BALI EXPRESS, MANGUPURA – Bayi yang terlahir ke dunia tak sendirian. Berdasar kepercayaan Hindu, ada empat saudara yang mengikuti yang disebut Catur Sanak. Lantaran itu pula, ada prosesi ritual khusus, salah satunya menanam Ari-ari sang bayi.
Ari-ari merupakan bagian dari kehidupan sang bayi yang menjadi personifikasi dari Sang Catur Sanak, yakni Sang Anta Preta, Sang Kala , Sang Bhuta, dan Sang Dengen
Sang Anta Preta merupakan sebutan dari air ketuban atu yeh nyom sebagai personifikasi saudara tertua dari sang bayi karena air ketuban sebagai pengantar bayi lahir ke dunia. Sang Kala merupakan sebutan darah yang keluar a saat melahirkan sebagai sumber energi dari bayi, sehingga bayi bisa bergerak aktif untuk keluar dari perut Ibu. Selanjutnya Sang Bhuta, merupakan sebutan untuk selaput ari atau lamas yang membungkus tubuh bayi, berguna sebagai penetralisir suhu udara sebelum lahir maupun saat lahir, sehingga suhunya menjadi seimbang dan sekaligus sebagai sarana pelicin saat bayi lahir. Dan, yang terakhir adalah Sang Dengen, yakni sebutan untuk Ari-ari atau placenta yang ikut lahir.
Ida Pedanda Gede Manara Putra Kekeran yang saat walaka bernama Drs. Ida Bagus Putu Sudarsana, MBA, mengatakan, Ari-ari sangat berguna sebagai sumber kehidupan bayi dalam kandungan. Sebab, ari-ari merupakan transformator dan mediator zat-zat makanan dari ibu kepada bayi dalam pertumbuhannya sekaligus sebagai selimut dalam menjaga stabilitas suhu tubuh bayi terhadap suhu badan si ibu
Lebih lanjut dijelaskan, saat bayi lahir, ada upacara khusus yang harus dilakukan untuk mendem Ari – ari si bayi.
Saat si ibu dalam proses bersalin, maka disiapkan sebuah periuk tanah yang berisi tutup untuk tempat Ari-ari, setelah bayi lahir.
Ari-ari tersebut, dibawa pulang, dan setelah itu diletakkan di dalam baskom atau ember baru, dan ember itu tidak boleh dipakai lagi. Lalu, Ari – ari tersebut dicuci dengan air. Sang ayah harus membersihkannya dengan bersih, menggunakan kedua tangan, tanpa perasaan jijik dan dilakukan dengan perasaan penuh syukur dan kasih saying. Setelah bersih lalu dibilas dengan air kumkuman (air bunga). Siapkan sebuah kelapa ukuran besar yang masih lengkap dengan kulitnya, lalu dipotong dan dikeluarkan airnya. Pada bagian atas kelapa (bagian tutupnya) ditulis aksara Ah yang melambangkan Akasa, dan pada bagian bawahnya ditulis aksara Ang yang melambangkan Pertiwi.
“Jadi, penanaman Ari-ari memiliki tujuan untuk menyatukan pertiwi dan akasa guna memberikan keseimbangan perjalanan si bayi,” imbuhnya.
Kemudian Ari-ari dimasukkan kedalam kelapa tersebut, diisi dengan 1 kwangen yang berisi 11 kepeng uang bolong yang diletakan di atas Ari – ari, 1 potong lontar atau ental yang ditulis aksara Ongkara, 1 ikat duri – durian (3 macam duri), Rempah – rempah (anget – angetan), wewangian dan boleh juga diisi pesan – pesan lain dari sang ayah dalam hal ini mengacu kepada Desa Kala Patra.
Tempat menanamnya sesuai dengan jenis kelamin si bayi. Kalau si bayi laki-laki, maka ditanam di sebelah kanan pintu balai, sedangkan kalau bayinya perempuan, maka Ari-arinya ditanam di sebelah kiri pintu balai (dilihat dari dalam rumah).
Di lain pihak, Mangku I Wayan Satra menjelaskan, sebelum mulai menanam Ari-ari, pertama harus menyalakan dupa untuk memohon perlindungan dan amertha ke hadapan Sang Hyang Ibu Pertiwi dengan mantra “ Om Ang sri basunari jiwa mertha, trepti paripurna ya namah suaha. Selanjutnya dengan ucapan “Pukulun Sang Hyang Ibu Pertiwi, pinakengulun aminta sih, ingsun angengkap pertiwi, ngulati amendem Ari-ari, tan kenang sira keletehan, rinaksanan denira Sang Catur Sanak, manadi pageh uripe di jabang bayi, Om sidhi rastu ya namah swaha.”
