Asal usul ilmu pengeleakan bisa dirujuk dalam sebuah ritual bathin yang disebut tapa. Tapa identik dengan api, kekuatan. Apakah kekuatan itu untuk membakar ego guna perolehan keinsyafan diri atau sebaliknya untuk mengumbar ego membakar subyek yang amat dibenci. Sekali lagi, tapa adalah api atau energi berhawa panas. Mereka yang menyimpan (mengekang) nafsu atau emosi negatifnya sedemikian rupa, apabila “diledakkan” dengan cara tertentu dapat menimbulkan api tapas , meski dalam alur yang menyimpang.
Bertolak dari prinsip ini, Calon Arang (Randa Dirah) tokoh sentral dalam jagat perleakan Bali diyakini telah melakukan praktek “tapa kebencian” dan menyalurkan hasil tapanya itu secara ghaib menjadi apa yang disebut LEAK. Kemampuan Calon Arang mengekang kebencian dan dendamnya (tapa) melahirkan api (energi panas). Inilah sebabnya Ilmu Leak versi Calon Arang dasar perwujudannya tampak sebagai api (ngendih). Dan tentu saja, api leak semacam itu sama sekali tidak berpengaruh terhadap mereka yang juga memiliki api sejenis dari tipe dan kualitas yang lebih baik yakni api spiritual. Sebab itu, Mpu Bharadah, Mpu Bahula atau Raja Airlangga (Mpu Jatayu) yang mewakili kekuatan “api spiritual” tidak mempan oleh serangan kebencian yang terpancar dari api tapas Rondo Dirah. Ini pulalah makna keputusan Bhatari Durga yang mengijinkan Walu Nateng Dirah menebar kekuatan pedestian-nya hanya berlaku untuk masyarakat “pinggiran” saja, tidak dapat memasuki “ibukota kerajaan” yang dipimpin Airlangga. Pinggiran disini maksudnya adalah mereka yang berpandangan “keluar” (duniawi) melekat kepada kesenangan material; cinta akan tahta, keserakahan dan sejenisnya. Sedangkan ibukota kerajaan menyimbolkan mereka yang berpandangan “kedalam”, yakni para penekun jalan keinsyafan diri atau para penapak jalan spiritual. Bagaimanapun juga, api tapa spiritual jauh lebih cemerlang dari api tapa kebencian. Dewi Durga (Bhairavi) adalah manifestasi illahi yang merupakan sumber kedua jenis api tapa itu.
“Semasih ada rasa tertindas yang melahirkan kebencian dan dendam, semasih ada nafsu birahi yang menggebu dan menuntut pemuasan dan semasih ada kemarahan terpendam yang menuntut pembalasan, jika semua itu cukup untuk melahirkan penghancuran, maka apa yang disebut LEAK pasti tetap eksis”
Calon Arang hanyalah subyek pencetus yang mewakili rasa ketidak puasan yang super lengkap semacam itu. Ia adalah Ratu Permaisuri yang sedang berkuasa tapi ia dibuang seperti sampah hingga terlunta ke tepi pengasingan. Ia harus puas sebagai mantan ratu menerima predikat janda (rondo) yang memalukan. Anak satu satunya,yang seharusnya menjadi ahli waris tahta kerajaan adalah seorang wanita bernama Ratna Mengali,pun ikut dicampakkan. Masyarakat kala itu menghukumnya dengan tidak menunjukkan rasa emphati kepada mereka. Disaat usia Ratna Mengali sudah cukup untuk menjadi seorang ibu rumah tangga yang layak, tak seorangpun pria mau mendekatinya apalagi melamarnya. Bisa dibayangkan seorang Ibu yang sedang sebatang kara yang menyayangi anak tunggalnya menerima perlakuan semacam itu,terlebih ia mantan permaisuri Raja Dirah. Siang malam ia memendam api kebenciannya kepada semua orang. Itulah tapa hebat yang dilakukan Rondo Dirah.
Maka ia sampai ke Durgaloka yakni Pura Dalem (inner power, konsentrasi api energi dalam tubuh) dan melupakan segalanya. Tujuannya hanya satu; balas dendam melampiaskan kebencian yang tak terbendung lagi. Kebencian yang mendalam dari Calon Arang ini juga layak disebut tapa dan karena itu, Dewi Durga yakni api kesadaran bathin yang dahsyat (cid-aghni, api tapas) berkenan memberikan anugerah-Nya. Karena api itu lahir dari motif kebencian, tidak ayal lagi kualitas api yang diterimanya agak rusak (ugig) dan akhirnya, terbukti memang merusak. Api semacam itu (ditambah sedikit “bumbu” dari ajaran tantrik) merupakan bahan baku (raw material) proses menebar petaka dalam kehidupan yang disebut desti, teluh dan teranjana. Teknik pengolahan api tapa “jalur kiri” seperti versi Rondo Dirah itu banyak dibahas dalam ajaran tantra wamamarga. Salah satu contohnya adalah pewisik yang diterima Calon Arang agar berhasil merubah wujud (malin rupa) seperti berikut :
Iki tingkahe mangda dadi binarupa,katon dening wong sabumi;
iki pradatanya,away hima hima ring payogan.
Sane metu ring sarira gnahnya mider bwana,lwirnya :
Papusuwan ngaran purwa,ika dadi lembu
Peparu dadi singa,kelod kangin
Atine dadi barong,kelod unggwanya
Usus agung dadi warak,kelod kawuh unggwanya
Ungsilane dadi nagha pasa,kawuh unggwanya
Amprune dadi raksasa,kaja unggwanya
Jajaringane dadi garuda kaja kangin unggwanya
Tumpukan papuswane dadi kala mretyu,ring madya unggwanya
Sayangnya, sebagian orang selalu “memojokkan” Randa Dirah sebagai biang kerok Aji Ugig (leak), sementara banyak orang tanpa sadar juga sedang melakukan praktek tapa sejenis seperti yang dilakukan Randa Dirah. Dijaman Kali ini banyak orang mengaku takut terhadap leak meskipun dia sesungguhnya adalah juga pengikut Calon Arang. Mereka “diam diam” pergi ke pura atau tempat tempat keramat, petilasan, makam “mbah sakti” dan sebagainya, bukan untuk menyembah Hyang (memuja,memuliakan dan bersyukur kehadapan Hyang Widhi) melainkan untuk mendoakan (baca; meminta) agar jabatannya langgeng (baca; orang lain tidak perlu naik pangkat),agar usahanya laris dan maju (baca; agar orang yang melakukan usaha sejenis bangkrut). Jika hal hal semacam itu mereka pikirkan terus menerus sampai tidak bisa tidur,tak ayal lagi mereka adalah pengikut setia Calon Arang alias “leak leak berdasi” (baca : leak matah). Jadi kenapa harus takut dan memojokkan Randa Dirah dan leaknya? –sumber