Lebih dari sebagian manusia di bumi membenci setan. Di Barat bahkan pernah ada film berjudul Ghost Buster (pemburu hantu). Ringkasnya, Tuhan disembah setan diusir dengan penuh amarah. Cahaya dipuja, kegelapan dicerca. Kebenaran ditinggikan, kesalahan dibuang. Begitulah sejarah manusia sejak dulu.
Dengan tidak bermaksud menyebut cara pandang seperti itu dengan sebutan salah, ada dua tampat di bumi di mana mahluk bawah tidak saja tidak diserang, malah diberi suguhan. Dua tempat itu adalah Bali dan Tibet. Di Bali mereka bahkan dibikinkan tempat tinggal bernama penunggun karang. Di hari-hari suci disediakan suguhan. Di Tibet disebut torma.
Ini bukan berarti tetua Bali dan tetua Tibet menyembah setan, sekali lagi bukan. Tapi ia sedang memberi masukan tentang betapa dalamnya kasih sayang tetua di tempat ini. Teman-teman yang belajar neoru-science (bidang otak manusia) mengerti, setiap kali ada memori dari masa lalu, atau seseuatu yang terlihat asing, respon pertama otak adalah negatif. Oleh para sahabat di neuro-science disebutkan, kalau itu cara otak kiri menjaga keselamatan tubuh manusia.
Berbeda dengan neuro-science yang relatif baru, ilmu tua bernama mitologi bercerita kalau otak kiri manusia yang penuh logika baru berumur beberapa ribu tahun, sedangkan otak kanan manusia yang kaya rasa sudah berumur jutaan tahun. Dengan kata lain, peradaban modern bergantung pada organ tubuh manusia yang masih sangat muda.
Sebagai penjelasan lebih lanjut, jika logika mudah membangun tembok pemisah, rasa sering membangun jembatan indah. Bila logika mengenal istilah kami-kamu, rasa aman nyaman dengan istilah kita. Sementara logika bekerja dalam keterpisahan, rasa tumbuh indah dalam kebersatuan. Bahasa logika adalah kebenaran, bahasa rasa adalah ke-u-Tuhan.
Dalam peta pemahaman seperti ini, mudah dikenali bahasa yang digunakan oleh tetua Bali dan tetua Tibet. Bahasa yang digunakan bukan kebenaran, melainkan ke-u-Tuhan. Dulunya, kehidupan yang utuh dan penuh hanya terdengar di buku suci. Belakangan, ia juga dibenarkan oleh ilmu fisika. Salah satu pesan yang dikenal luas dalam hal ini berbunyi seperti ini: “Patahnya sebuah sayap kupu-kupu di Okinawa mempengaruhi cuaca di Australia”.
Ringkasnya, seperti sebuah jejaring laba-laba, apa yang terjadi di sebuah bagian akan mempengaruhi bagian yang lain. Dengan demikian, saat tetua Bali dan Tibet memberikan suguhan pada mahluk bawah, sesungguhnya mereka sedang menjaga keseimbangan alam. Sekaligus bercerita tentang pentingnya melihat hidup sebagai sebuah ke-u-Tuhan.
Dan hasil cara pandang seperti itu tidak lahir di sembarang tempat. Ia lahir di Tibet di atap bumi sekaligus lokasi Gunung Kailash yang sering disebut sebagai rumah Shiva (Tuhan) yang tertinggi di muka bumi. Ia lahir di Bali yang sering disebut oleh media dunia sebagai pulau terindah di seluruh dunia.
Sederhananya, pelan perlahan belajar untuk tidak serakah memiliih benar di atas salah, baik di atas buruk, suci di atas kotor. Sebagaimana sampah berputar menjadi bunga indah, bunga indah berputar menjadi sampah, apa yang disebut manusia salah di sebuah zaman, bisa jadi benar di zaman lain.
Dan malaikat terdekat yang bisa sangat membimbing dalam hal ini bernama senyuman. Persisnya, bagikan senyuman baik pada apa yang disebut buruk maupun baik. Kemudian lihat, bagaimana pohon sejuk di dalam mulai bertumbuh indah. Ia tidak saja menyejukkan lingkungan, tapi juga menyejukkan setiap langkah di sepanjang perjalanan.
Penulis: Guruji Gede Prama.
Photo: Myuran Sukumaran. –sumber