BALI EXPRESS, DENPASAR – Pernikahan di Bali dikenal dalam beberapa jenis. Salah satunya dikenal istilah perkawinan pada gelahang. Perkawinan dengan pola sama-sama mengemban tanggung jawab yang sama (baik pihak perempuan maupun pria, Red), ini oleh beberapa pihak dirasa masih belum tepat untuk dilaksanakan. Hal ini lantaran keturunan yang diperoleh dari perkawinan tersebut akan mengambang dalam hal pemujaan kawitan. Hal tersebut diungkapkan salah seorang tokoh Agama Hindu Bali, Mpu Jaya Prema Ananda menyikapi adanya fenomena pernikahan pada gelahang di Bali, Minggu (31/12).
Fenomena ini, kata Mpu Jaya Prama, menjadi bahasan khusus dalam Paruman Sulinggih garis perguruan Pandita Mpu Abra Sinuhun Dwi Sari pada Sabtu (30/12) di Griya Uma Anyar Payangan.
Dalam pertemuan tersebut, kata Mpu Jaya Prama, ada tiga hal yang berhasil disimpulkan. Yakni pertama terkait pernikahan pada gelahang yang diperkenalkan ahli hukum adat Prof. Windia bukanlah perkawinan ideal menurut agama Hindu dalam budaya Bali. Hal ini lantaran pernikahan pada gelahang membuat keturunannya tak jelas kemana garis leluhur atau kawitannya nantinya.
“Karena jalur purusa dan pradana mendua,” ujarnya.
Kedua, kata Mpu Jaya Prama, pernikahan pada gelahang hendaknya disikapi sebagai masalah sosial di mana pasangan itu tetap melayani kedua keluarga asal, baik urusan ekonomi, kesehatan orangtua dan lainya. “Namun untuk urusan niskala tetap satu tak boleh mendua apakah ikut keluarga laki atau ikut keluarga perempuan (kawin nyentana),” bebernya.
Terkait dengan pelaksanaan upacara, Mpu Jaya Prama menjelaskan bahwa sulinggih tetap bisa muput Perkawinan pada gelahang dengan tirtha saksi kedua belah pihak dengan catatan menjelaskan risiko yang akan datang yakni keturunannya mengambang dalam hal garis kawitan.
“Namun sulinggih yang tidak mau muput juga tidak masalah,” ungkapnya.
Secara pribadi, Mpu Jaya Prama mengaku tidak setuju terkait penerapan pernikahan pada gelahang di Bali. “Kalau tiyang tak setuju, karena akan rumit untuk keturunan nanti. Apalagi kalau pasangan itu antar soroh atau klan lebih rumit lagi. Tapi bagi yang setuju silakan saja,” katanya.
Mpu Jaya Prama mengandaikan jika seorang keturunan yang lahir dari pernikahan pada gelahang, dimana anak tersebut akan memiliki dua leluhur yakni dari pihak ayah dan ibu. “Ya kalau anak yang lahir itu milik dua keluarga bagaimana mereka menyembah leluhurnya? Misal ayahnya gusti, ibunya pasek. Terus anak itu sembahyangnya ke pura kawitan mana? Terus upacaranya dari ngotonin dan seterusnya nunas tirtha di mana?,” tanya Mpu Jaya Prama.
Menurutnya, hingga saat ini Mpu Jaya Prama mengakui belum pernah melakukan penelitian terkait hal ini. Dengan demikian pihaknya menyarankan agar dilakukan kajian lebih lanjut. Apakah pernikahan pada gelahang itu dirasa baik atau kurang baik. Sehingga nantinya masyarakat menjadi lebih paham dan tidak bingung.
“Ya dikaji dampaknya. Buat diskusi atau seminar yang melibatkan tokoh agama dan adat. Kalau dirasa baik ya boleh saja dilakukan. Kalau tak baik dibuang,” pungkasnya.
(bx/gus /yes/JPR) –sumber