Pura Luhur Serijong terletak di Banjar Payan, Desa Pakraman Batu Lumbang, Antap Selemadeg. Pura ini berlokasi sekitar 15 km dari Tabanan arah barat atau 45 km dari Denpasar. Pendirian Pura Serijong ini juga memiliki sejarah yang unik. Di mana pada zaman lampau masyarakat sekitar yang kala itu sebagian besar tinggal di tepi pantai dengan profesi nelayan dan petani melihat seberkas cahaya yang posisinya terletak di tepian pantai yang berbatu karang. Di sekitar cahaya itu, dikelilingi pohon kelapa dan semak-semak. Di tempat itu yang merupakan batu karang dibangunlah sebuah pura oleh masyarakat sekitar dan diberi nama Pura Luhur Serijong. Maka sangat pantaslah pura yang masih terkait dengan perjalanan Dang Hyang Dwijendra ini berfungsi sebagai penerang, pemberi pengetahuan bagi umat manusia.
Pura Luhur Serijong menurut beberapa catatan dibangun hampir bersamaan dengan Pura Rambut Siwi di Jembrana dan Pura Tanah Lot yakni pada abad XVI Masehi yang masih berkaitan dengan perjalanan Dang Hyang Dwijendra yang bergelar Ida Pedanda Sakti Wawu Rauh. Sebanyak 24 desa pakraman yang terdiri atas ribuan umat Hindu di sekitarnya menjadi penyungsung dari pura ini sejak turun-temurun.
Buda Umanis Prangbakat merupakan piodalan di pura ini yang sangat ditunggu-tunggu oleh krama. Bukan hanya dari daerah Selemadeg, umat dari berbagai wilayah di Bali kerap pedek tangkil ke pura ini. Beberapa pelinggih yang ada di utama mandala pura ini yakni Meru Tumpang Tiga sebagai wahana pemujaan Ida Dang Hyang Dwijendra, Pelinggih Ida Batara Segara, Padmasana, Pelinggih Pasimpangan Rambut Siwi, Pelinggih Ida Batara Rambut Sedana, Pelinggih Taksu Agung dan Pengeruak.
Secara filosofis, selain berupa pemujaan Tuhan dalam wujud cahaya (sinar) pada mulanya, pura ini juga sebagai pemujaan Dang Hyang Dwijendra yang merupakan guru yang sangat berjasa di Bali dan mampu memberikan penerangan. Pemujaan Tuhan dalam manifestasi penguasa lautan yang dalam Hindu dikenal dengan Dewa Baruna juga menjadi objek pemujaan di pura ini. Selain itu, adanya Pasimpangan Ida Batara Rambut Sedana sebagai sarana untuk memohon berkah dan kerahayuan. Keheningan dan kesejukan membuat pura ini cocok untuk melakukan pemujaan serta meditasi memuja keagungan-Nya.
Pemangku Gede Pura Serijong I Made Suada menuturkan, ada beberapa versi yang berkembang berkenaan dengan keberadaan Pura Luhur Serijong ini. Tetapi secara umum yang paling diterima oleh masyarakat adalah awal pendirian pura ini pada zaman dahulu ketika masyarakat sekitar melihat sinar terang di tepi laut yang berbatu karang tersebut. Diketahui sebagai suatu pertanda baik, maka di tempat ini didirikanlah pura.
Selain itu dalam perjalanannya, Dang Hyang Dwijendra ketika berkeliling Bali menyebarkan ajaran dharma untuk menata umat beragama di Bali, sempat singgah dan melakukan pemujaan di tempat ini. Masyarakat sekitar sangat terkesan dengan aura kepanditaan beliau, sehingga diputuskan untuk membangun pelinggih sebagai sarana memuja beliau sebagai guru bagi umat manusia.
Hingga kini beliau dipuja pada pelinggih utama berupa Meru Tumpang Telu. Sinar terang pengetahuan, wujud bakti kepada Ida Batara Segara, memohon kerahayuan dan hormat pada guru adalah ciri khas dari pura ini.
Beberapa kali, kata Suada, dilakukan rehab atas pura ini, di antaranya rehab besar dilakukan tahun 1949-1950 dan dilakukan upacara ngenteg linggih tahun 1952. Tahun 1996-2003 pengempon pura kembali melakukan rehab dan dilakukan upacara ngenteg linggih serta mamungkah tahun 2003 lalu. Puri Agung Tabanan merupakan pangrajeg dari pura ini, sementara panganceng adalah Jero Subamia.
