Munyin talenan artinya suara talenan. Talenan adalah kayu sebagai alas untuk mencincang bumbu atau daging di dapur. Talenan dalam adat Bali adalah sesuatu benda yang sangat lumrah. Bahkan bagi mereka yang suka mebat atau ngelawar maka akan memiliki talenan lebih dari stau, bahkan ukurannya yang besar-besar. Talenan sendiri adalah sebuah produk kebudayaan masyarakat Bali sebagai pemeluk aliran Hindu Bali yang berkiblat pada ajaran Siwa Bhairawa. Dimana dewa pujaan tertinggi adalah Dewa Siwa namun dalam prakteknya lebih banyak melakukan ritual-ritual pemujaan kepada Sakti Dewa Siwa yakni Sanghyang Bhaiwara atau Dewi Durga. Menyediakan sesaji atau persembahan yang berisi beraneka ragam daging dengan segala olahannya untuk dipersembahkan kepada Hyang Maha Sakti, Sakti Dewa Siwa.
Dalam mempersiapkan berbagai macam sesaji dan caru tersebut yang menggunakan berbagai macam olahan memunculkan pula olahan-olahan dengan berbagai macam bentuk yang sejatinya oleh para leluhur telah durangkum dalam sebuah buku atau lontar yang berjudul Darma Caruban yakni lontar yang mengurai mengenai seluk beluk masakan atau olahan yang digunakan dalam sesaji dan untuk dikonsumsi.
Berbagai macam olahan yang dikenaa sampai saat ini seperti sate letlet, kablet, sate pusut, sate lembat, dll. serapah, komoh, lawar, jejeruk, gegode, ares, brengkes, tum, urutan, oret, dll. Semua itu adalah produk olahan dari hewan sembelihan yang bisa berupa babi, ayam, bebek, bahkan sapi dan kerbau.
Proses pengerjaan ini biasanya dilakukan tak sendirian alias dilakukan bersama-sama. Dalam keramaian tersebut lalu memunculkan suara talenan yang begitu ramai, begitu khas, yang menandakan di sana ada suatu pesta, di sana ada suatu pemujaan, di sana ada suatu kebersaman, dan di sana ada gotong royong. Jadi suara talenan yang begitu apakah itu di bale banjar di pura atau di bale maksan, adalah suara-suara kebersamaan. Para dewa dan leluhur demikian juga para bhuta kala akan senang mendengar sebab menyaksikan adanya sebuah kebersamaan adanya suatu persembahan dan pemujaan, Dan memang benar bahwa hasil olahan tersebut akan dipersembahkan kehadapan Ida Betara, kepada para leluhur dan juga kehadapan para penjaga ibu pertiwi yakni para bhuta kala. Sehingga semuanya akan mendapatkan kenyamanan dan keharmonisan hubungan.
Selain di pura, juga di rumah-rumah terdenar suara talenan baik itu suara tunggal maupun beberapa orang. Apalagi menjelang galungan, ini menandakan pula bahwa ada suatu kegiatan persiapan entah itu untuk upacara, untuk pesta dll. Dan ketika para leluhur mendengar dari kedituan (alam sana), maka leluhur akan teringat akan adanya pemujaan apakah itu hari raya yang datang atau suatu kegiatan tertentu. Artinya bahwa dengan suara talenan akan memberi kabar, mengingatkan pada para leluhur mengenai hari raya atau mengenai kegiatan tertentu. Sehingga dengan suara talenan akan mengingatkan akan leluhur untuk menengok ke rumah, menengok para pretisentananya yang sedang melakukan persembahan. Lebih-lebih saat hari Penampahan Galungan. Munyin talenan bagaikan kulkul banjar, secara otomatis juga memberikan kabar kepada masyarakat lingkungan bahwa yang bersangkutan sedang meolahan “memasak” seperti ngelawar dan sebagainya. Dari sana sebagai sebuah pertanda bahwa yang bersangkutan sedang punya hajatan entah itu upacara yadnya, upacara pernikahan, dll.(Kanduksupatra/ki buyut Dalu) –sumber