Perkawinan Pada Gelahang adalah salah satu sistem perkawinan di Bali yang berbeda dari biasanya karena baik suami maupun istri bertindak sebagai Purusa. Perkawinan Pada Gelahang tidak bertentangan dengan Adat Bali maupun Ajaran Agama Hindu. Adapun dampak secara nyata dari sistem perkawinan ini yaitu: pasutri memiliki beban ganda dalam melaksanakan kewajiban dalam Desa Pakraman seperti ayah-ayahan di pura, banjar, dll. Jika pasutri hanya memiliki satu anak, maka beban anak akan berlipat ganda apalagi anak tersebut akan menikah.
Meskipun sistem perkawinan Pada Gelahang baru popular di kalangan masyarakat Bali, namun sistem perkawinan ini ternyata sudah dikenal sejak dahulu dalam sistem kehidupan sosial masyarkat Bali. Hal ini karena fenomena nak tunggal tidak hanya terjadi pada masa modernisasi seperti saat ini, tapi sudah ada sejak zaman dulu kala.
Menurut penelitian yang dilakukan Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Udayana, Prof Wayan P. Windia, tercatat perkawinan Pada Gelahang di Bali sudah dilakukan sejak tahun 1945 silam. “Sistem perkawinan ini sudah dikenal oleh masyarakat Bali, dan tercatat pada tahun 1945 perkawinan pade gelahang sudah dilakukan,” jelasnya.
Berdasar data yang diberikan Prof Windia, pelaksanaan perkawinan pada gelahang berdasarkan tahun pelaksanaannya dapat dikelompokan menjadi beberapa kelompok. Yakni sebelum tahun 1945, antara tahun 1946-1974, antara tahun 1975-200 dan sesudah tahun 2001.
Dipilihnya tahun 1945 sebagai titik awal pijakan karena tahun 1945 sebagai tonggak awal lahirnya bangsa Indonesia. Sehingga setelah tahun 1945 sistem hukum di Republik Indonesia dikatakan Prof Windia sudah berbeda dengan sistem hukum pada masa penjajahan Belanda. “Hal ini juga membawa pengaruh pada pola berfikir masyarakat, termasuk juga pada tata cara pelaksanaan perkawinan yang lebih modern,” lanjutnya.
Sedangkan tahun 1974 dianggap penting karena pada tahun 1974 mulai diberlakukannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Sehingga tahun ini menjadi tahun yang penting dalam sistem perkawinan di Bali, karena selain disahkan oleh hukum adat dan hukum Hindu, perkawinan di Bali juga harus dilakukan sesuai dengan ketentuan yang ada di dalam UU No 1 Tahun 1974.
Lantas bagaimana perkembangan Perkawinan Pada Gelahang dari tahun ke tahun?
Menurut Data yang diberikan Prof Windia, sejak masa kolonial sampai tahun 1945 dalam penelitian tersebut diketahui ada empat pasangan di Bali yang melakukan perkawinan Pada Gelahang. Pada tahun 1946-1974 tercatat ada lima pasangan yang tercatat melakukan perkawinan Pada Gelahang. Pada tahun 1975-2000 tercatat ada sebanyak 9 pasangan yang melakukan perkawinan Pada Gelahang. Dan pada tahun 2000 sampai dengan 2008 tercatat sebanyak 10 pasang suami instri yang melakukan perkawinan Pada Gelahang.
Berdasar data tersebut, Prof Windia menyimpulkan jika di era modern ini pelaksanaan perkawinan Pada gelahang mengalami peningkatan yang signifikan. “Banyak penyebab yang kenapa perkawinan pada Gelahang ini dilakukan, salah satunya adalah kedua pasangan berstatus anak tunggal. Selain itu karena pihak perempuan tidak memiliki saudara laki-laki sementara saudara perempuannya sudah kawin keluar dan pihak laki-laki adalah anak tunggal,” paparnya.
Dari pelaksanaan Perkawinan Pada Gelahang tersebut, sejak penelitian terakhir yakni tahun 2008 dilakukan hingga saat ini pasangan yang melakukan perkawinan Pada Gelahang tidak ada yang memiliki permasalahan. Selain itu dari data tahun 2008, belum ada yang mengakhiri perkawinan Pada gelahang yang dilaksanakan.
Prof Windia menyebutkan jika sistem perkawinan Pada Gelahang akan menjadi sistem perkawinan alternatif di Bali khususnya bagi anak pasangan suami istri yang memiliki anak tunggal. “Hal ini tidak bisa dilepaskan dari adanya pengauruh modernisasi, dan adanya kemajuan di bidang pendidikan, sehingga semakin menumbuhkan kesadaran masyarakat tentang perlunya sistem perkawinan ini untuk diterapkan,” paparnya. Semoga bermanfaat. —sumber