri ternyata berhasil, raja mulai sadar. Ia kembali pada permaisurinya. Hidup rukun di usia senja. Selama menjadi istri kedua raja, Diah Tantri tak pernah disentuh, ya, seperti gadis Patali Lainnya. Prabhu Ari Dhara lebih menyukai tutur ceritanya yang menawan. –sumber