BALI EXPRESS, DENPASAR – Mitos dan sugesti masih melekat di benak umat Hindu hingga kini. Banyak masyarakat yang meyakini bahwa Kajeng Kliwon memiliki kekuatan magis yang sangat dasyat. Sehingga, masyarakat banyak yang memanfaatkannya sebagai hari pengobatan.
Kajeng Kliwon adalah pertemuan akhir dari dua wewaran, yakni Tri Wara dan Panca Wara. Kala itu diyakini sebagai hari yang sangat sakral dan kental dengan aura magis. “Pada zaman dulu ada kepercayaan masyarakat Bali untuk menetralisir suatu penyakit pada hari Kajeng kliwon,” ujar Jro Mangku I Wayan Satra yang diwawancarai Senin (30/1).
Dikatakan Mangku Satra, jika ada orang yang menderita sakit menahun seperti Koreng, Gondongan, Bisul, yang tidak sembuh- sembuh, maka sakit itu bisa dibuang dengan cara menghaturkan segehan atau blabaran di penataran agung atau di pertigaan agung, lengkap dengan banten yang telah ditentukan.
“Biasanya disertai dengan sesari uang kepeng yang berfungsi untuk menukar penyakit tersebut, sehingga yang bersangkutan dapat terbebas dari penyakit,” urainya.
Selain itu, banyak masyarakat yang memiliki anak atau bayi yang lama belum bisa berbicara atau berjalan, pada hari ini juga diyakini baik untuk memohon agar yang bersangkutan dapat berbicara dan berjalan. Untuk bayi yang belum bisa bicara biasanya diberikan tipat gong. Tipat gong di sini adalah yang telah dihaturkan pada gamelan yang digunakan hari itu juga. Sedangkan untuk bayi yang belum bisa berjalan, pada hari Kajeng Kliwon biasanya dilaksanakan ritual Nigtig. Ritual ini biasanya menggunakan daun ingan-ingan. “Dengan harapan si bayi dapat ringan kaki dalam berjalan,” pungkasnya
(bx/gus /rin/yes/JPR) –sumber