BALI EXPRESS, DENPASAR – Pemacekan Agung adalah hari raya umat Hindu sebagai pemujaan terhadap Sang Hyang Widhi dalam manifestasinya sebagai Sang Hyang Prameswara, yang dirayakan setiap Soma Kliwon Wuku kuningan. Hal itu dilaksanakan dengan menghaturkan yadnya untuk memohon keselamatan.
“Sore hari (sandikala) menghaturkan segehan di halaman rumah dan di muka pintu pekarangan rumah yang ditujukan kepada Sang Kala Tiga Galungan beserta pengiringnya agar kembali dan memberi keselamatan,” ujar Dekan Fakultas Pendidikan Agama dan Seni UNHI, Dr. I Made Yudabakti, S.sp, M.Si yang diwawancarai Bali Express (Jawa Pos Group).
Lebih lanjut dijelaskan, kata Pemacekan Agung berasal dari kata Pacek yang dapat diberikan arti Tapa. Sedangkan kata Agung berarti kuat atau teguh. Dengan demikian, makna pelaksanaan hari suci Peemacekan Agung yakni karena telah kuat tapanya para umat Hindu terhadap godaan Sang Kala Tiga, sehingga Sang kala Tiga dapat di-somya dan kembali ke sumbernya.
Pemacekan Agung jatuh pada hari kelima setelah perayaan Hari Suci Galungan Pemacekan berarti ‘saat menancapkan sesuatu’ dan kata Agung berarti ‘besar, mulia, utama’. Secara filosofis Pemacekan Agung mengandung makna, bahwasanya hari ini manusia diingatkan agar ‘kemenangan’ yang telah ia peroleh melalui pertempuran melawan adharma dijadikan sebagai ‘tonggak’ kebangkitan kesadaran diri, sebagai ‘pengukuhan’ komitmen untuk selalu menjaga martabat kemanusiaan, dan menghindarkan diri dari ‘momo angkara’.
Di lain pihak, Ida Pedanda Gde Menara Putra Kekeran yang saat walaka bernama Drs Ida Bagus Sudarsana, menjelaskan, pada hari Suci Pemacekan Agung umat Hindu melaksanakan upacara kecil, berupa menghaturkan banten soda pada masing-masing palinggih dan melaksanakan persembahyangan sampai selesai metirtha. Sesudah selesai metirtha sebagian tirtha tadi diperciki ke seluruh pekarangan pemerajan dan perumahan.
Hal itu tiada lain adalah untuk menetralisir pengaruh Sang Kala Tiga. Etika dalam melaksanakan Pemacekan Agung adalah dengan memerciki tirtha ke arah Ngider Kiwa. Kemudian menghaturkan segehan agung di lebuh yang disertakan dengan api takep, tetabuhan arak berem. Dengan demikian selesailah pelaksanaan Hari pemacekan Agung.
Dalam lontar Dharma Kahuripan disebutkan: “Pamacekan Agung nga, panincepan ikang angga sarira maka sadhanang tapasya ring Sanghyang Dharma” (Pemacekan Agung, namanya demikian adalah pemusatan diri dengan sarana tapa kepada Sanghyang Dharma). Pemacekan Agung adalah sebuah ‘tapasya’ atau janji diri untuk selalu mengedepankan dharma dalam setiap tindak-tanduk kita mengisi hidup-sehingga kemenangan yang telah kita raih tidak tersapu oleh godaan ahamkara.
Pemacekan Agung adalah saat dimana panji-panji dharma ditancapkan dan ditegakkan. “Sehingga semua bentuk musuh baik yang berasal dari luar diri, pun yang bersumber dari dalam diri tidak memiliki kesempatan dan kekuatan melemahkan jati diri kita sebagai manusia (manusa sane masesana),” katanya.
(bx/gus /ima/yes/JPR) –sumber