BALI EXPRESS, DENPASAR – Nyeda Raga dalam upacara Madiksa, layaknya seperti orang yang sudah meninggal dunia. Biasanya masing-masing pendeta sudah memiliki seorang nabe, yang akan menuntun pelaksanaan Nyeda Raga tersebut.
Dalam proses Nyeda Raga, ada yang sadar dan ada pula yang tidak sadar. Bahkan, ada juga yang berbau layaknya seperti mayat, bahkan ada yang berbau harum. Hal itu dijelaskan Ida Pedanda Gede Wayahan Wanasari, ketika ditemui Bali Express (Jawa Pos Group) di Gria, Jalan Danau Beratan, Sanur, Denpasar, pekan kemarin.
Dikatakannya, sadar atau tidak saat Nyeda Raga, semuanya tergantung dari tingkat spiritual sang nabe. “Kalau saya, tetap diberikan kesadaran. Supaya bisa mengingat apa yang seharusnya dilakukan ke depannya. Kalau dilupakan atau tidak sadar, kan bisa lupa sama diri. Makanya di situ waktu untuk merenung yang tepat. Entah sadar atau tidak sadar, apa perbuatannya terdahulu, dari umurnya nol tahun sampai madiksa tersebut. Semuanya harus diingat, pernah atau tidak menyakiti, pernah atau tidak berbuat baik selama hidupnya,” jelasnya.
Ditegaskannya, Nyeda Raga sebagai waktu untuk introspeksi diri selama hidup, sehingga setelah menjadi seorang sulinggih ke depannya tidak mengingat masa lalu lagi. “Selalu melihat ke depan, karena akan menjadi panutan. Bila ada seorang sulinggih marah – marah atau sifat tak bagus lainnya, itu bukan mencerminkan sifat sebagai pendeta. Dan, bisa dikatakan proses Nyeda Raga dan prosesi Madiksa tidak terlaksana dengan sukses,” terangnya.
Sebelum memutuskan menjadi seorang pendeta, harus siap mental dan kesiapan dalam ilmu pengetahun. Sebab, ketika sudah menjadi seorang sulinggih dianggap bisa untuk mengatasi, maupun menjawab sebuah masalah yang ada kaitannya dengan upacara. “Menjalani proses Madiksa dan Nyeda Raga, berarti sudah siap menjalankan hidup yang kedua kalinya,” bebernya.
Disinggung pada saat nyeda raga, kadang ada yang berbau seperti mayat, Ida Pedanda Wayahan tidak mau berkomentar banyak. “Saya tidak mau masuk ke ranah tersebut, tapi sebaiknya saat itu berbau harum. Karena orang yang Madiksa itu memiliki kemampuan dan intelektual yang tinggi, ilmu pengetahuan tentang agama juga yang luar biasa. Bahkan, bisa diibaratkan harus harum segala-galanya,” terang Ida Pedanda Wayahan.
Ida Pedanda Wayahan mengaku memang niatnya menjadi seorang pendeta sejak dulu. Di mana dirinya mempersiapkan selama tiga puluh tahun. Selama waktu puluhan tahun tersebut, ia gunakan untuk mencari ilmu sebanyak-banyaknya, sebelum akhirnya mencari guru yang terakhir, yaitu nabenya. Agar ilmu tersebut bisa digunakan saat menjadi seorang pendeta nanti.
(bx/ade/rin/yes/JPR) –sumber