Sosok seorang ibu, bagaimanapun ia, sudah jelas sangat berjasa telah melahirkan kita di dunia ini. Tanpa ibu, roh kita tidak mungkin bisa melanjutkan perjalanan samsara di dunia.
Bayangkan saja, kalau roh tidak lahir, padahal ia harus mengalami punarbhawa, bagaimana cara roh kita menebus dosa-dosa yang telah diperbuat pada masa yang lalu ?. maka seyogyanya kita patut menjungjung seorang ibu. Karena berkat pengorbanan dirinya, melakukan meditasi, tapa brata selama sembilan bulan berjuang melawan cobaan, deraan hina dan nestapa. Ia lakoni dengan jiwa yang tulus penuh ikhlas.
Coba saja kita saja legowo. Betapa menderita ibu kita, ia berkorban, ia berkorban sedemikian rupa memelihara janin yang berada di tubuhnya, sampai waktunya kita lahir ke dunia. Selanjutnya, ia menjaga kita tetap hidup, supaya bisa terus menghirup udara pagi. Sehingga, sudah sepatutnya kita tak durhaka padanya. Walaupun ibu kita bersikap tak layak, tak berkenan di hati kita seyogyanya kita sebagai putranya memaafkannya, janganlah coba-coba melawannya, menentangnya. Bisa fatal akibatnya.
Dulu, hiduplah seorang anak dari keluarga miskin yang hidup penurut. Namanya, Ranu. Kalau disuruh ibunya, ia tak pernah membantah. Sehingga ia disayangi oleh kedua orang tuanya. Beranjak remaja, sifat itu tetap terpelihara. Semua orang sangat menyukai pribadinya yang sopan dan sederhana. Seiring waktu, Ranu tumbuh menjadi pemuda tanpan, kendati miskin, ia tetap dipuji oleh gadis-gadis sedesanya.
Suatu hari, ketika ia pulang dari menjemput ibunya yang berjualan di pasar. Ranu bertemu pandang dengan seorang gadis cantik putra saudagar kaya. Entah kenapa, sejak pertemuannya itu, putri saudagar kaya jadi tertarik dan jatuh cinta pada Ranu. Suatu ketika, sehari sebelum jatuh hari ulang tahunnya, putri saudagar kaya memohon pada kedua orangtuanya untuk diijinkan menikah dengan Ranu. Lantas, apa jawaban kedua orangtuanya?
“kalau boleh ayah minta, janganlah kamu menyukai Ranu. Ia dari keluarga miskin, nanti jadi beban keluarga kita, “ saran saudagar kaya pada putrinya.
“Andaikata ayah sayang pada Nawangsari, ijinkan Ranu sebagai hadiah ulang tahunku, restui nanda menikah dengan Ranu. Nanda sangat mencintainya….” Rengek putrinya memelas, sembari menoleh kearah bundanya.
Bundanya menggeleng.
“Sedikitpun Bunda tak mengijinkan…apapun alasanmu…”pungkas ibunya sengit.
Nawangsari menangis, bulir airmatanya membuat liuk sungai kecil dipipinya yang ranum.
“Baiklah, kalau Bunda tiada merestui. Biar nanda mati saja, untuk apa nanda hidup, kalau keinginan nanda yang satu ini tak terkabulkan….”sahutnya.
Kedua orangtuanya terkejut. Mereka tak ingin kehilangan putri semata wayangnya. Akhirnya, Nawangsari diijinkan menikah dengan Ranu, si pemuda miskin. Namun, dengan satu syarat Ranu tak boleh lagi tinggal di rumah orangtuanya yang kotor dan dekil. Ia mesti tinggal di rumah Nawangsari.
Pendek cerita, Ranu menikah dengan Nawangsari. Namun, pada pesta pernikahan mereka, Ranu tak didampingi oleh orangtuanya. Ia malu memboyong orangtuanya yang kotor dan kumal. Pernikahan pun berlangsung tanpa kehadiran orangtua Ranu. Ayah Ranu, sebenarnya berkeinginan ikut ke tempat pesta. Kendati Ranu melarangnya keras.
