Seorang ayah yang masih muda datang berkunjung di sosial media sambil marah-marah. Setelah didengarkan dengan penuh empati, ternyata ia memiliki seorang anak yang lumpuh sejak lahir. Sehingga seluruh hidup anak ini hanya tumbuh di tempat tidur. Dengan demikian, mudah dimaklumi kalau orang tuanya kelelahan. Serta suka berbagi kemarahan bahkan pada orang yang tidak ia kenal.
Jiwa gelisah yang marah-marah seperti ini muncul di mana-mana. Ibarat seseorang yang terkena flu, menyalahkan perubahan cuaca tidak banyak menolong. Meminum vitamin C, itulah yang menolong. Dengan cara yang sama, begitu jiwa gelisah, marah-marah tidak banyak menolong. Namun mengerti akar kegelisahan, itulah yang paling menolong.
Perhatikan keseharian orang yang hidupnya tidak indah, nyaris semua jiwa menderita mengambil posisi berlawanan dengan kekinian apa adanya. Saat mengantre, ia ingin cepat-cepat ada di depan. Tatkala masih kanak-kanak ingin cepat dewasa, setelah dewasa ingin cepat tua dan berwibawa. Di waktu kerja rindu liburan, di tempat rekreasi memikirkan ternyata tempat rekreasi lain jauh lebih indah.
Ringkasnya, menolak untuk berada di saat ini apa adanya, itulah akar semua kegelisahan. Ayah yang gelisah sebagaimana diceritakan di atas, ia menolak kenyataan bahwa putranya lumpuh. Sebagian sahabat yang tumbuh di kursi roda melukai dirinya setiap hari dengan cara menolak kenyataan bahwa ia harus berjalan di atas kursi roda. Segelintir orang tua anak berkebutuhan khusus sedang memperpendek umurnya sendiri dengan cara menolak.
Sebuah kata yang sering mereka ucapkan di dalam adalah kata “tidak”. Ia wakil jiwa yang selalu melawan. Ia suara alam bawah sadar yang tidak memiliki kesempatan untuk keluar. Tidak banyak yang menyadari, pendekatan melawan seperti ini sedang membuat seseorang menyiramkan bensin ke dalam api yang sedang membakar.
Itu sebabnya, ribuan sahabat di sesi-sesi meditasi telah dibimbing, belajar mengatakan “ya” pada setiap kekinian. Berdoa atau tidak berdoa, beragama atau tidak beragama, kehidupan akan senantiasa ditandai gelombang. Seseorang mulai menjadi penyembuh bagi dirinya sendiri, kalau ia belajar mengatkan “ya”. Pada saat yang sama belajar merasakan setiap perasaan secara penuh dan utuh.
Maksudnya, semua datang bergantian dan berpasang-pasangan. Setelah sedih datang senang. Sehabis duka datang suka. Begitu cacian berlalu datang pujian. Apa yang dimaksud dengan merasakan secara penuh dan utuh sederhana, kurangi menendang kesedihan dan dukacita secara berlebihan, jangan izinkan diri Anda dicengkram oleh kesenangan dan sukacita. Bersama sang waktu, semuanya berlalu.
Dalam bahasa psikologi, rasa adalah jembatan indah yang menghubungkan jiwa dengan semuanya. Begitu seseorang tidak menendang masalah, sekaligus tidak mengenggam yang indah, di sana rasa membuka banyak pintu rahasia. Tidak ada manusia yang mengerti semuanya. Dengan demikian, belajar merasa aman dan nyaman bahkan saat pikiran tidak tahu.
Ada sesuatu yang indah dan penuh berkah muncul di dalam, terutama saat seseorang berani mengatakan “ya” pada ketidaknyamanan. Begitu seseorang sering mengatakan “ya” tanpa syarat apa-apa pada ketidaksempurnaan khususnya, di sana jiwa melangkah secara sangat meyakinkan menuju gerbang kesempurnaan.
Setiap sahabat yang berhasil sampai di sini, suatu hari akan mengerti melalui pencapaian, bukan melalui perdebatan, apa saja yang diterima tanpa syarat apa-apa akan membawa seseorang pada taman indah kedamaian. Di taman jenis ini terbuka rahasia, hidup adalah sebuah berkah. Jangankan kelebihan, bahkan kekurangan pun menjadi berkah. Terutama karena kekuranganlah yang membuat setiap kelebihan yang sangat kecil terasa sangat indah.
Penulis: Guruji Gede Prama.
Photo: yelp. –sumber