Desa Tampaksiring merupakan Desa yang cukup tua di Bali, namun catatan sejarah berupa angka tahun atau tahun candra sangkala mengenai kapan daerah ini bernama Tampaksiring belum ada secara pasti. Untuk itu dalam menyusun profil Desa ini disusun berdasarkan berdasarkan cerita rakyat tentang Maya Danawa,Babad Danawantaka, dan Usana Bali. Dari sumber itulah asal usul Desa Tampaksiring dapat dijelaskan.
Bertahtalah seorang Raja besar bernama Sri Mayadanawa di Kerajaan Bedahulu, Bali. Beliau adalah seorang Raja yang sangat sakti, namun kesaktiaannya digunakan untuk melakukan perbuatan Adharma. Pada masa pemerintahannya rakyat tidak diperbolehkan melakukan persembahayangan ke Pura Besakih melainkan harus menyembah Raja sendiri (Maya Danawa). Keadaan demikian membuat rakyat Bali sangat menderita, tidak tentram, dan kacau balau, untuk mengatasi hal tersebut maka para Dewa Nawa Sanga mengadakan samuan agung di Besakih. Hasil dari pesamuan tersebut disampaikan kepada Sang Hyang Pasupati, maka diutuslah Sang Hyang Indra untuk memerangi Mayadanawa yang telah banyak melakukan kekacauan serta menentang ajaran-ajaran Dharma(Agama). Terjadilah peperangan antara pasukan Sang Hyang Indra dengan prajurit Mayadanawa.
Perang pertama terjadi disebelah utara kerajaan Bedahulu, korban banyak berjatuhan, mayat bertumpukan seperti gunung, maka tempat ini namai Dusun Sawa Gunung. Perang terus berlangsung pasukan Mayadanawa dihadang, maka tempat ini sekarang dinamai Cagahan (berasal dari kata cegah), Mayadanawa kemudian lari dan bersembunyi dihutan dapdap sehingga tempat ini dinamai Dusun Dapdap. Dari hutan dapdap Mayadanawa lari kehutan kelapa yang letaknya disebelah utara disana ia menyamar menjadi daun kelapa muda (busung) tempat ini sekarang dikenal dengan nama Dusun Blusung.
Mayadanawa dengan kesaktiannya yang luar biasa biasa hilang secara tiba-tiba dan muncul tiba-tiba (maya-maya) namun Sang Hyang Indra selalu dapat melihatnya, sekarang tempat ini dinamai Dusun Laplapan. Kemudian Mayadanawa menyamar menjadi Ayam Brumbun dan tempat ini bernama Dusun Mancawarna. Pengepungan yang dilakukan Sang Hyang Indra tidak henti-hentinya dilakukan, pada suatu tempat Sang Hyang Indra kehilangan jejak, hanya bekas jejak kaki yang miring dilihat oleh Beliau. Sang Hyang Indra curiga dengan hal ini, maka Beliau bersama pasukannya terus melacak jejak-jejak kaki yeng terlihat miring tersebut dan ternyata memang benar dugaan Sang Hyang Indra bahwa itu merupakan bekas jejak kaki Mayadanawa yang dimiringkan dengan tujuan untuk mengelabui Sang Hyang Indra, maka tempat ini sekarang dikenal dengan sebutan Tampaksiring. Kata ini berasal dari kata “Tampak” yang artinya bekas pijakan kaki di tanah, dan “Miring” yang berarti kelihatan sebagian, mengikuti. Jejak inilah yang terus diikuti oleh Sang Hyang Indra, oleh karena hari sudah larut malam pengepungan dihentikan untuk istirahat (anguling), maka tempat ini sekarang dikenal dengan nama Pura Gulingan.
Pada saat pasukan sang Hyang Indra tidur pasukan Mayadanawa mengatur siasat dengan cara menciptakan air mala (air beracun), setelah bangun dari tidur karena merasa lelah dan haus pasukan Sang Hyang Indra mencari air, kemudian mereka menemukan air yang sangat jernih dan meminumnya beramai-ramai, namun malang bagi mereka setelah meminum air tersebut mereka keracunan. Sang Hyang Indra merasa sedih melihat keadaan tersebut, kemudian Beliau berpindah tempat untuk menenangkan pikiran, tibalah Beliau disuatu tempat yang dipenuhi dengan pohon cemara, maka tempat ini dekenal dengan Pura Cemara, disinilah Beliau melakukan semadi dan mendapatkan pawisik untuk menciptakan air penawar racun, kini air ini dikenal dengan nama Tirta Empul. Tirta Empul berasal dari kata “tirta” yang artinya air suci, dan “empul” yang berarti keluar, mengepul, ciptaan dengan kekuatan bathin. Sehingga tempat ini juga dinamai dengan Pura Tirta Empul.
