BALI EXPRESS, DENPASAR – Agama Hindu di Bali memiliki banyak simbul dalam menjalankan agamanya. misalnya ada ritual yang membuat orang Hindu Bali menggunakan gelang benang Tri Datu. Namun benang merah, hitam dan putih ini bak menjadi trend fashion. Karena tak hanya orang Bali, atau orang hindu. Namun non hindu juga “nyaman” menggunakan gelang Tri Datu.
Menurut pandangan Ketua PHDI Provinsi Bali, Prof I Gusti Ngurah Sudiana, bagi umat Hindu Bali, benang Tri Datu atau juga sering disebut Sri Datu, secara etimologi, berasal dari dua kata yakni kata tri yang berarti tiga, dan datu yang berarti kekuatan, jadi Tri Datu berarti tiga kekuatan. Tiga kekuatan ddi sini adalah kekuatan dari tiga Dewa utama dalam agama Hindu. “Yakni Dewa Brahma, Dewa Wisnu, dan Dewa Siwa,” jelasnya.
Tri Datu yang memiliki tiga wrna yakni merah, putih dan hitam ini menjadi lambang tiga kekuatan. Yakni Dewa Brahma dengan aksara suci Ang, memiliki urip 9 dengan sakti Dewi Saraswati, disimbolkan dengan warna merah. Dewa Wisnu dengan aksara suci Ung, memiliki urip 4 dengan sakti Dewi Sri, dengan simbol warna hitam.
Dan Dewa Siwa dengan aksara suci Mang, memiliki urip 8 dengan sakti Dewi Durga, disimbolkan dengan warna putih. “Ketiga aksara ini yaitu Ang, Ung, Mang bila disatukan akan menjadi aksara AUM yang bila diucapkan menjadi OM. Aksara pranawa OM merupakan aksara suci umat Hindu serta memiliki nilai magis yang luar biasa sebagai simbol dari Ida Sanghyang Widi Wasa,” lanjut dosen IHDN ini.
Sehingga pada hakikatnya, dikatakan Sudiana, benang Tri Datu merupakan salah satu aktualisasi diri dalam konteks Tri Murti. Dalam ajaran agama Hindu Tri Murti adalah tiga kekuatan Sang Hyang Widhi Wasa dalam menciptakan, memelihara, dan mengembalikan pada asalnya alam beserta isinya.
Salah satu sastra yang membahas tentang penggunaan benang Tri Datu dalam ritual keagamaan Hindu adalah Lontar Agastya Parwa. Dimana dalam lontar Agastya Parwa disebutkan Sudiana, benang Tri Datu untuk manusia yakni Umat Hindu Bali digunakan sebagai sarana perlindungan dari kekuatan negatif. Sehingga manusia bisa terhindar dari hal-hal negatif dan bisa berfikir lebih bijaksana.
Dijelaskan Sudiana untuk jalinan benang ini bisa dikatakan benar bila ukuran benangnya, besar benangnya sama dijalin saling ikat bukan terlepas begitu saja, atau bukan dijalin seperti jalinan rambut. “Benang Tri Datu bagi masyarakat Hindu juga difungsikan sebagai sarana dan prasarana upacara keagamaan,” tambahnya.
Jika dilihat dilihat dari sejarah penggunaan benang Tri Datu, sebelum menjadi tren seperti saat ini, dikatakan Sudiana, hampir semua kegiatan keagamaan yang terangkum dalam Panca Maha Yajna dalam pelaksanaannya memakai benang Tri Datu. Mulai dari upacara Dewa Yajna benang Tri Datu difungsikan sebagai sarana nuntun Ida Sang Hyang Widhi dengan segala manifestasinya.
Selain itu, benang sebagai alat atau media penghubung antara pemuja dan yang dipuja, sehingga benang Tri Datu pada awalnya adalah sebuah pica (Anugrah) dari beberapa pura seperti Pura dalem Ped yang berlokasi di Nusa Penida. “Bisa dikatakan Pura Dalem Ped inilah yang pertama kali menganugrahkan gelang Tri datu kepada pemedek yang tangkil ke Pura, selanjutnya seiring dengan perkembangan, akhirnya hampir seluruh Pura di Bali saat ini menganugrahkan benang Tri datu kepada umatnya,” urainya.
Dalam upacara Butha Yajna, benang Tri Datu dipakai pamogpog (pelengkap) atas kekurangan persembahan yang dilaksanakan. Untuk pelaksanaan upacara Rsi Yajna juga memakai benang Tri Datu yang digunakan sebagai slempang pada tubuh yang di diksa atau winten sebagai pawitra dari nabe kepada sisya.
Sedangkan pada upacara Manusa Yajna benang Tri Datu difungsikan sebagai lambang panugrahan. Memakai benang pawitra berwarna Tri Datu bermakna pengikatan diri terhadap norma-norma agama. “Sedangkan pada upacara Pitra Yajna benang Tri Datu difungsikan sebagai panuntun atma yang telah meninggal,” paparnya.
Lantas bagaimana dengan benang Sanga Datu dan benang Panca Datu yang bisa didapat di Pura watu Klotok untuk Panca Datu dan Pura Besakih untuk Sanga Datu?
Hingga saat ini Sudiana mengaku jika belum ada literature yang menjabarkan tentang penggunaan Sanga Datu dan Benang Panca datu untuk digunakan sebagai gelang atau kalung oleh umat. “Untuk Sanga Datu dan panca Datu ini, belum ada literature yang menyebutkan tentang penggunaan kedua benang ini untuk gelang bagi manusia,” tambahnya.
Dengan latarbelakang ini, Prof Sudiana mengatakan tidak ada masalah jika umat non hindu menggunakan gelang benang Tri Datu tidak salah. “Selain itu memang tidak ada larangan bagi umat non Hindu untuk menggunakan benang Tri datu ini, sepanjang penggunaannya pada tempat yang tepat,” jelasnya.
Adapun masud tempat yang tepat ini seperti digunakan untuk gelang tangan dan kalung dan bukan gelang kaki. Karena jika digunakan di kaki tanpa adanya tujuan dan ritual yang jelas, maka penggunaan tersebut bisa dianggap sebagai pelecehan, karena mengunakan simbul Tri Murti bukan pada tempatnya. “Posisinya tepat, sehingga tidak menjadi pelecahan terhadap simbol Hindu. Tidak masalah jika digunakan umat lain,” urainya.
(bx/gek/bay/yes/JPR) –sumber