Ia pun memaksa berangkat. Namun, pengawal ayahnya Nawangsari, atas perintah Ranu mencegatnya di jalan. Ayah Ranu sakit hatinya. Saking tak bisa menahan diri, ia lalu jatuh sakit. Tubuh ringkih itu, bertambah layu. Akhirnya, meninggal dunia. Semua itu karena sikap Ranu yang tak bisa membalas budi. Mengetahui sebab kematian suaminya, ibu Ranu jengkel, lantas mengutuk anaknya supaya masuk neraka, tak akan pernah menemui jalan sorga.
Benar saja kejadian itu, beberapa bulan kemudian, tiba-tiba saja Ranu sakit keras, lalu koma, tak sadarkan diri. Tubuhnya terbujur kaku. Istri dan mertuanya kebingungan. Apalagi, setelah ratusan tabib mumpuni tak mampu menyembuhkan Ranu.
Suatu hari, dalam perjalanan pasrah mencari obat, sampailah mereka pada pondok seorang Pendeta Sakti di tengah hutan belantara.
“Aku akan mengantarkan kalian pada orang yang memiliki obat manjur. Ia bisa menyembuhkan penyakit Ranu….”janji Pendeta Sakti.
Nawangsari dan kedua orangtuanya menurut saja. Mereka pasrah, membuntuti dari belakang. Cukup lama mereka berjalan, sampai akhirnya mereka berhenti pada sebuah pondok lusuh, kotor dan dekil. Pendeta Sakti mengajak mereka masuk ke dalam pondok. Nawangsari dan ibunya sabankali bersin-bersin, lalu menutup hidungnya menggunakan selendang. “Rumah siapa sih ? Kok, kotor dan jelek sekali ?”tanya batin Nawangsari.
Lalu dari pondok keluar seorang wanita tua. Mulutnya yang mengunyah sirih, dengan sopannya mempersilakan mereka duduk di balai-balai bambu yang sudah usang dan lapuk.
“Ibu, anakmu Ranu sakit keras. Ia sekarat sekarang “ ujar Pendeta Sakti.
“Akh ?!” pekik Nawangsari, begitu pula kedua orangtuanya. Ia tak menyangka ibunya Ranu masih ada. Bahkan terlantar tiada yang menemani.
“Biar saja, ia sengsara. Biar ia tahu, ia telah kukutuk agar masuk ke neraka. Anak durhaka semacam itu tak pantas dikasihani…” katanya lantang.
“Sekali lagi, ibu. Aku mohon maaf atas kekhilafannya….”
“Maaf, Tuan Pendeta. Aku tetap tak peduli …..”
Pendeta Sakti kebingungan, atas sikap bersikukuh ibu Ranu. Lalu ia mencari akal.
“Baik, baiklah… daripada ia sakit keras, mati tak bisa, hiduppun merana menahan sakit. Seyogyanya, agar ia terbebas dari sakit, ia diumpankan saja pada seekor harimau lapar,” ucap Pendeta Sakti.
Ibu Ranu tersentak. Betapa terkejut hatinya mendengar kata-kata Pendeta Sakti. Tanpa pikir panjang, ia lalu berkata, “Aduh, jangan Tuan Pendeta. Mohon janganlah Tuan mengumpankan anak saya pada harimau lapar, kasihani ia. Kendati sekarat ia tak pantas dikoyak binatang buas. Aku memaafkannya.”
Begitulah, sepulang dari rumah ibu Ranu, Pendeta Sakti memercikkan Tirtha Pabersihan dan Tirtha Penglukat Mala pada sekujur tubuh Ranu. Belum tetes air tirtha menyentuh bibirnya yang kuyu. Ranu sadar dari komanya. Ia berusaha duduk. Dan, meracau menyebut kedua nama orangtuanya.
Seminggu kemudian, Ranu sembuh sediakala. Dan, karena ibunya sebatang kara, atas nasehat Pendeta Sakti pada Ranu, ibunya sudah seyogyanya diajak tinggal bersamanya. Siapalagi yang pantas merawat ibu kandungnya yang sudah mulai ringkih ? Ranu setuju, ia pun menjemput ibunya. Mereka pun bahagia.
Demikian, betapa hebat khasiat meditasi seorang ibu yang selama kurang lebih sembilan bulan mengandung putranya, kata-kata pemaaf yang terlontar dari putranya adalah obat yang mujarab. –sumber