Agama Hindu (Bahasa Sanskerta: Sanātana Dharma सनातन धर्म “Kebenaran Abadi”), dan Vaidika-Dharma (“Pengetahuan Kebenaran”). Kata “Agama” yang dipergunakan oleh umat Hindu dalam hidup berketuhanan Yang Maha Esa berasal dari bahasa Sanskerta dari akar kata “gam” yang artinya “pergi” atau “perjalanan“. Urat kata “gam” ini mendapat prefix “a” yang berarti “tidak” dan tambahan “a” di belakang yang berarti “sesuatu” atau dapat berfungsi sebagai suffix dalam bahasa Sanskerta guna mengubah kata kerja menjadi kata sifat. Dengan demikian kata agama diartikan “sesuatu yang tidak pergi“, tidak berubah atau tetap, langgeng (abadi). Yang tidak pernah berubah- ubah atau kekal abadi itu hanyalah Tuhan beserta ajarannya. Sebagai suatu istilah kemudian kata agama mengandung suatu pengertian aturan- aturan atau ajaran- ajaran yang bersumber dari Tuhan Yang Maha Esa (Sang Hyang Widhi Wasa) diturunkan berupa wahyu (Sruti) melalui para Resi (Maha Resi) untuk mengatur alam semesta beserta isinya baik dalam kehidupan rohaniah maupun dalam kehidupan jasmaniah.
Kata “Hindu” berakar dari kata Sindhu. Dalam Reg Weda, bangsa Arya menyebut wilayah mereka sebagai Sapta Sindhu (wilayah dengan tujuh sungai di barat daya anak benua India, yang salah satu sungai tersebut bernama sungai Indus). Hal ini mendekati dengan kata Hapta-Hendu yang termuat dalam Zend Avesta (Vendidad: Fargard 1.18) — sastra suci dari kaum Zoroaster di Iran. Pada awalnya kata Hindu merujuk pada masyarakat yang hidup di wilayah sungai Sindhu.
Dalam Agama Hindu ada lima keyakinan dan kepercayaan yang disebut dengan Pancasradha. Pancasradha merupakan keyakinan dasar umat Hindu. Kelima keyakinan tersebut, yakni:
1. Widhi Tattwa – percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa dan segala aspeknya,
2. Atma Tattwa – percaya dengan adanya jiwa dalam setiap makhluk,
3. Karmaphala Tattwa – percaya dengan adanya hukum sebab-akibat dalam setiap perbuatan,
4. Punarbhava Tattwa – percaya dengan adanya proses kelahiran kembali (reinkarnasi),
5. Moksa Tattwa – percaya bahwa kebahagiaan tertinggi merupakan tujuan akhir manusia.
Tujuan agama Hindu yang dirumuskan sejak Weda mulai diwahyukan adalah “Moksartham Jagadhita ya ca iti Dharma”, yang artinya bahwa agama (dharma) bertujuan untuk mencapai kebahagiaan rohani dan kesejahteraan hidup jasmani atau kebahagiaan secara lahir dan bathin.
Tujuan ini secara rinci disebutkan di dalam Catur Purusa Artha, yaitu empat tujuan hidup manusia, yakni Dharma, Artha, Kama dam Moksa.
1. Dharma berarti kebenaran dan kebajikan, yang menuntun umat manusia untuk mencapai kebahagiaan dan keselamatan,
2. Artha adalah benda-benda atau materi yang dapat memenuhi atau memuaskan kebutuhan hidup manusia,
3. Kama artinya hawa nafsu, keinginan, juga berarti kesenangan,
4. Moksa berarti kebahagiaan yang tertinggi atau pelepasan.
Untuk bisa menjalankan dharma diperlukan prilaku dasar yang disebut: Tri Kaya Parisuda artinya tiga gerak perilaku manusia yang harus disucikan, yaitu :
1. Manacika yaitu berpikir yang bersih dan suci,
2. Wacika yaitu berkata yang benar,
3. Kayika yaitu berbuat yang jujur.
Dari tiap arti kata di dalamnya, Tri berarti tiga; Kaya bararti Karya atau perbuatan atau kerja atau prilaku; sedangkan Parisudha berarti “upaya penyucian”.Jadi “Trikaya-Parisudha berarti “upaya pembersihan/penyucian atas tiga perbuatan atau prilaku kita”.
Tri Kaya Parisudha yang menjadi konsentrasi pembahasan kali ini adalah merupakan salah satu aplikasi dan perbuatan baik (subha karma).