Dengan bantuan air tersebut maka pasukan Sang Hyang Indra diselamatkan. Setelah semua kembali seperti semula, maka Sang Hyang Indra melakukan perundingan dengan bala tentaranya kemudian menemukan tempat yang kini dikenal dengan nama Pura Semut di Desa Maniktawang. Dalam perundingan tersebut disepakati untuk membagi-bagi diri dalam kelompok dalam bergerak, maka tempat ini dikenal dengan nama Pura Belahan. Daerah tersebut telah dikepung dari segala arah sehingga ruang gerak Mayadanawa dibatasi oleh pasukan Sang Hyang Indra, maka tempat ini bernama Dusun Bantas (batas, membatasi), sambil mengurung Mayadanawa panglima-panglima Sang Hyang Inra melakukan rembuk guna mengakhiri peperangan tersebut (tempat ini sekarang bernama Pura Gumang) akan tetapi tiba-tiba saja Mayadanawa menghilang dan hanya buah labu besar yang terlihat disana, maka timbul kecurigaan bahwa labu tersebut menjadi tempat persembunyian Mayadanawa dan patihnya yang bernama Kalawong, tempat ini sekarang bernama Teluk Tabu.
Perang terus berlanjut tetapi tiba-tiba Mayadanawa kembali menghilang dan berubah menjadi ayam besar, tempat ini sekarang bernama Manukaya. Manukaya berasala dari kata “manuk” berarti ayam, dan “raya” berarti besar. Perang semakin panas, Pasukan Sang Hyang Indra terus mengejar dimana saja gerak Mayadanawa, dan daerah ini dikenal dengan nama Tegal Pengejaran. Mayadanawa terus berlari dan akhirnya berlindung dibalik sebuah batu namun Sang Hyang Indra tidak ingin Mayadanawa meloloskan diri, maka batu tersebut dipanah oleh Sang Hyang Indra sehingga kaki Mayadanawa terpeleset, tempat ini dikenal dengan nama Sebatu, berasal dari kata “sauh” berarti terpeleset, dann “batu” berarti batu Kekalahan demi kekalahan dialami pasukan Mayadanawa bersama patih Kalawong, pada suatu tempat kembali Mayadanawa menyamar menjadi seorang bidadari cantik namun tetap diketahuai oleh Sang Hyang Indra, tempat ini dinamai Dusun Kendran. Walaupun dalam keadaan terkurung namun Mayadanawa dapat melumpuhkan kekuatan patih Sang Hyang Indra dengan mematahkan tangannya sehingga keahlian didalam memanah tiada lagi. Daerah ini dikenal dengan nama Dusun Saraseda, “sara” berarti panah, dan “seda” berarti lumpuh,mati.
Keadaann yang demikian tidak mempengaruhi pasukan Mayadanawa dann Beliau pun dapat membunuh Patih Kalawong. Kemudian Mayadanawa berlari hingga pada suatu tebing ia tidak dapat melarikan diri lagi, hal tersebut digunakan sebaik-baiknya oleh Sang Hyang Indra dengan Panah Badjra terbunuhlah Mayadanawa. Daerah ini dikenal dengan nama Tanah Pegat. Darah dari Mayadanawa mengalir ke sebuah sungai yang mengakibatkan sungai tersebut berwarna merah (mala), kemudian air sungai tersebut oleh Sang Hyang Indra tidak boleh digunakan oleh manusia selama 1700 tahun, baik digunakan untuk keperluan sehari-hari maupun untuk sarana yadnya. Sekarang sungai ini dikenal dengan nama Sungai Petanu, berasal dari kata “peta” yang berarti suara, dan “nu” berarti daerah. Sedangkan tempat dimana Mayadanawa dikubur dinamai Dusun Taulan. —sumber