Kematian adalah sebuah misteri, kita tidak tahu kapan datangnya. Tuhan punya skenario sendiri yang tidak bisa kita baca bagaimana drama kehidupan itu dipentaskan. Orang lahir membawa karmanya sendiri, sebuah perjalanan dari karma hidupnya di masa lalu yang harus dia pertanggungjawabkan kembali. Kelahiran adalah kesempatan untuk menebus karma-karma masa lalu, sehingga manusia terbebas dari keterikatan dan kelahiran berulang-ulang.
Kematian seharusnya bukan sesuatu yang menakutkan, karena ia akan datang, tak seorang pun sanggup mencegahnya. Tetua kita mengajarkan empat kenikmatan dalam hidup ini: suka, duka, lara, pati. Bersenang-senang, tertimpa kesedihan, menderita penyakit, menghadapi kematian. Kenikmatan itu harus kita terima. Lalu tugas kita adalah selalu siap menunggu dan menghadapi kematian.
Maka dari itu ngiring laksanayang upacara pitra yadnya dengan konsep Nis Prateka Nir Prabawa dengan pandangan K3S2 (Kemampua, Kemauan, Keikhlasan, Sikon dan Sastra Agama Hindu)
Pitra Yadnya terdiri dari empat tahapan upacara, yaitu:
1. Ngaben: melepaskan ikatan roh pada tubuh manusia (panca mahabhuta),yang terpenting dalam upacara ngaben ini adalah Kajang sebagai unsur utamanya.
2. Nyekah/ Ngroras: melepaskan ikatan roh pada pengaruh panca indria (panca tanmatra), yang terpenting dalam proses ini adalah sekahnya.
3. Mepaingkup: menstanakan roh di sanggah pamerajan,yang terpenting dalam proses ini adalah tapakan lingga dan rantasan
5. Meajar-ajar: ‘nangkilang’ roh ke pura-pura tertentu, yang terpenting dalam proses ini adalah tapakan dan rantasannya
Diantara proses ngaben dan nyekah, ada upacara nyegara-gunung, tujuannya adalah mensucikan roh ke segara dan memohon anugrah ke gunung sebagai sumber kemakmuran, yang terpenting dalam proses ini adalah tapakan lingga dan rantasan.
Pura-pura yang biasa dituju untuk upacara nyegara gunung misalnya: goa lawah, tanah lot, pulaki, ponjok batu, silayukti, rambut siwi, dll.
Pura-pura yang dituju dalam upacara meajar-ajar adalah: Pura lempuyang, Pura silayukti, Pura Catur Parhyangan Linggih Ida Mpu Gana ring Pundukdawa dan Pura Catur Lawa Besakih.
Upacara mendak nuntun Dewa Hyang dilakukan tidak dalam rangkaian Pitra Yadnya. Upacara ini hanya satu kali saja dilakukan, yakni di saat membangun pelinggih Dewa Hyang atau Raja-Dewata di sanggah pamerajan.
Prosedurnya: nuntun di Pura Dalem Puri, Besakih, kemudian dilanjutkan dengan nangkilang ke Pura-pura tertentu, dalam perjalanan kembali pulang.
Rangkaian upacara di beberapa soroh dan beberapa desa ada yang berbeda, sebabnya:
• kurang memahami makna upacara-upacara dimaksud.
• mengikuti dresta yang juga tidak diketahui sumber sastranya yang tepat.
Upakara yang digunakan dalam upacara-upacara itu, tergantung pada K3S2 masing-masing. Upakara/ banten yang minimal: pejati. Bila dananya cukup, boleh menggunakan suci agung dengan ulam bebek dan mesalaran.
#sebuah diskusi singkat tgl 4 juli 2018#bersama ibu ketut puji astari#
Ngiring sareng2 melajah
Berbagi dari sebuah tulisan I Gde Pasek Manuaba (GAA) –sumber