Setelah mengucapkan mantra tersebut, lanjutnya, barulah membuat lubang, selanjutnya Ari-ari dicuci dengan air biasa sampai bersih. Sesudah itu diusapi dengan boreh gading sampai rata, kemudian dibilas dengan air kumkuman agar bersih. Semua air pencucinya dimasukkan ke lubang tersebut. Ari-ari dimasukkan ke dalam kelapa yang dibelah menjadi dua dan diisi ngad, lontar yang telah ditulisi aksara, kewangen yang berisi uang bolong 11 kepeng, duri-duri, isin ceraken, anget-anget, dan wangi-wangian dibungkus dengan serabut ijuk, serta diluar ijuk dibungkus dengan kain putih, dibuat simpul di atasnya, dan dipasangkan kwangen di atasnya. Masukkan Ari-ari ke dalam lobang atau bangbang dengan muka kwangen ke arah halaman rumah. Sambil meletakkan di dalam lubang, ucapkan mantra dalam hati
“Om presadha stiti sarisa sudha ya namah“ dan ucapkan “Ong sang ibu pertiwi rumaga bayu, rumaga amertha sanjiwani, ngamertanin sarwa tumuwuh, ( nama bayi ) mangda dirgayusa nutugang tuwuh.
“Artinya, Om Hyang Widhi Wasa dalam manifestasi sebagai pertiwi, penguasa segala kekuatan, penguasa kehidupan, menghidupi segala yang lahir atau tumbuh, si anu (nama si bayi) semoga panjang umur.
Setelah ditanam, di atasnya ditanami pohon pandan dan batang kantawali, sebatang buluh guna memasukkan air nantinya ke ari-ari tersebut kemudian diletakkan sebuah batu hitam atau batu bulitan. Di atas batu diletakkan sebuah lampu Bali yang telah menyala dan dibiarkan tetap menyala sampai bayi kepus pusar, kemudian ditutup dengan sangkar ayam.
Di bagian hulu dari ari-ari, ditanam ditancapkan sebuah sanggah tutuan dihiasi dengan bunga merah, lengkap berisi sampian, gantung-gantungan, sebagai stana Sanghyang Maha Yoni.
Suguhkan segehan beralaskan daun taru sakti (dapdap) pada Ari-ari sebanyak empat tanding yang merupakan persembahan kepada Catur Sanak yakni, kepelan putih satu tanding, lauknya garam menghadap ke timur. Kepelan merah (bang) satu tanding, dengan lauk bawang menghadap ke selatan.
Kepelan kuning satu tanding, lauk jahe menghadap ke barat. Kepelan hitam (ireng) satu tanding, lauk uyah areng menghadap ke utara, dengan mantra “Ong sang butha preta, empu semeton jrone sang rare, mangde pageh angemit.”
Kemudian percikkan tetabuhan berem dan arak, dan lakukan ritual menghaturkan segehan ini setiap rahinan jagat, kliwon serta petemuan dina kelahiran bayi. Selanjutnya setiap hari di atas batu bulitan atau batu hitam disajikan banten nasi segenggam di atas daun dapdap dengan lauk garam dan arang.
Setiap selesai memandikan bayi, siramkan air memandikan bayi tersebut di batu hitam tersebut. Menghaturkan soda putih kuning, canang sari pada sanggah tutuan, dengan mantra “Om pakulun paduka Sang Hyang Maha Yoni maka dewaning rare astana ring pelantaran, penyawangan, pinakengulun sang adruwe jabang bayi anganturaken bhakti seprakaraning penek putih kuning, maduluran kesuma, pinakengulun aminta nugeraha, kemit rareningulun rahina kelawan wengi, anulak sarwa ala, sakwehing joti maetmahan jati, Ang, Ah amertha sanjiwani ya namah swaha.”
Selain itu, ada beberapa makna yang terkandung dalam perlengkapan menanam Ari-ari, yakni batu bulitan mengandung makna sebagai permohonan kehadapan Sang Hyang Widhi agar sang bayi dianugrahi panjang umur. Pohon pandan duri diwujudkan sebagai buaya putih sebagai penjaga bayi terhadap gangguan yang bersifat black magic. Lampu ini berbahan bakar minyak kelapa yang dicampur dengan minyak lampu wayang (tunasin ring jro dalang) serta minyak kelapa (nyuh surya). Lampu Bali yang menyala melambangkan Sanghyang Surya Candra, yaitu memiliki kekuatan Widia, oleh karena itu lampu tersebut ditatabkan atau ayab dengan mantra “Om Ang Ah surya candra gumelar ya namah swaha.“
Ini sebagai lambang kekuatan maya Sang Hyang Widhi dan sebagai Cakra Jala (batas pandang alam semesta), di mana Catur Sanak merupakan bagian mayanya Sang Hyang Widhi dan merupakan unit kehidupan maya di alam semesta, serta menjadi pelindung bayi. “Sanggah Tutuan merupakan simbol dari stananya Sang Hyang Maha Yoni sebagai Dewa pengasuh sang bayi,” tutup Satra.
(bx/rin/gus /yes/JPR) –sumber