Secara hirarki bermula dari pikiran yang baik dan benar, akan mengalir ucapan dan perbuatan yang baik dan benar pula. Jadi kuncinya adalah pada pikiran, yang dalam pepatah sama dengan “telaga yang jernih mengalir air yang jernih pula”. Kalau pikirannya kacau, apalagi memikirkan yang macam-macam dan bukan-bukan, niscaya perkataan dan perbuatannya pun akan amburadul yang bermuara pada kehancuran dan penderitaan.
Dalam usaha perjalanan manusia menuju kepada Tuhan, ada empat jalan yang harus ditempuh yaitu Catur Marga. Catur artinya empat dan Marga artinya jalan. Jadi Catur Marga artinya: empat jalan yang harus ditempuh dalam usaha manusia menuju kepada Tuhan Sang Maha Pencipta. Empat jalan itu disebut Catur Marga, yaitu:
1. Yoga Marga / Raja Yoga : menuju pada kebenaran dengan jalan disiplin tertentu dengan metode-metode Yoga,
2. Jnana Marga/Jnana Yoga : menuju persatuan dengan Tuhan dengan cara terus menerus mempelajarinya
3. Bhakti Marga/Bhakti Yoga : menyerahkan diri dengan tulus kepada Tuhan sebagai seorang poenyembah yang penuh kecintaan
4. Karma Marga/Karma Yoga : menuju pembebasan dengan jalan bekerja tanpa mengharapkan hasil.
Kata Catur Warna berasal dari bahasa Sanskerta yang terdiri dari kata ”Catur” berarti empat dan kata “warna” yang berasal dari urat kata Wr (baca: wri) artinya memilih. Catur Warna berarti empat pilihan hidup atau empat pembagian dalam kehidupan berdasarkan atas bakat (guna) dan ketrampilan (karma) seseorang, serta kwalitas kerja yang dimiliki sebagai akibat pendidikan, pengembangan bakat yang tumbuh dari dalam dirinya dan ditopang oleh ketangguhan mentalnya dalam menghadapi suatu pekerjaan. Empat golongan yang kemudian terkenal dengan istilah Catur Warna itu ialah: Brahmana, Ksatrya, Wesya, dan Sudra.
1. Warna Brahmana adalah golongan fungsional di dalam masyarakat yang setiap orangnya menitikberatkan pengabdian dalam swadharmanya di bidang kerohanian keagamaan.
2. Warna Ksatrya adalah golongan fungsional di dalam masyarakat yang setiap orangnya menitikberatkan pengabdian dalam swadharmanya di bidang kepemimpinan, keperwiraan dan pertahanan keamanan negara.
3. Warna Wesya adalah golongan fungsional di dalam masyarakat yang setiap orangnya menitikberatkan pengabdiannya di bidang kesejahteraan masyarakat (perekonomian, perindustrian, dan lain- lain).
4. Warna Sudra adalah golongan fungsional di dalam masyarakat yang setiap orangnya menitikberatkan pengabdiannya di bidang ketenagakerjaan
Catur Asrama adalah empat tingkatan kehidupan yang wajib/ideal dijalani manusia Hindu selama hidupnya, yaitu : Brahmacari, Grhastha, Vanaprastha, dan Bhiksuka. Karena menjadi kewajiban, maka bila ada manusia Hindu yang tidak melaksanakan catur ashrama dengan baik, akan sia-sialah hidupnya di dunia ini.
1. Brahmacari Asrama Adalah tingkat masa menuntut ilmu/masa mencari ilmu. Masa Brahmacari diawali dengan upacara Upanayana dan diakhiri dengan pengakuan dan pemberian Samawartana (Ijazah).
2. Grhasta Asrama Adalah tingkat kehidupan berumahtangga. Masa Grehasta Asrama ini adalah merupakan tingkatan kedua setelah Brahmacari Asrama. Dalam memasuki masa Grehasta diawali dengan suatu upacara yang disebut Wiwaha Samskara (Perkawinan) yang bermakna sebagai pengesahan secara agama dalam rangka kehidupan berumahtangga (melanjutkan keturunan, melaksanakan yadnya dan kehidupan sosial lainnya).
3. Wanaprastha Asrama Merupakan tingkat kehidupan ketiga. Dimana berkewajiban untuk menjauhkan diri dari nafsu keduniawian. Pada masa ini hidupnya diabdikan kepada pengamalan ajaran Dharma. Dalam masa ini kewajiban kepada keluarga sudah berkurang, melainkan ia mencari dan mendalami arti hidup yang sebenarnya, aspirasi untuk memperoleh kelepasan/moksa dipraktekkannya dalam kehidupan sehari- hari.
