Wanita Bali terkenal gigih, pekerja keras, menghormati martabat keluarga. Namun, wanita Bali terkenal pula pasrah menerima keadaan buruk, bahkan warisan pun tidak ia terima. Lebih sedih lagi, masih ada anggapan lahir sebagai wanita adalah lahir sebagai manusia kelas dua. Kalau dana pendidikan keluarga tidak cukup, anak wanita tidak disekolahkan, atau terpaksa berhenti bersekolah. Untuk apa bersekolah tinggi, toh setelah besar diambil orang lain.
Nasib buruk wanita Bali itu sekarang mulai banyak diperjuangkan lembaga adat dan lembaga keagamaan. Lembaga adat itu adalah Majelis Utama Desa Pekraman (MUDP) Bali dan lembaga keagamaan itu adalah Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI). Bahkan yang jarang diketahui oleh orang Bali adalah adanya Pesamuhan III MUDP Bali tahun 2010 yang memutuskan untuk memberi warisan kepada anak-anak wanita, yang selama ini tak dapat apa-apa.
Bahkan besar warisan itu pun sudah ditetapkan jumlahnya. Anak lelaki mendapatkan satu bagian sementara anak wanita mendapatkan setengah. Berapa pun keluarga itu punya anak, pembagian warisan ditetapkan bahwa yang wanita mendapat separoh dari anak lelaki. Menarik pula bahwa dasar yang dipakai adalah “tradisi mengangkut barang”, di mana anak lelaki biasa memikul (negen) barang, jadi di kedua bagian ada barang. Sementara anak wanita hanya menyunggi (nyuwun) barang. Jadi sudah pasti isi pikulan (apenegen) dua kali dari isi yang disunggi (asuun). Apakah ini dicari-cari entahlah, yang jelas dasar sastra agama memang tidak ada dalam pembagian warisan.
Bagaimana dengan keputusan PHDI? Pada Mahasabha XI PHDI di Surabaya akhir Oktober lalu ada rekomendasi tentang “menyayangi wanita”. Ada delapan point rekomendasi “menyayangi wanita” namun tak satu pun menyebut soal warisan. Apalagi mengatur jumlahnya.
Namun kalau kita membaca pengantar rekomendasi ini, jiwa dari rekomendasi PHDI itu sangatlah mulia untuk kaum wanita dan betul-betul ada keberpihakan dalam mengangkat harkat kaum wanita Hindu. Dalam pengantarnya sudah dikutip sloka Manawa Dharmasastra I.32 yang intinya adalah laki-laki dan wanita semuanya ciptaan Tuhan dengan kedudukan yang tunggal dan sejajar. Yang membedakan adalah perannya dalam panggung kehidupan ini. Lalu dikutip pula sloka Manawa Dharmasastra III. 38 yang menyebutkan: “di mana wanita dihormati, di sanalah para dewa senang dan melimpahkan anugrahanya. Tetapi di mana wanita tidak dihormati, tidak ada upacara suci apa pun yang memberikan pahala mulia”. Jadi, percuma kita melakukan ritual yadnya kalau di saat itu wanita dilecehkan.
Ke delapan point itu pun kalau kita resapi dengan seksama merupakan “warisan berharga” bagi wanita Bali yang beragama Hindu. Keluarga itu wajib menyayangi anak wanita seperti halnya menyayangi anak lelaki. Wajib memberikan pendidikan yang setara. Wajib memenuhi kebutuhan yang bersifat fisiologis, psikologis, kasih sayang, ekonomi, sosial dan spiritual. Tidak melakukan kekerasan apa pun kepada anak-anak, termasuk anak wanita. Tidak melakukan tindakan diskriminatif kepada anak wanita.
Tidak disebutkan ada pembagian warisan, namun dengan memberlakukan anak wanita sejajar dengan anak lelaki maka inilah warisan yang utama. Kenapa PHDI sebagai lembaga agama tidak menentukan anak wanita harus mendapat warisan yang berupa harta, apakah itu berupa tanah, bangunan dan sebagainya ketika dia dipinang dan kawin? Persoalannya, jika ditinjau dari kajian agama maka itu sangatlah sulit. Dasar sastra agama juga tidak ada. Sistem perkawinan dalam tradisi masyarakat Hindu di Bali adalah anak wanita masuk ke dalam keluarga laki-laki. Wanita sebagai pradana mengikuti lelaki sebagai purusa dan itu dengan menggunakan ritual yang sakral. Anak wanita melaksanakan upacara mepamit di merajannya dan saat itu secara spiritual anak wanita yang kawin itu menyatu dengan keluarga suaminya. Akan menjadi terbalik kalau sistem perkawinan ini memakai sistem nyentana, di mana purusa adalah si wanita.
Dengan sistem perkawinan ini maka warisan bagi anak wanita lebih tepat diberikan kepada anak wanita sebelum melaksanakan perkawinan. Jadi semasih dia dalam naungan keluarga awal. Kalau keluarga itu memang berada, selain pendidikan yang tinggi dan segala kebutuhan lainnya terpenuhi, bisa pula si anak wanita dibelikan rumah, mobil dan seterusnya. Lalu ketika kawin diberikan “bekel” (sebagai modal) berupa uang. Itu yang dianggap lebih tepat dibandingkan harus hitam putih membagi warisan menjadi apenegen dan asuun. —sumber