Segala aktivitas, baik pembangunan fisik maupun upacara tidak terlepas dari peran Puri Tabanan dan Jero Subamia. Bahkan, penglingsir Jero Subamia IGG Putra Wirasana yang juga Wakil Bupati Tabanan turut aktif mengkoordinir pembangunan beberapa fasilitas pelengkap dari pura ini. Walau keberadaan pura ini cukup aman, namun abrasi selalu terjadi pada areal tepian pantai akibat besarnya gelombang.
Beruntung telah ada beberapa bantuan yang sangat membantu dalam pengamanan pantai dengan tanggul panjang 80 meter dan pemecah gelombang. Abrasi juga mengikis beberapa situs dan peninggalan penting yang terdapat di sekitar areal ini, oleh karena itu perlu mendapat penanganan sebagai langkah penyelamatan. Selain peninggalan purbakala yang terdapat pada beberapa lokasi, pemangku setempat menyatakan juga terdapat beberapa peninggalan kuno yang berupa arca yang disucikan.
Areal lain yang masih menjadi satu areal dengan keberadaan pura ini adalah kawasan disucikan yang menurut legenda dan kepercayaan masyarakat setempat merupakan situs peninggalan Kebo Iwa, patih Bali yang sangat termashyur. Di sana terdapat sebuah batu karang dikelilingi pasir dan air laut, berukuran kurang lebih 3 meter, disebut Payuk Kebo Iwa. Payuk berarti periuk, yang dipercaya milik Kebo Iwo. Di sebelah baratnya, di samping Pura Luhur Serijong, terdapat batu karang yang persis seperti dapur penduduk asli, berukuran lebih kurang 1 x 20 meter. Di sanalah Kebo Iwa diyakini memasak dengan mempergunakan periuknya tersebut.
Di pantai Payan juga bisa dilihat berbagai peninggalan Kebo Iwa yang legendaris. Misalnya dapur, meja, tempat air, tempat duduk, sisa-sisa nasi dan tempatnya bertapa seperti sebuah batu pipih yang sangat halus. Lokasinya di sebelah selatan pura, di kaki jurang yang dalam dan terjal. Peninggalan-peninggalan itu sekarang sudah membatu, untuk melihatnya harus menunggu air laut surut.
Di pantai Payan ini terdapat sebelas kelebutan (mata-air) air tawar warna-warni yang dipercaya bisa membuat awet muda. Juga terdapat pasiraman toya leh yang diyakini tempat permandian Kebo Iwa ketika melakukan misi pengamanan laut. Di bawah pura terdapat goa yang besar dan dalam. Ujungnya tepat berada di bawah Meru Tumpang Telu. Di ujung goa, terdapat batu menyerupai Padmasana, sthana Ida Sang Hyang Widhi. Goa ini berukuran panjang sekitar 40 meter, jauh menjorok ke dalam, lebar 17 meter serta dengan ketinggian sekitar 10 meter pada bibir goa. Goa ini dihuni oleh kelelawar yang keberadaannya tidak pernah diganggu manusia.
Menurut keterangan pemangku setempat, kelelawar di goa ini berjumlah puluhan ribu yang terdiri atas tiga jenis yang dalam bahasa Bali dikenal dengan jempiit, lelawah dan balongan. Pada hari-hari tertentu, kelelawar ini keluar dan melakukan perjalanan hingga menimbulkan barisan yang sangat panjang.
Di tepi goa ini terdapat Pelinggih Biang Sakti dan terdapat beberapa mata air yang dianggap suci. Namun karena ada aktivitas pembuatan tanggul, beberapa mata air sulit untuk ditemukan kembali. Konon, di situlah dulu Kebo Iwa melakukan tapa brata yang dikawal oleh seekor ular besar dan seekor tikus putih sebesar anjing. Pada waktu-waktu tertentu kedua pengawal itu menampakkan diri. Kawasan yang luasnya beberapa kilometer ini merupakan areal yang dijaga kesucian dan kelestariannya. Bukan hanya karena adanya legenda Kebo Iwa, tetapi diyakini bukan merupakan kawasan sembarangan, sehingga tidak ada fasilitas pariwisata yang dibangun berdekatan dengan areal ini. —sumber