Paibon yang berasal dari suku kata pa+ibu+an yang dalam arsitektur pura disebutkan didalamnya dilengkapi dengan Gedong Ibu sebagai pelinggih Hyang Kompiang yang berfungsi untuk memanggil para dewata dewati bagi pratisentananya.
Sebagai kewajiban bagi umat Hindu dalam pelaksanaan ajaran pitra yadnya dan erat kaitannya dengan adanya pitra rna disebutkan oleh Yuli Supriandana dalam Tugas Siva Siddhanta II Sanggah Merajan yang secara fisik, terutama bagi umat Hindu di Bali dan sekarang sudah pula dibawa konsepnya di luar Bali,
Wujud nyatur ditandai dengan dari pitra puja itu pendirian sanggah/merajan. Merajan inilah yang berfungsi sebagai tempat suci memuja roh suci leluhur yang telah menjadi dewa pitara (sidha dewata).
Menurut suratan lontar siwagama dengan tegas menyatakan bahwa setiap keluarga (Hindu) dianjurkan untuk mendirikan sanggah kemulan sebagai perwujudan ajaran pitra yadnya yang berpangkal pada pitra rna,
Dan selanjutnya di dalam lontar purwa bhumi kemulan ditambahkan bahwa yang distanakan atau dipuja di sanggah kemulan itu tidak lain adalah dewa pitara atau roh suci leluhur. memuja Hyang Widhi/dewa juga untuk memuja dewa pitara.
Hal ini tidak terlepas dari keunikan agama Hindu Bali yang mengkombinasikan filosofi keyakinan agama Hindu yang bersumber dari India dengan keyakinan/pemujaan terhadap leluhur dimana diyakini bahwa bahwa :
Setelah melalui upacara penyucian, roh leluhur tesebut telah mencapai alam dewata dan menjadi dewa/bhatara pitara dan ini tentu saja juga tidak terlepas dari Dharmamereka selama hidup.
Selanjutnya mengenai Palinggih Hyang Kompiang dapat diuraikan sebagai berikut: Palinggih Hyang Kompiang (paibon) merupakan fenomena baru dalam perkembangan Agama Hindu di Bali yang dimulai sekitar tahun 1970,
yaitu beberapa tahun kemudian setelah diadakannya Karya Agung Eka Dasa Rudra(1963) di Pura Besakih.
Pelinggih paibon ini di jadikan tempat suci untuk memanggil orang yang sudah sudah meninggal dunia yang belum bersih, krama sanggah menyakini bahwa lewat di sanggah paibon gampang memanggil orang yang sudah meninggal dengan beberapa tetandingan banten disebutkan di gunakan yaitu :
- Canang daksina,
- sagi saji dapetan pengiring,
- banten sodan, pemanisan, suci sari, banten sorohan, punjung kuning.
- Bahasa see yang di ucapkan pemangku dadia yaitu untuk memanggil para dewata dewati :
- “prekakan pretaksu sane ngiligang dewata dewati titiang ring paibon titiang katurin canang daksina …..”
Dan ukuran pelinggih paibon biasanya panjangnya disebutkan kira-kira 90 cm dan lebar 40 cm. –sumber