Indah nian bunga sumanasa yang tumbuh di tengah-tengah Taman Sriwedari. Bunga itu, buanga keabadian. Rata-rata, setiap bidadari yang lewat di sebelahnya berhasrat memetiknya. Kendati, mereka hanya bisa menelan liur manakala ingat akibat yang akan menimpa dirinya. Kenikmatan sesaat, penderitaan yang panjang. Suatu hari, tanpa disengaja, salah seorang bidadari bernama Arini yang sedang berdua dengan kekasihnya menyentuh bunga keramat itu. Bunga pun gugur. Menyikapi kejadian itu, Dewa Indra geram. Beliau, akhrinya menghukum Arini.
“Dibilang hukuman, bisa juga, yang pasti engkau harus mampu menggoda pertapaan seorang Rsi bernama Trna Windu. Jangan sampai gagal, ingat kata-kataku.” Kata Dewa Indra pada Arini.
Arini turun ke bumi. Dan, ia rasakan betapa panasnya situasi bumi. Tidak seperti di sorga yang adem dan sejuk. Kulitnya yang putih gading tak tahan lagi. Akhirnya, dia berteduh di tengah hutan rimba. Dalam perjalanan mencari tempat pertapaan Rsi Trna Windu. Ia telah melintasi jajaran pegunungan, diantaranya, dilewatinya gugus pegunungan Windya, Indrakila, kemudian Rewataka dan terakhir Gunung Gandamadana. Saat menuruni lereng Gunung Gandamadana, mata Arini tertumbuk pada sebuah gua tempat pertapaan yang memancarkan cahaya gaib.
“Maafkan hamba, yang lancang telah mengganggu ketentraman pertapaan…” ujar Arini pada sang pertapa.
Pertapa yang khususk melaksanakan meditasi terbangun. Matanya terbelalak, melihat seorang gadis cantik bersimbuh di hadapannya. Kendati paras Arini sangat menggairahkan. Rsi Trna windu tak terangsang. Sejak menjadi pertapa, ia sudah terbiasa mengendalikan nafsu, sehingga ia tak tergiur. Malahan ia bertanya dengan sopan, tentang asal-usul Arini. Penuh keyakinan, Arini menduga, sramana ini akan tertarik padanya. “Hamba sebenarnya dating dari surge Dewa Dharma. Beliau mengutusku, sebagai hadiah kepadamu yang telah berhasil melaksanakan kebaktian seorang pertapa. Terserah Tuan, saya siap melayani Tuan…” katanya berbohong.
Mendengar kata-kata Arini, Rsi Trna Windu mendelik, “Aku tahu, kau berbohong. Katakan sebenarnya, engkau diutus Dewa Indra untuk menggagalkan pertapaanku?”
“Tidak Tuan…”
“Kalau benar engkau utusan Dewa Indra, maka kukutuk engkau tak akan bisa kembali ke surga…”
Meledaklah tangis Arini. Ia tak menduga, kutukan Rsi Trna Windu akan dating tiba-tiba. Akhirnya, secara jujur ia mengakui kebohonannya. Dan, meminta sang Rsi agar mencabutnya lagi.
“Kutukan seorang Rsi, sangat pingit. Tak mungkin dicabut. Namun, aku bisa membantumu” ujar Rsi Trna Windu, penuh rasa iba. “Suatu hari nanti, kau akan lahir ke dunia. Menjadi seorang putrid Raja Widarba. Di sanalah, engkau berjumpa dengan kekasihmu yang kini berada di surge bersedia turun menjelma menjadi seorang pangeran berna Aja. Tatkala di puncak kebahagiaan kalian, tiba-tiba saja bunga sumanasa luruh ke bumi. Tepat jatuh dipangkuanmu, saat itulah pertanda ajalmu tiba…”
Sekian tahun berlalu, bidadari Arini akhirnya peroleh kesempatan menjalankan proses samsaranya. Ia lahir ditengah-tengah rakyat Kerthakesika di negeri Widarbha, dengan nama Dewi Indumati. Baginda Prabu dan seisi keratin sangat menyayangi putrid kerajaan berparas ayu ini. Bahkan kakandanya, Pangeran Bhoja sangat memanjakannya. Apapun permintaan adiknya, selalu dipenuhi. Ia pun merasa tersanjung.
Tiada lama, keindahan itu berlangsung. Ayahandanya, tiba-tiba saja jatuh sakit. Istana gempar, dan takdirnya pun menjemput. Ayahandanya berpulang. Indumati, yang biasa ceria berubah bertampang durja. Seperti telah direncanakan, beberapa selang waktu bundanya menyusul. Indumati semakin terguncang, sempat ia frustasi dengan cara menghabisi dirinya. Andaikata Pangeran Bhoja terlambat, Indumati pasti telah membiru. Akhirnya, berkat kesabaran Pangeran Bhoja, adiknya itu berangsur-angsur pulih dari derita psikis menahun.
Bulan berganti tahun, di bawah pengelolan raja muda Bhoja, negeri Widarbha menjadi negeri yang tangguh. Indumati sekarang bukan lagi remaja yang pemuram. Ia tumbuh menjadi putrid jelita berparas cahaya. Konon, semua negeri ingin mempersuntingnya menjadi mahkota idaman istana. Keadaan ini dirasakan sekali oleh Raja Bhoja. Dan, ia pun mengadakan sayembara. Di umumkan ke pelosok buana.
