BALI EXPRESS, DENPASAR – Tantra adalah praktik mengalami, sedangkan laku adalah kitab agemannya, dan suara alam merupakan kidung dari bait-bait ayat sucinya. Jadi, ajaran di dalamnya lebih menekankan pada proses, dan hasil bukan menjadi hal yang penting.
Peneliti Budaya dan Penulis Buku Tantra, Ketut Sandika, S.Pd.,M.Pd, mengatakan, diri yang selalu tertuju pada hasil, niscaya mendatangkan keterikatan. Bagaimanapun keterikatan akan membawa diri pada penderitaan. Dan, menjalani proses adalah upaya untuk mengalami guna membebaskan diri dari segala ikatan itu.
“Ketakutan adalah ikatan yang disebabkan oleh diri yang selalu melihat hasil dari sebuah proses. Takut akan kematian, sebab diri selalu memandang kematian akhir dari sebuah proses kehidupan. Padahal, kematian bukan hasil akhir, tetapi bagaimana jiwa berproses dalam menjalani kelahirannya,” terang
pria kelahiran Klungkung, 11 Februari 1988 ini kepada Bali Express (Jawa Pos Group) di Denpasar, pekan kemarin.
Takut akan rasa sakit, entah sakit fisik, hati, dan lainnya, lanjutnya, dikarenakan diri selalu memandang hasil dari sakit adalah kematian, sakit itu duka, sakit itu sedih, sakit menderita dan seterusnya. Padahal, sakit mesti dialami sebagai sebuah proses, sehingga ada penikmatan dengan kesadaran penuh.
“Takut kehilangan, sebab diri terikat akan kepemilikan. Padahal, kehilangan adalah proses dari kewajaran, sebab semua yang kita miliki adalah sementara. Bahkan dalam Tantra, keakuanlah yang menyebabkan kita merasa memiliki. Jika Tuhan ada, menyusupi, menggerakkan yang bergerak dan tidak pada semuanya, lantas siapa yang memiliki apa,” beber pria kalem yang juga peneliti budaya ini.
Ditegaskan I Ketut Sandika, semua ketakutan itu hendaknya dialami, dan bukan untuk dihindari. Masuklah ke dalam ketakutan itu lebih dalam. “Jalani semua ketakutan itu sebagai sebuah proses pematangan diri, juga proses diri untuk mengenali ketakutan itu. Sehingga kita bisa memeluknya erat-erat dan menjadikannya sahabat hidup yang terbaik, yang pada akhirnya
tidak akan ada ketakutan lagi,” sarannya.
Transformasi kesadaran muncul, lanjut Sandika, akan menjadikan ketakutan sebagai kekuatan untuk welas asih pada diri dan semuanya.
Dosen Ilmu Yoga dan Kesehatan IHDN Denpasar dan IKIP PGRI Bali ini, menegaskan, ketakutan diciptakan sendiri dalam ruang pikiran, di mana ruang pikiran berada di wilayah emosi.
Dicontohkan Sandika, seseorang takut jika makan kekenyangan, bila tidak makan takut lapar. Padahal, makan sesungguhnya bukan urusan kenyang dan lapar, tetapi bagaimana memelihara raga sarira untuk menopang jiwa.
Dalam Tantra, lanjutnya, pikiran dan emosi terbentuk dari rajutan Prakerti, yang berarti ia ada hanya sementara dan nirkekal. Jadi, memasukinya lebih dalam adalah untuk mengenali reaksi pikiran, guna mengetahui akar dari ketakutan.
“Jika takut mati, berarti pikiran telah memproyeksikan bahwa kematian adalah mengerikan. Jika, kita memasuki lebih dalam ketakutan itu, maka kematian tidaklah mengerikan. Kematian justru menggembirakan, sebab ada keajaiban di sana. Ada kebahagiaan, di mana jiwa terlepas dari kungkungannya. Begitu juga ketakutan kita yang lainnya,” kata Sandika.
Dengan demikian, lanjutnya, akar dari ketakutan adalah proyeksi pikiran yang keliru dalam memahami suatu hal. “Pengetahuan kita yang keliru dalam memandang kematian, kehidupan, sakit, usia tua, kepemilikan dan lainnya, efek dari terlalu sering mengandalkan pikiran, bukan hati,” ujarnya.
Ditegaskannya, dalam Tantra, alami dan masuki ketakutan dengan hati, maka pengetahuan yang benar tentang ketakutan akan dialami. “Inilah disebut jalan Samyak Jnana atau jalan mengetahui pengetahuan rasa sejati dalam Tantra,” pungkasnya.
(bx/rin/ima/bay/yes/JPR) –sumber