BALI EXPRESS, GIANYAR – Sebuah Patung Bayi di catus pata di Banjar Blah Tanah, Batuan Kaler, Sukawati, Gianyar, punya cerita tersendiri. Mulai dari pembuatan, pemilihan tempat hingga kajian fisolofisnya, benar-benar diperhatikan. Apa istimewanya patung bayi ukuran raksasa ini?
Pemangku yang pertama ngayah di kawasan tempat Patung Bayi itu dibangun, Jero Mangku Ketut Widiantara mengatakan, lokasinya memang memilih catus pata. “Pertigaan di sana dianggap sebagai marga agung secara niskala. Seorang tokoh spiritual dari Desa Mas, Ubud mendapatkan pawisik lewat mimpi agar di catus pata didirikan sebuah patung bayi,” ungkap pria 50 tahun tersebut, ketika diwawancari Bali Express (Jawa Pos Group) di rumahnya, pekan kemarin.
Jero Mangku Ketut Widiantara juga mengungkapkan, bahwa patung bayi merupakan sebuah simbol dari Sang Hyang Siwa Budha. Di mana masyarakat sekitar juga menyebut Palinggih Sang Hyang Brahma Lerare. Dikatakannya, seorang anak hasil dari pertemuan Siwa Budha, maka lahirlah Brahmana Lelara yang perwujudannya seorang bayi, namun sudah pintar dengan sastra.
Soal dibangun di wilayah Banjar Blah Tanah, Sakah,
Jero Mangku Ketut Widiantara menerangkan, lokasi itu mempunyai makna secara niskala, yakni Blah Tanah yang mempunyai arti berada di tengah belahan tanah.
“Kenapa juga ada yang menyebutnya di Sakah, sebab Sakah sendiri berasal dari kata Saka, yang berarti sebuah tiang yang kokoh. Maka dibuatkanlah di sana sebuah patung sebagai Palinggih Brahmana Lerara dengan bentuknya yang kokoh,” papar ayah dua anak tersebut.
Ide awal untuk membangun patung, lanjutnya berasal dari tokoh yang juga mantan Bupati Gianyar pada tahun 1989, Cokorda Darana. Kala itu, Cokorda Darana mengajak beberapa sejarahwan, seniman, dan prajuru desa setempat untuk menyelenggarakan rapat, membahas soal pembuatan patung.
Jero Mangku Ketut Widiantara menerangkan, rapat yang diselenggarakan tersebut sempat ada gejolak, ketika membahas patung apa yang cocok dibangun. Namun, akhirnya sepakat mengacu pada pawisik dari orang yang mendalami spiritual, yang menyarankan agar patung yang dibangun adalah Palinggih Brahama Lerara. Maka sesuai saran itu, maka dibangunlah patung di sana, dan diawali dengan prosesi upacara sesuai dresta. “Karena merupakan sebuah hasil dari Siwa Budha, saya yang ngayah jadi pemangku harus juga menggunakan pakaian simbolis Siwa Budha. Yang berisi warna putih dan kuning. Di mana saya berbusana serba putih, sedangkan jero mangku istri menggunakan sentengnya saja yang berwarna kuning. Sebagai simbol saja, agar ada yang berwarna kuning,” papar pegawai PT.Garuda Indonesia tersebut.
Diakuinya, kerap orang mendengar suara tangisan anak kecil yang berasal dari areal Patung Bayi tersebut. “Terkadang masyarakat yang lewat, melihat bahwa bagian kepala patung seperti menoleh ke arahnya. Banyak masyarakat di luar desa yang mengaku melihat kejadian aneh seperti itu,” imbuhnya.
Kejadian aneh seperti itu, lanjutnya, hanya mengingatkan warga setempat atau di luar desa bahwa memang benar patung tersebut memiliki nilai magis.
Dikatakannya, selain digunakan untuk persembahyangan biasa, tidak jarang ada yang nangkil untuk memohon kelancaran, dalam proses mendapatkan keturunan bagi pasangan yang sudah lama menikah, namun belum dikaruniai seorang anak.
“Bahkan ada juga umat non Hindu mohon diberkati keturunan atas petunjuk keluarganya yang Hindu. Ketika orang tersebut datang kembali, mengaku sudah dikaruniai anak,”ulasnya.
Jero Mangku Istri, Ni Made Sutini mengungkapkan, kadang ia kewalahan menjalani sebagai pangayah. Sebab, pelaksanaan pujawali di Patung Bayi berbarengan dengan piodalan di merajannya. “Semua persiapannya harus dilakukan dari jauh-jauh hari. Ya mau gimana lagi, orang sudah kasudi (ditunjuk) untuk ngayah. Hanya bisa menjalankan dengan ikhlas saja, yang penting diberi kesehatan saja sudah syukur,” akunya.
Apalagi, lanjutnya, Jero Mangku Lanang yang sampai saat ini masih aktif bekerja. “Ketika piodalan, maupun dalam persiapannya mau tidak mau ia harus mengambil cuti,” terangnya disela-sela pembuatan banten. Ditambahkannya, banyak warga yang melintas, berhenti untuk menghaturkan canang, memohon keselamatan di perjalanan.
Nah, jika ingin nangkil ke Patung Bayi atau ke Palinggih Brahmana Lelara tersebut, sangat gampang dan jangan takut kesasar. Sebab mencarinya sangatlah mudah, karena lokasinya sekitar dua kilometer utara Pasar Sukawati.
(bx/ade/rin/yes/JPR) –sumber