Ngaben merupakan salah satu upacara yang dilakukan oleh Umat Hindu di Bali yang tergolong upacara Pitra Yadnya (upacara yang ditunjukkan kepada Leluhur). Ngaben secara etimologis berasal dari kata api yang mendapat awalan nga, dan akhiran an, sehingga menjadi ngapian, yang disandikan menjadi ngapen yang lama kelamaan terjadi pergeseran kata menjadi ngaben. Upacara Ngaben selalu melibatkan api, api yang digunakan ada 2, yaitu berupa api konkret (api sebenarnya) dan api abstrak (api yang berasal dari Puja Mantra Pendeta yang memimpin upacara). Versi lain mengatakan bahwa ngaben berasal dari kata beya yang artinya bekal, sehingga ngaben juga berarti upacara memberi bekal kepada Leluhur untuk perjalannya ke Sunia Loka.
Secara Konsepsional tujuan upacara Ngaben adalah untuk melepaskan Sang Atma (roh) dari belenggu keduniawian sehingga dapat dengan mudah bersatu dengan Tuhan (Mokshatam Atmanam), untuk mengembalikan segala unsur Panca Maha Bhuta (5 unsur pembangun badan kasar manusia) kepada asalnya masing-masing agar tidak menghalangi perjalan Atma ke Sunia Loka, serta merupakan simbolisasi bahwa pihak keluarga telah ikhlas, dan merelakan kepergian yang bersangkutan
Banyaknya kasus adat di Bali, membuat prihatin sebagian masyarakat Bali, utamanya masalah kasepekang yang berakibat adanya larangan untuk melakukan penguburan jenazah dan ngaben. Munculnya kasus adat dalam masyarakat Bali sangat mungkin disebabkan adanya aturan adat yang dibuat bukan dilandasi oleh pola-pola bijak, melainkan dibentuk atas kesepakatan bersama secara briuk sipanggul. Pemberlakuan adat tersebut sering sekali tidak diikuti oleh pola pembinaan oleh para tokoh adatnya, sehingga terkesan kurang mendidik.
Sebagai contoh, ada salah satu keluarga yang melanggar adat akibat adanya kesulitan tertentu. Mengetahui kondisi ini, tokoh adat bukannya mencari tahu kesulitan warganya, melainkan masalah ini dibiarkan saja bertahun-tahun atau sebaliknya malah dibawa segera ke paruman. Membiarkan kondisi warga demikian hingga waktu yang tidak jelas, bukanlah penyelesaian yang bijak. Masalah demikian itu justru menjadi sangat rumit manakala warga yang terkena sanksi terpaksa berhadapan langsung dengan warga lain yang telah menyimpan rasa antipati yang menumpuk.
Sebaliknya membawa masalah warga yang melanggar adat ini segera pada paruman justru sering menimbulkan pendapat-pendapat emosional untuk memberlakukan sanksi secara kurang bijak, yang pada akhirnya timbul ‘penyelesaian’ masalah secara kaku dan saklek yang semakin menyulitkan warga bermasalah. Seharusnya para pengurus adat belajar dari berbagai kesulitan warganya. Dari sinilah diharapkan para pengurus itu dapat mengambil keputusan yang lebih bijaksana sehingga keputusan yang diambil tidak terkesan menyulitkan, tetapi lebih diarahkan untuk proses penyadaran dan pendidikan. Karena itulah pendalaman sastra agama bagi tokoh adat, agama, sulinggih, masyarakat dan pemerintah harus ditingkatkan secara berkesinambungan agar dapat mengayomi masyarakatnya secara damai.
Adanya krematorium (tempat pembakaran jenazah) yang digagas oleh Ikatan Suka Duka Pekerja Hindu Indonesia (ISDPHI) yang bekerja sama dengan warga Pasek dengan menyediakan lahannya adalah sebagai ungkapan rasa jengah yang muncul dari kasus-kasus adat tersebut.
Harus di akui keberadaan krematorium ngaben merupakan salah satu terobosan pemecah kebuntuan terhadap begitu seringnya kasus-kasus adat satu ini. Namun, di lain sisi, kontroversi terhadap keberadaan krematorium ini wajar terjadi dalam dinamika berfikir masyarakat Bali. Kewajaran terhadap kontroversi inilah yang juga perlu dikhawatirkan menjadi kontroversi yang terjadi terus menerus. Dikatakan demikian karena di setiap Desa pekraman di Bali sudah ada setra/kuburan yang setiap pelaksanaan ngabennya disesuaikan dengan Desa Mewacara yang berlaku di wilayah desa pekraman tersebut. Nah, kalau dalam suatu keluarga yang kesepekang, setiap ada anggota keluarganya meninggal, mayatnya akan krematorium-kan. Artinya, akan terpelihara suatu disharmoni adat dimana, pihak yang kesepakang akan merasa “nyaman” karena sudah ada krematorium. Di sisi lain, hubungan sosial-adat di desa pekraman terganggu disebabkan ada salah satu warga yang mengambil “jalan lain ini”
Di tengah situasi yang kurang menguntungkan saat ini, kita khawatir kalau masyarakat tersedot konsentrasinya untuk urusan kasepekang, sengketa lahan kuburan, laba (duwe) pura, dan ketakutan akan berbagai belenggu aturan yang saklek bagi warganya sendiri, sehingga peluang masuknya penduduk dari luar daerah untuk menyusupkan budayanya akan kurang menjadi perhatian masyarakat setempat dan secara tidak sadar kita sebagai masyarakat Bali akan terkikis secara perlahan.
Pendekatan agama melalui sentuhan moralitas sangat penting ditumbuhkan dewasa ini, sebab beragama dengan hanya menyajikan sarana upakara tidak akan dapat mengubah pola hidup ke arah perilaku santun yang didambakan dalam mencapai atma moksartam jagadhita, yaitu kebahagiaan jasmani dan rohani.
Akhir kata dapat kita simpulkan bahwa Adanya pergeseran budaya dari ngaben di setra desa pakraman yang berpindah ke crematorium disebabkan adanya pergeseran nilai dan pandangan masyarakat terkait dengan aturan aturan di desa pakraman yang dianggap memberatkan mereka. Perlunya sikap yang lebih bijak dari para pengurus desa serta masyarakat dalam menyikapi masalah maasalah yang ada di desa sehingga tidak menimbulkan kekecewaan dan pemikiran negative dari masyarakat yang pada akhirnya merubah nilai nilai budaya yang ada di desa pakraman tersebut.
Salam Rahayu 3x – sumber