SULUH BALI, Denpasar – Gunung Agung sampai hari ini masih menyimpan misteri tentang kapan kepastian terjadi erupsi atau berhenti meningkatkan aktivitas vulkaniknya sehingga tidak jadi meletus. Kondisi saat ini yang menunjukkan adanya peningkatan aktivitas vulkanik mendekati Galungan memunculkan perkiraan bisa saja Gunung Agung akan mengikuti jejak terdahulu yang meletus menjelang Galungan.
Perkiraan ini disampaikan akademisi UNHI Denpasar yang juga tokoh muda Hindu, I Kadek Satria, S.Ag, M.Pd.H yang melihatnya dari sisi filosofis religius terkait keberadaan Gunung Agung dan Wuku Dunggulan yang merupakan wuku rangkaian hari suci Galungan.
“Kenapa sekarang gunung agung belum meletus?, karena masih menunggu Durga memurti, yaitu Galungan,” ungkapnya saat dihubungi www.suluhbali.co, Sabtu (14/10/2017).
Menurut Satria, Galungan sebagai pemujaan Dhurga yang merupakan shakti dari Siwa. Sama seperti Siwa yang bertugas sebagai pemrelina, Durga juga diyakini sebagai pemrelina atau pelebur. “Galungan adalah pemujaan Dhurga, dimana beliau dinyatakan sebagai penghancur, namun Durga adalah pengasih, sehingga setelah letusan akan ada kesuburan dan kelanduhan kembali,” jelasnya.
Pada Galungan inilah diyakini Dhurga melakukan yoganya sehigga jika dihubungkan dengan aktivitas Gunung Agung juga merupakan bagian dari proses peleburan secara sekala-niskala. “Dalam mitologi, Dhurga akan melakukan berbagai aktifitas sebagai nyasa dari pradhana, lalu Siwa akan mengeluarkan kawisesannya ketika itu, maka saya berkeyakinan bahwa gunung akan meletus di wuku Dhurga,” kata tokoh muda Hindu dari Pedawa ini.
Sementara terkait dengan nilai religius Gunung Agung tidak dapat dipisahkan dengan keberadaan Gunung Batur yang memiliki hubungan erat secara spiritual atau keyakinan Hindu di Bali. Sebagai bagian dari yadnya, padupan (asap) Gunung Batur dan padipan (api) = Gunung Agung, “kedua gunung inilah pelaku yadnya niskala setiap detik di Bali,” ujarnya.
Jika memang akan terjadi erupsi pada Galungan, hal itu menurut Satria sebagai bagian dari yadnya dengan persembahan api niskala dari lingga terbesar di Bali, “coba lihat para sulinggih di Budakeling. Mereka memuja lingga acala yang mana ketika meletus, kekuatan api itu akan menjadi api yadnya yang maha besar dan itulah upaya penyeimbangan menurut Hindu,” ungkapnya.
Letusan ini juga dijelaskan sebagai bentuk pertemuan antara gunung dan laut atau dalam keyakinan Hindu disebut Segara-Gunung, “yang pasti adalah letusan ini akan terjadi pertemuan segara dan giri. pertemuan inilah yang memunculkan kesejahteraan,” jelas Satria.
Sementara Gunung Agung saat ini menjadi bagian penting karena pada Gunung Agung terdapat sumber keselamatan yaitu pertemuan panca datu yang ditanam oleh Maha Rsi hebat pada jamannya. Setiap saat pemujaan di pura Besakih adalah “membuat mengkilat” panca datu itu, ketika mengkilat itulah akan mampu menghadirkan kemakmuran. (SB-Skb) –sumber