SULUH BALI, Denpasar – Cinta adalah rasa yang muncul oleh siapa saja bahkan tidak mengenal perbedaan apalagi wangsa. Namun, cinta yang berbeda wangsa (tingkatan srata sosial) yang berlanjut pernikahan tidak jarang membuat seseorang harus mematikan atau menanggalkan kewangsaannya terutama perempuan tri wangsa jika menikah dengan sudra.
Menjadi dilema bagi perempuan yang mengalaminya karena harus terlepas dari kemuliaan yang biasanya selalu melekat pada tri wangsa. Itulah perkawinan nyerod yang pada akhirnya keputusan membuat segala status wangsa dari perempuan tri wangsa menikah dengan sudra tidak berlaku lagi.
Patiwangi, demikianlah upacaranya. Sebuah upacara yang dalam buku dari Dr. I Nyoman Yoga Segara berjudul ” Perkawinan Nyerod Kontestasi, Negosiasi, dan Komodifikasi di atas Mozaik Kebudayaan Bali” menyebutkan tentang patiwangi.
Patiwangi secara etimologi berasal dari pati artinya mati, dan wangi artinya wangi atau harum. Jadi patiwangi diartikan sebagai upacara pembunuhan atau penghilangan keharuman wangsa seseorang perempuan tri wangsa, salah satunya dengan tidak digunakannya lagi nama dan gelar kebangsawanan, dan biasanya ia akan diberikan nama jaba oleh keluarga suaminya.
Meskipun dalam keseharian seorang perempuan tri wangsa yang telah menikah dengan sudra masih menggunakan nama sesuai dengan tri wangsanya namun demikian namanya itu tidak lagi sebagai gelar kebangsawanan namun menjadi nama jaba yang secara starta kewangsaan dipandang lebih rendah.
Upacara ini ditujukan secara niskala untuk mengurangi atau mencegah adanya hal-hal yang tidak diinginkan seperti musibah terjadi atas perkawinan nyerod yang dilaksanakan. Hal ini dikarenakan karena perkawinan jenis nyerod sering dipandang sebagai perkawinan yang bisa kepanesan yang secara hukum adat Bali disebutkan sebagai asu pundung dan alangkahi karang hulu.(SB-Skb) –sumber