Alkisah, sampailah sayembara memperebutkan putrid Widarbha ke telinga Raja Ayodya, Raghu. Awalnya, ia tak tertarik. Namun, karena desakan putranya Pangeran Aja. Raja Raghu lantas memutuskan mengikuti sayembara itu dengan mengutus Pangeran Aja. Sesungguhnya, minat pangeran timbul berkat sentuhan keindahan syair seorang pengawi muda di istana Ayodya bernama Kawidosa yang merindukan kekasihnya di negeri seberang. Karena tekanan orangtuanya, cinta mereka terpisah. Pangeran Aja pun kasihan pada Kwaidosa. Ia ingin membantu, melalui jalan tidak langsung mempertemukan mereka di saat sayembara itu. Pangeran Aja tiada beban, andaikata ia tak berhasil mempersunting puteri Widarbha ia tak akan kecewa asalkan sang pengawi istana, sahabatnya itu, bahagia.
Perjalanan mereka tersandung oleh sungai Narmada. Seekor gajah liar muncul dari permukaan air menyerang mereka. Pangeran Aja yang sakti mandraguna berhasil menaklukan si gajah liar jelmaan Priyambhada, putra Raja Gandarwa Citraratha yang dikutuk Rsi Patangga. Priyambhada yang terbebas dari kutukan sangat gembira, seraya menganugerahkan panah sakti bernama Sang Mohana.
Pendek cerita, tibalah Pangeran Aja di negeri Widarbha. Semua mata tertuju padanya. Umpat iri dan dengki raja-raja peserta sayembara tertumpah padanya. Namun Pangeran Aja teguh hati. Sayembara pertama, kemampuan di bidang kesenian dan sastra, berkat kemampuan Kawidosa, Pangeran Aja mengungguli semuanya.
“Indah nian puisi penyair Ayodya itu…” kata Dewi Indumati pada dayang-dayang kesayangannya, Sunanda.
“Maaf, Tuan Putri, penyair itu adalah kekasih hamba. Ia bernama Jayawapsa. Dulunya ia pemuda miskin. Sehingga ayah hamba mengusirnya. Bertahun-tahun hamba merindukannya, tanpa sengaja kami bertemu disini.” Ucapnya sepenuh hati.
Usai sayembara ketangkasan, yang diungguli oleh Pangeran Aja. Rakyat negeri Widarbha bersorak-sorak. Kini giliran Indumati menjatuhkan pilihan. Ia berjalan membawa kalungan bunga di depan peserta, pertama raja negeri Magadha dilewatinya, lalu Awangga, Awanti, Anupa, Susena, Hemanggada, dan Pandya. Mereka pun kecewa luarbiasa. Pada saat langkahnya berada di hadapan Pangeran Aja. Wajah Indumati tersipu, lengannya mengulurkan rangkaian bunga, dikalungkan di leher Aja. Meledaklah, gemuruh tepuk tangan rakyat Widarbha. Pikiran mereka setuju, pilihan sang putrid tidak salah. Dan, mereka pun akhirnya menjadi pasangan serasi. Pesta pernikahan pun dilaksanakan di Widarbha.
Pangeran Aja memboyong putri Indumati ke Ayodya. Dalam perjalanan, mereka dicegat oleh persengkokolan raja-raja yang kalah dan kecewa. Namun, berkat panah Sang Mohana, semua raja terkapar pingsan. Perjalanan mereka selamat sampai di Ayodya.
Setelah Raja Raghu, menyerahkan tampuk pemerintahan Ayodya pada Pangeran Aja. Permaisurinya, melahirkan putra.
“Kanda, siapa nama putra kita?”
“Duh, permaisuriku. Ayodya akan menjadi negeri mahsyur di tangan putra kita. Menurut pewisik Hyang Narada, dari keturunan putra kita, akan lahir seorang titisan Dewa Wisnu yang akan meluruskan tatanan dunia. Maka kuberi nama putra kita, Dasaratha.”
Langit memancarakan cahaya biru terangnya semakin terang, pertanda kata-kata Raja Ayodya sangat pingit. Betapa bahagianya mereka. Menyambut kedatangan Dasaratha di dalam kehidupan keluarganya.
Suatu hari, mereka berlibur di tengah hutan. Raja Aja terinspirasi menulis puisi tentang kesedihan seorang kekasih yang bunuh diri. Indumati yang membaca lirik puisi itu sangat terkesan. Perlahan-lahan pikirannya menafsir lain, “aku takut, Aja akan meninggalkanku…” keluh batinnya. Wajah Indumati berubah murung. Mwlihat raut sedih istrinya, Aja menghiburnya, namun tiba-tiba saja angin bertiup kencang. Sekuntum bunga jatuh tepat di dada Dewi Indumati. Setelah dipungut, diamati dengan seksama, bunga itu bercahaya keemasan.
“Tak mungkin bunga sembarangan…” begitu pikirnya.
Mendadak Indumati jatuh pingsan. Setelah sadar sebentar, ia pun meninggal. Saking cintanya, Aja sangat sedih ditinggalkan permaisurinya. Kesedihan itu, berubah menjadi kemarahan. Ia menuduh bunga itu penyebabnya. Lalu dibawa bunga itu pada seorang pertapa. Oleh pertapa, dijelaskannya, bahwa bunga itu bernama bunga sumanasa. –sumber