Bangunan pelinggih Meru tersebut dibedah dari mitologinya, bahwa Meru adalah salah satu nama gunung di sorga loka. Salah satu puncaknya disebut kailasa sebagai tempat tinggalnya Dewa Siva. Gunung tersebut lalu diturunkan ke dunia menjadi gunung Himalaya di India, gunung Mahameru di Jawa dan gunung Agung di Bali. Untuk keperluan pemujaan, maka dibuatlah reflika gunung tersebut dengan bangunan Meru (Sandika, 2011:92). Selanjutnya bertalian dengan Meru ini, Seminar Kesatuan Tafsir Terhadap Aspek-aspek Agama Hindu membedakannya dalam 6 jenis yaitu :
- Meru Tumpang Satu
- Meru Tumpang Dua
- Meru Tumpang Tiga
- Meru Tumpang Lima
- Meru Tumpang Tujuh
- Meru Tumpang Sebelas
Dapat ditambahkan pula bahwa pedagingan untuk Meru Tumpang Satu sampai dengan Tumpang Tiga harus diberi pedagingan pada dasar dan puncaknya saja, sedangkan untuk Meru Tumpang Lima sampai dengan Tumpang Sebelas harus diberi tiga pedagingan yaitu pada dasar, tengah dan puncak Meru. Meru atapnya bertingkat-tingkat dan jumlah tingkatnya kecuali yang bertingkat dua, selalu ganjil seperti tiga, lima, tujuh, sembilan dan sebelas dan semakin keatas semakin kecil. Jumlah tingkat yang ganjil menunjukkan kelepasan, sebab jumlah yang genap dipandang sebagai rwa bhineda artinya dapat menciptakan sesuatu yang baru. Sedangkan yang ganjil tidak akan melahirkan apa-apa lagi.
Bilangan ganjil itu bernilai tinggi, sakti dan bermakna penuh. Berikut adalah contoh bilangan ganjil, Sanghyang Widhi Wasa adalah Esa (1) dengan prabawanya berupa trisakti (3). Unsur kehidupan adalah Panca Mahabhuta (5) sedangkan lapisan bumi dan angkasa masing-masing 7 (sapta patala dan langit ke tujuh). Arah angin arahnya sembilan (9). Semuanya itu menunjukkan bilangan ganjil yang mempunyai makna khusus bagi umat Hindu, yaitu sakti dan bernilai tinggi.
Kemudian mengenai jumlah tingkatnya dapat dijelaskan demikian. Semakin banyak tingkat Meru biasanya menunjukkan semakin agung Bhatara-Bhatari yang distanakan di Meru itu. Arwah suci para Raja biasanya distanakan dalam Meru dengan tingkat sebelas, sedangkan arwah suci orang kedua dalam suatu kerajaan, misalnya Patih Agung, distanakan dalam Meru bertingkat sembilan. Demikianlah semakin rendah jabatannya, maka arwah sucinya distanakan pada Meru dengan tingkatan yang lebih rendah pula (Suhardana,2006:119). Meru tumpang satu, tiga dan lima adalah pelinggih Bhatara Kawitan yaitu leluhur utama dari keluarga (Winanti,2009:44).
Konsep Penyatuan Sivasiddhanta dalam Pelinggih Meru yaitu adanya sekte Siwa, dimana dalam Mithologi Meru dijelaskan bahwa Pelinggih Meru sebenarnya nama sebuah gunung di Sorgaloka yang puncaknya bernama Kailasa yang katanya merupakan tempat bersemayamnya Bhatara Siwa. Upakara atau Banten yang dipersembahkan kepada Pelinggih Meru adalah Banten Suci (1), Banten Peras (1), Banten Penyeneng (1), Canang Raka (1) dan Canang Sari (1). —sumber