TRIBUN-BALI.COM, AMLAPURA – Sejak dinyatakan berstatus Siaga (Level III) pada 18 September lalu, Gunung Agung ternyata terus memperlihatkan peningkatan aktivitas vulkaniknya.
Kemarin dilaporkan bahwa magma atau cairan ultra-panas di dalam kawah gunung sudah mulai naik ke permukaan.
Gempa vulkanik dalam dan dangkal juga terus meningkat, sehingga berdampak ke permukiman warga di lereng gunung.
Kepala Pusat Vulknologi Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) Ir Kasbani MSc menjelaskan bahwa aktivitas vulkanik Gunung Agung terus mengalami peningkatan, dan masih tinggi.
Pada hari Rabu (20/9/2017), dalam satu hari gempa terjadi hingga 560 kali.
Sedangkan pada Kamis (21/9/2017) pukul 00.00 hingga 12.00 Wita, gempa mencapai sebanyak 289 kali.
“Ada 40 kali gempa vulkanik dangkal, dan sisanya gempa vulkanik dalam serta gempa tektonik. Ada juga terdeteksi gempa yang menandakan pergerakan magma mulai mengarah ke permukaan,” kata Kasbani saat ditemui di Pos Pemantauan Gempa di Rendang, Karangasem, Kamis (21/9/2017).
Hal yang sama ditegaskan oleh Sutopo Purwo Nugroho, Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB (Badan Nasional Penanggulangan Bencana).
“Ada proses pergerakan magma yang mendorong permukaan dan meruntuhkan batuan yang menyumbatnya di jarak 5 kilometer di bawah permukaan bumi. Namun status Gunung Agung belum berubah, masih Siaga (Level III),” ujar Sutopo melalui pesan WhatsApp yang diterima di Denpasar, Kamis (21/9/2017).
Berdasarkan catatan di Pos Pemantauan Gunung Agung di Rembang, kemarin amplitudo vulkanik dalam rata-rata 4 sampai 8 MM, durasinya 10–24 detik.
Sedangkan amplitudo vulkanik dangkal 3-4 MM dengan durasi 10-11 detik.
Untuk gempa tektonik lokal, amplitudonya 7-8 MM, durasinya 30-47 detik.
Diprediksi frekuensi gempa akan terus mengalami peningkatan hingga ke depan.
Dari hasil pemantauan, pergerakan magma sudah terjadi di sekitar jarak 5 kilometer di bawah permukaan laut .
Dijelaskan Kasbani, dalam energi gunung berapi terkandung uap dan gas yang berfungsi mendobrak material yang berada di atasnya.
”Kapan akan terlepas (terjadi dobrakan, red), itu yang kita tidak tahu. Kami hanya membaca tanda-tanda,”ungkap Kasbani.
Ditambahkan, energi yang dihasilkan dari aktivitas magma di bawah permukaan Gunung Agung demikian besar.
Itu bisa diprediksi dari jarak waktu letusan yang cukup lama, yakni selang 54 tahun dari waktu terjadinya letusan terakhir pada tahun 1963.
Berdasarkan catatan PVMBG, Gunung Agung hanya punya sedikit peristiwa letusan.
Gunung Agung tercatat baru 4 kali meletus sejak tahun 1800, yakni tahun 1808, 1821, 1843, serta 1963.
Ini berbeda dengan sejumlah gunung berapi lainnya di Indonesia.
Karakter letusan Gunung Agung juga sangat eksplosif, berbeda dengan gunung berapi lain di Indonesia yang sering meletus dan berulang.
“Tadi (kemarin) kita juga pasang alat pendeteksi untuk mengetahui kembang kempesnya gunung. Hari ini akan ditambah satu lagi alat untuk mengukur jarak miring dan jarak datar,” jelas Kasbani.
Dilihat dari frekuensi gempa serta kekuatan amplitudonya, perubahan aktivitas Gunung Agung begitu cepat dan meningkat begitu tajam.
Perubahan yang cepat dan tajam yang ditunjukkan Gunung Agung itu, kata Kasbani, membuatnya sangat berpotensi ke arah letusan.
“Tapi belum bisa dipastikan kapan terjadi (letusan). Petugas kami akan terus membaca tanda-tanda dari gunung,” terang Kasbani.
Oleh karena itu, PVMBG kembali menghimbau warga untuk tidak melakukan aktivitas di seluruh area dalam radius 6 kilometer dari kawah Gunung Agung.
Selain itu, karena kondisi gunung terus mengalami peningkatan aktivitas vulkaniknya, maka ada juga perluasan kawasan berbahaya 7,5 kilometer dari utara, selatan, tenggara, dan barat daya.
Pengungsi Bertambah
Dijelaskan oleh Sutopo bahwa jumlah penduduk di Kawasan Rawan Bencana 3 (KRB 3) sebanyak 49.485 jiwa yang berasal dari 6 desa di Kabupaten Karangasem.
Desa-desa itu adalah Jungutan Kecamatan Bebandem, Desa Buana Giri Kecamatan Bebandem, Desa Sebudi Kecamatan Selat, Desa Besakih Kecamatan Rendang, Desa Dukuh Kecamatan Kubu, dan Desa Ban Kecamatan Kubu.
Sedangkan di Kecamatan Klungkung, warga lereng Gunung yang mengungsi berasal dari Desa Sebudi, Kecamatan Selat, Klungkung.
Total sampai sore kemarin terdapat 404 pengungsi di Klungkung, yang sebagian terbesar ditampung di Pos Pengungsian GOR Swecapura Gelgel.
Di Karangasem, sampai kemarin sore jumlah pengungsi yang ditampung di sejumlah tempat di sana sebanyak 3.819 jiwa.
Di Tejakula (Kabupaten Buleleng), jumlah pengungsi dari Kubu dan Ban (Karangasem) yang ditampung sebanyak 527 jiwa.
Berdasarkan data-data yang diperoleh Tribun Bali, total jumlah pengungsi Gunung Agung hingga kemarin sore sebanyak 4.750 jiwa.
Pendataan pengungsi, kata Sutopo, terus dilakukan dan jumlah mereka dipastikan bergerak naik.
“Meskipun Bupati Karangasem belum memerintahkan secara resmi mengungsi, namun pengungsian banyak dilakukan secara mandiri oleh warga,” ujar Sutopo.
Dikatakan oleh Sutopo, sebagian besar warga mengungsi karena pengalaman masa lalu saat Gunung Agung meletus besar tahun 1963.
Tanda-tanda yang mereka rasakan saat ini, yaitu gempa vulkanik yang sering terjadi dan suhu makin terasa panas di lereng gunung bahkan pada malam hari, mirip sekali dengan kejadian sebelum Gunung Agung meletus tahun 1963.
Sutopo mengakui, tidak mudah menangani pengungsi apalagi pengungsi dari erupsi gunung api yang jumlahnya besar, dan tidak diketahui pasti sampai kapan harus mengungsi karena sangat tergantung dari waktu letusannya.
Untuk saat ini, kata dia, banyak tenda pengungsian didirikan.
Walaupun begitu, menurut warga, mengungsi di banjar atau balai desa lebih nyaman daripada di tenda-tenda.
Juga lebih nyaman mengungsi di rumah kerabat yang berada di wilayah aman.(*) –sumber