BALI EXPRESS, SINGARAJA – Hampir di setiap upacara yadnya, menggunakan banten Beakala atau Bayakaon. Entah itu Bhuta Yadnya, Manusa Yadnya, Pitra Yadnya, Rsi Yadnya hingga Dewa Yadnya. Penggunaan banten Beakala wajib ada sebagai sarana penyucian lahiriah.
Banten Bayakaon berasal dari kata Baya dan Kaon. Baya artinya segala sesuatu yang membahayakan. Marabahaya yang bisa terjadi pada setiap upakara yadnya, pralingga, badan manusia, yang menyebabkan gejolak negatif ketika berpikir, berucap dan berprilaku yang bersumber dari egoisme. Sedangkan kata Kaon artinya menghilangkan. Bahkan, dalam Lontar Rare Angon tersurat jelas : “Banten Bayakaon inggih punika maka sarana ngicalang sekancanin pikobet-pikobet sane nenten becik, dumugi sidha galang apadang.”
Maksudnya, banten Bayakaon berfungsi sebagai sarana untuk menghilangkan semua gejolak negatif yang bersumber dari egoisme.
Ketut Agus Nova, S.Fil.H, M.Ag yang akrab disebut Jro Anom menjelaskan, sesuai dengan namanya banten Bayakaon mengandung makna simbolis, yakni bertujuan untuk menjauhkan kekuatan Bhutakala (kekuatan negatif) yang mengganggu umat manusia. “Banten Beakala berfungsi untuk menetralisasi sang Bhutakala. Itu bisa dikatakan sebagai lelabaan (santapan) Sang Bhutakala,”ujar Jro Anom kepada Bali Express (Jawa Pos Group), Selasa (26/12) lalu di Buleleng.
Jro Anom menyebut, banten Bayakaon dipergunakan sebagai manggala (upacara pendahuluan), selaku upacara penyucian, baik untuk unsur Bhuana Agung maupun Bhuana Alit. Tujuannya untuk mencapai keseimbangan antara lahir dan bhatin. Secara niskala, untuk menghilangkan kekuatan-kekuatan buruk Bhutakala serta mengembalikan ke sumbernya agar tidak mengganggu jalannya upacara.
Dikatakan Jro Anom, penyucian itu meliputi dua macam. Ada penyucian yang bermakna lahiriah dan ada penyucian yang bermakna rohaniah. Banten Byakala adalah banten yang melambangkan upacara penyucian lahiriah. Sedangkan upacara penyucian rohaniah dilaksanakan dengan menggunakan upakara atau banten Prayascitta. “Banten Bayakaon ini dipergunakan sebagai banten pendahulu, di semua jenis upacara panca yadnya. Itu wajib ada. Jika banten Bayakaon itu untuk penyucian lahiriah, maka penyucian rohanian mempergunakan banten Prayascita,” terangnya. Karena itu, lanjutnya, banten Prayascita ini selalu menyertai banten Bayakaon, agar penyucian secara jasmani dan rohani bisa dilakukan.
Menurutnya, ada beberapa komponen yang menyusun banten Bayakaon. Ada Sidi (ayakan bambu) yang di atasnya diletakkan Kulit Sasayut, Kulit Peras Pandan Berduri, Nasi Matajuh dan Matimpuh. Kemudian ada Lis Bayakaon, sampian Padma, Pabersian Payasan dan Sampian Nagasari dari daun Andong Merah berisi Plawa, Porosan, Bunga, Rampe dan Boreh Miyik.
Dikatakan Jro Anom, penggunaan Sidi atau ayakan ini sangat jelas fungsinya dalam kehidupan sehari-hari. Ayakan ini alat untuk menyaring tepung beras untuk mendapatkan tepung yang halus. Hal ini melambangkan tujuan banten Byakala ini adalah untuk menyaring wujud yang kasar menjadi lebih halus.
“Upacara Bayakaon itu untuk meningkatkan sifat-sifat Bhutakala dari yang kasar menjadi lebih halus, untuk membantu manusia dalam menangani berbagai perkerjaan dalam rangka beryadnya,” ungkap pria yang juga dosen STAHN Mpu Kuturan Singaraja ini.
Di atas ayakan itu kemudian diletakan Kulit Sasayut. Kulit Sesayut dibuat dari daun janur yang masih hijau yang disebut Selepan. Jro Anom mengatakan, Sasayut memiliki arti menuju karahayuan. “Dengan Kulit Sasayut itu telah tergambar bahwa tujuan banten Byakala itu adalah mengubah keadaaan dari yang kurang baik menjadi lebih baik. Dari yang kotor menjadi bersih dan suci tahap demi tahap,” terangnya.
Banten Byakala dilengkai dengan Nasi Matajuh dan Nasi Matimpuh. Nasi ini dibuat dengan nasi dan garam dan lauk pauk lainya. Nasi kemudian dibungkus dengan daun pisang sedemikian rupa, sehingga ada yang berbentuk segi empat (Nasi Matajuh) dan Segi Tiga (Nasi Matimpuh).
“Membungkus nasi dengan lauk pauknya dalam dua bentuk tadi dengan menggunakan daun pisang,” ujarnya. Nasi dalam dua bentuk itu, lanjutnya, melambangkan isi alam yang dibutuhkan oleh manusia sehari-hari. “Isi alam tersebut patut dilindungi dari pencemaran Bhutakala. Daun pisang yang dijadikan pembungkus itu lambang perlindungan dari pengaruh Bhutakala” imbuhnya.
Banten Byakala juga menggunakaan Sampian yang disebut Lis Alit atau Lis Bebuu sebagai Lis Pabyakalaan. Sampian Lis Bebuu ini lambang alam dalam keadaan seimbang. Dalam Sampian Lis ini terdapat beberapa Sampian jejahitan seperti tangga menek, tangga tuwun, jan sesapi, ancak bingin, alang-alang, tipat pusuh, tipat tulud, basang wayah basang nguda, tampak, tipat lelasan, tipat lepas, dan yang lainnya.
“Menurut mantram, tujuan pernggunaan Lis Bebuu ini untuk menghilangkan Dasa Mala, yaitu sepuluh perbuatan yang kotor yang tidak layak dilakukan,” paparnya.
Namun, yang tidak kalah pentingnya adalah penggunaan sarana daun Andong Merah yang wajib ada saat pembuatan banten Bayakaon. Jro Anom menyebut dalam konsep banten Bayakaon, daun Andong Merah merupakan simbol dari Dewa Brahma.
“Dalam Lontar Taru Pramana dijelaskan, jika daun Andong tersebut memang wajib ada di banten Bayakaon. Jika ada banten Bayakaon yang tidak terdapat panyeneng Andong Merah, maka banten tersebut bukanlah banten Bayakaon. Karena daun Andong tersebut berperan sebagai penolak bala,” tegasnya. Selain sebagai sarana upacara, daun Andong Merah, lanjut Jro Anom, sangat cocok ditanam di pekarangan rumah untuk menolak bala. “Daun Andong Merah cocok untuk penetralisasi pekarangan rumah, karena dapat menolak segala kekuatan negatif yang hendak menyerang rumah,” tutupnya.
(bx/dik/rin/yes/JPR) –sumber