Sebelum ditemukannya kertas, masyarakat di Bali memanfaatkan kayu untuk menandai hari baik. Kalender kayu disebut tika yang artinya hari. salah satu pewaris kalender kayu atau tika ini adalah Wayan Jeger, 75 tahun dari Semana Badung Bali.
Dia sudah sejak kecil mengetahui keberadaan tika yang disimpan khusus oleh tetua di kediamannya. Dalam tika terdapat kotak berisikan nama hari dan nama wuku. Setiap pertemuan keduanya menunjukkan simbol tertentu. Ada hari baik untuk membuat rumah dan juga hari baik untuk melakukan upacara perkawinan.
Tika biasanya digunakan untuk mendapatkan hari terbaik dan akibatnya bila bertemu dengan bulan tertentu atau di Bali disebut sasih. Misalnya walaupun hari baik untuk membongkar rumah suda ditemuka, tapi bila sasih atau bulan sedang buruk, maka pembongkaran ditunda lebih dulu.
“Misalnya hari membongkar rumah bertepatan dengan musim hujan, pasti harus diundur sampai beberapa minggu, karena bila tetap dibongkar semua barang dan bahan untuk memperbaiki rumah akan basah kuyup selain tukang juga tidak akan maksimal mengambil pekerjaan,” tukas ayah 3 putra ini.
Yang lebih rumit juga ada disebut sarining wariga, setelah ditemukan hari baik, maka ditelusuri lagi urip dina, atau naptu dalam bahasa Jawa. Dengan menggabungkanya maka bisa ditentukan kebaikan dan keburukan apa yang dilakuka hari itu.
Misalnya perkawinan yang walau dilandasi cinta tapi bila urip dina si istri lebih tinggi dari si suami yang terjadi adalah istri lebih dominan dalam mengatur segalanya. Dengan tika juga bisa ditentukan kapan hari baik untuk mulai menggarap sawah.
Dan setelah ditemukan hari baik, harus dicocokkan juga dengan darma pemaculan, yakni pedoman upacara yang mesti dibuat oleh petani. “Pedoman bisa berupa sajen dan perangkat yang mesti disediakan mulai dari pembukaan lahan pertama sampai saat panen tiba,” tambahnya.
Setiap petani setelah menemukan waktu tanam yang baik akan melakukan upacara yang namanya ngendag. Saat mencangkul pertama dari sudut paling ujung timur, mereka membuat canang yaknya rangkaian aneka kembang yang diberi bermacam wewanginan dengan alas janur. Setelah itu barulah pencangkulan atau pentraktoran bisa dimulai.
“Begitu lahan usai dicangkul didiamkan lagi selama tiga hari agar bekas jerami membusuk karena akan jadi pupuk nantinya,” ungkap Jeger.
Saat tiba masa tebar benih, ada lagi sesajen yang mesti disiapkan berupa kojong dan nasi takilan, serta jumlah bibit yang ditebar berdasarkan urip hari seperti yang terdapat dalam tika.
Semuanya serba teratur, bahkan saat padi mulai berbuah, sampai menjelang panen tiba. “Ada yang namanya mantenin, ketika di sudut sawah dipasang bambu diberi bendera kecil, serta berbagai sesajen,” ujar Jeger.
Dengan berbagai ritual yang cukup rumit itu petani bekerja dengan sepenuh hati karena pekerjaannya senantiasa dilindungi oleh penguasa alam, begitu keyakinan mereka. Saat tanaman diserang hama, atau hamparan sawah kekeringan karena hujan turun terlambat, petani juga membuat acara yang disebut dengan nangluk merana.
Terakhir yang sekarang sedang marak di persawahan adalah, petani yang menjual sawahnya untuk kebutuhan mendukung kepariwisataan. “Mereka juga harus membuat upacara mralina carik, artinya menghentikan semua kegiatan yang berhubungan dengan pertanian, digantikan dengan kegiatan bisnis, semuanya termuat dalam darma pemaculan juga dalam tika,” tambahnya.
Setelah sawah berubah jadi hotel dan spa maka kegiatan seperti ngurit, ngendag dan sejenisnya berhenti selamanya, digantikan dengan kegiatan dugem, joging, pijat dan mabuk.
“Yang membuat prihatin, bila sawah dijadikan hotel semua, petani mesti mengerjakan apa untuk tetap hidup,” tuturnya sambil menggantung tika kayunya. –sumber