BALI EXPRESS, DENPASAR – Ngelawang sudah menjadi budaya secara turun temurun. Namun keberadaannya saat ini mulai bergeser. Jika dulu ritual ngelawang, jelas dengan tujuan menetralisir aura negatif atau pengeruwat jagat. Saat ini sekaa ngelawang, bak orang ngamen. Banyak yang ngelawang namun kering makna.
Menurut Pengamat Budaya Prof Made Bandem, Ngelawang adalah suatu tradisi yang pementasan keliling desa yang jika dilihat dari idiologinya, ngelawang berkaitan erat dengan ritual Agama Hindu. “Secara filosofis, ngelawang bertujuan untuk menetralisir kekuatan bhuta agar menjelma kekuatan dewa. Barong merupakan simbol kekuatan dewa yang hendak menyucikan dunia,” jelas mantan Rektor STSI Denpasar (ISI Denpasar) ini.
Adapun jadwal dari Ngelawang ini adalah pada hari Raya Galungan (Buda Kliwon Dunggulan) hingga Buda Kliwon Pahang. Kenapa ngelawang dilakukan pada rentang waktu tersebut? Bandem mengatakan ngelawang harus dilakukan pada rentang waktu tersebut, karena pada rentang waktu tersebut masyarakat Bali dikenal sebagai hari Rahinan Jagat (Hari Raya untuk bumi), sehingga harus dilakukan perayaan yang diisi dengan beragam kegiatan, seperti hiburan dan ritual keagamaan.
Karena akan dilakukan upacara besar, maka harus dilakukan penyucian bumi dari bhuta kala yang memiliki sifat negatif tersebut dengan melakukan penyucian yang dilakukan oleh Barong yang merupakan manifestasi dari Tuhan dalam bentuk kebendaan yang sudah dipasupati atau disucikan.
Sehingga sarana yang digunakan untuk ngelawang seperti barong, tapel dan gambelan dapat memiliki kekuatan spiritual sehingga dapat berfungsi sebagai pengeruwat jagat. Simbulnya adalah dengan melakukan kirab berbagai barong yang dimiliki Desa Adat yang ada di Bali seperti Barong Macan, Barong Bangkung, Barong Kedingkling, Wayang Wong dan lain sebagainya. “Barong ini bisa disesuaikan dengan kepercayaan yang ada di desa adat tersebut, seperti barong Menjangan, Barong Kedingkling yang berfungsi sebagai simbol pengusir Butha Kala,” lanjut Bandem.
Sementara jika dilihat idiologinya, ngelawang harus berpatokan pada Siwam, Satyam dan Sundaram. Yang artinya kesucian, Etika dan Keindahan. Sehingga dalam penampilannya, ngelawang harus memiliki keindahan baik dari segi gerak tarian dan keindahan ritme dari tetabuhan yang digunakannya, etika pementasan dan kesucian property yang digunakan untuk ngelawang.
Pada waktu kirab ini, Barong yang ngelawang memang bisa diberikan sesajen sebagai wujud syukur masyarakat. Sehingga lungsuran dari prani tersebut bisa dinikmati oleh orang yang mementaskan barong. “Hal itu wajar, karena penari ini dizinkan untuk menikmati lungsuran dari persembahan tersebut,” tambah Bandem.
Seiring dengan perkembangannya, tradisi memberikan sesajen kepada barong sudah tidak dilakukan lagi saat ini, karena fenomena ngelawang saat ini layaknya mengamen atau nari kemudian ambil uang. Karena ngelawang diberikan upah berupa uang dan atraksi ngelawang saat ini tidak melibatkan barong yang sudah dipasupati, tetapi dilakukan oleh kelompok anak-anak yang dengan barong biasa.
Terkait fenomena tersebut, Bandem mengakui jika fenomena tersebut memang ada, terkait fenomena ini, Bandem mengaku jika hal tersebut perlu dilakukan pengaturan kembali. “Karena jika sudah ngelawang bertujuan untuk mendapatkan upah, maka sudah tidak sesuai dengan filosofi dari ngelawang itu, maka diperlukan pengaturan dan penertiban,” paparnya.
Hal ini dikatakannya karena ngelawang tidak boleh dilakukan setiap hari dan sepanjang tahun. Karena ngelawang itu harus ada artistik integritas, bagaimana barong itu bisa menari dengan baik, mulai dari tariannya, lakonnya, gambelannya yang bagus. “Jangan kemudian ngelawang menjadi akses untuk semata, itu sudah menyalahi idiologi dari ngelawang, maka diperlukan pengaturan yang lebih baik lagi,” harapnya.
Tentang Ritual Ngelawang
1. Ngelawang untuk pengeruwat bumi
2. Dipentaskan Galungan hingga Buda Kliwon Pahang
3. Tidak bisa dilakukan sepanjang hari
4. Ngelawang bukan ngamen
5. Diadopsi dari atrasi sirkus China pada abad ke VII-abad ke X
(bx/gek/bay/yes/JPR) –sumber