4. Sanyasin Asrama (bhiksuka) Merupakan tingkat terakhir dari catur asrama, di mana pengaruh dunia sama sekali lepas. Mengabdikan diri pada nilai-nilai dari keutamaan Dharma dan hakekat hidup yang benar. Pada tingkatan ini, ini banyak dilakukan kunjungan (Dharma yatra, Tirtha yatra) ke tempat suci, di mana seluruh sisa hidupnya hanya diserahkan kepada Sang Pencipta untuk mencapai Moksa
Tri Hita Karana
Secara leksikal Tri Hita Karana berarti tiga penyebab kesejahteraan. (Tri = tiga, Hita = sejahtera, Karana = penyebab). Pada hakikatnya Tri Hita Karana mengandung pengertian tiga penyebab kesejahteraan itu bersumber pada keharmonisan hubungan antara:
1. Parhyangan yaitu Manusia dengan Tuhannya,
2. Palemahan yaitu Manusia dengan alam lingkungannya,
3. Pawongan yaitu Manusia dengan sesamanya.
Unsur- unsur Tri Hita Karana ini meliputi:
1. Sanghyang Jagatkarana (Tuhan),
2. Bhuana (alam dan lingkungan),
3. Manusia.
Unsur- unsur Tri Hita Karana itu terdapat dalam kitab suci Bagawad Gita (III.10), berbunyi sebagai berikut:
Sahayajnah prajah sristwa pura waca prajapatih anena prasawisya dhiwan esa wo’stiwistah kamadhuk – Bagawad Gita (III.10)
Artinya :
Pada jaman dahulu Prajapati menciptakan manusia dengan yadnya dan bersabda: dengan ini engkau akan berkembang dan akan menjadi kamadhuk dari keinginanmu.
Agama Hindu memiliki ciri khas sebagai salah satu agama yang paling toleran, yang mana di dalam kitab Weda dalam salah satu baitnya memuat kalimat berikut:
Tat Twam Asi – (Candayoga Upanisad)
ia adalah kamu, saya adalah kamu, dan semua makhluk adalah sama
Ekam eva advityam Brahma – (Ch.U.IV.2.1)
Tuhan hanya satu tidak ada yang kedua.
Eko Narayanad na dvityo Sti kaccit – (Weda Sanggraha)
Hanya satu Tuhan sama sekali tidak ada duanya.
Bhineka Tungal Ika, tan hana Darma mangrwa – (Lontar Sutasoma)
Berbeda-beda tetapi satu tidak ada Dharma yang dua.
Ekam Sat Vipraaha Bahudhaa Vadanti —Rg Weda (Buku I, Gita CLXIV, Bait 46)
Hanya ada satu kebenaran tetapi para orang pandai menyebut-Nya dengan banyak nama.
Ye yathā mām prapadyante tāms tathaiva bhajāmy aham, mama vartmānuvartante manusyāh pārtha sarvaśah – (Bhagavad Gītā, 4.11)
Jalan mana pun yang ditempuh seseorang kepada-Ku, Aku memberinya anugerah setimpal. Semua orang mencari-Ku, dengan berbagai jalan, wahai putera Partha (Arjuna)
Yo yo yām yām tanum bhaktah śraddhayārcitum icchati, tasya tasyācalām śraddhām tām eva vidadhāmy aham – (Bhagavad Gītā, 7.21)
Kepercayaan apapun yang ingin dipeluk seseorang, Aku perlakukan mereka sama dan Ku-berikan berkah yang setimpal supaya ia lebih mantap
ye ‘py anya-devatā-bhaktā yajante śraddhayānvitāḥ, te ‘pi mām eva kaunteya yajanty avidhi-pūrvakam – (Bhagavad Gītā, IX.23)
Orang-orang yang menyembah Dewa-Dewa dengan penuh keyakinannya, sesungguhnya hanya menyembah-Ku, tetapi mereka melakukannya, dengan cara yang keliru, wahai putera Kunti (Arjuna)
Karena Tuhan tidak terjangkau oleh pikiran, maka orang membayangkan bermacam-macam sesuai dengan kemampuannya. Tuhan yang tunggal (Esa) itu dipanggilnya dengan banyak nama sesuai dengan fungsinya. Ia dipanggil Brahma sebagai pencipta, Wisnu sebagai pemelihara dan Shiwa sebagai pemralina. Banyak lagi panggilannya yang lain. Ia Maha Tahu, berada di mana-mana. Karena itu tak ada apapun yang dapat kita sembunyikan dihadapan-Nya. Orang-orang menyembah-Nya dengan bermacam-macam cara pada tempat yang berbeda-beda. Kepada-Nyalah orang menyerahkan diri, mohon perlindungan dan petunjuk-Nya agar dia menemukan jalan terang dalam mengarungi hidup ini. |sumber