BALI EXPRESS, DENPASAR – Jika dilihat dari sejarahnya, Ngelawang dikatakan Prof Bandem ada kaitannya dengan tradisi sirkus China yang dipentaskan oleh pedagang China pada masa Dinasti Tan antara rentang waktu abad ke VII sampai dengan abad ke X.
Pada masa itu, China dikatakan Pengamat Budaya Prof Made Bandem adalah pusat dari perdagangan dunia, dimana para pedagang yang berasal dari China sering melakukan perjalanan dari China ke India dan melalui Indonesia mulai dari Kalimantan, Sulawesi hingga mampir ke Bali. “Selama berdagang ini, para pedagang China memang sering melakukan pementasan Barong Macan dengan tujuan untuk mencari uang untuk bekal perjalanan,” jelasnya.
Pementasan tersebut dikatakan Bandem lambat laun mulai ditiru oleh masyarakat Bali pada masa itu, namun lakon yang dipentaskan disesuaikan dengan lakon lokal yang berkembang di dalam budaya Masyarakat Bali, dan aktivitas ini secara turun temurun tetap dilakukan dengan baik.
Untuk pementasan ngelawang di Bali, ditekankan Prof Bandem lebih cenderung berpatokan pada fungsi spiritual dari ngelawang tersebut yakni sebagai pengeruwat bumi dari kekuatan Bhuta Kala yang dilakukan selama rentang waktu tertentu yakni Buda Kliwon Dunggulan dan berakhir pada Buda Kliwong Pahang.
“Ngelawang dalam budaya Bali, tidak boleh dilakukan setiap hari, karena kegiatan Ngelawang di bali identik dengan aktivitas ritual keagamaan,” paparnya.
Selain dari segi sejarahnya ngelawang yang bisa menerima upah yang diadopsi dari budaya pementasan sirkus China pada abad VII sampai dengan Abad X, adapun fungsi lain dari ngelawang yakni sebagai fungsi pendidikan kepada anak-anak.
Dimana aktivitas ngelawang ini identik dengan anak-anak, karena penari dan penabuhnya lebih cenderung melibat anak-anak usia sekolah. “Biasanya serangkaian Hari Raya Galungan, anak-anak sekolah kan libur, jadi untuk mengisi waktu libur ini, dibentuklah kelompok ngelawang,” lanjutnya.
Dalam kelompok ngelawang ini, anak-anak tersebut dikatakan Bandem akan dilatih untuk mengenal kesenian daerahnya. Karena selain belajar mengenai kesenian daerahnya, dalam kelompok ini, naak-anak ini juga bisa bermain untuk mengisi waktu liburan.
Hal ini dikatakannya juga bisa membangkitkan bakat melalui sistem pendidikan tradisional di desa untuk mendidik anak-anak untuk mencintai keseniannya.
(bx/gek/bay/yes/JPR) –sumber