BALI EXPRESS, DENPASAR – Untuk melaksanakan sembahyang perlu adanya sarana sembahyang. Tanpa sarana, pelaksanaan persembahyangan rasanya bakti kita kepada Ida Sang Hyang Widhi kurang begitu hidmat. Sarana persembahyangan berasal dan isi alam semesta, berarti manusia menghaturkan suksemannig idepnya atas berlimpah ruahnya anugerah Tuhan.
Sarana pada dasarnya berupa material seperti Bunga, daun, buah-buahan serta hasil bumi lainnya. Api atau Dupha, Air atau tirtha ketiga sarana pokok tersebut mempunyai fungsi masing-masing. Bunga mempunyai dua fungsi penting yakni Sebagai simbul Tuhan (Siwa). Yang kedua sebagai sarana persembahan. Bunga sebagai simbul Tuhan diletakkan di ujung cakupan tangan pada saat menyembah dan sesudahnya bunga tersebut diletakkan di atas kepala atau disumpingkan di telinga.
Bunga sebagai sarana persembahan maka bunga dipakai mengisi sesajen. Bunga perlambang ketulus ikhlasan dan kesucian hati untuk menghadap pada sang pencipta. “Dari bunga, daun, buah-buahan serta isi bumi lainnya menurut tatwa agama dibuatlah rangkaian yang me-ngandung filosopi tinggi yang dinama-kan canang,” ujar Mangku Dalang I Nyoman Sudanta yang diwawancarai Jumat (3/3).
Lebih lanjut dijelaskan, unsur pokok pembentuk canang yakni Porosan bahan dasarnya pinang kapur dan sirih inilah simbolis Tri Murti karena kehidupan manusia terkait dengan unsur ini. Bila diartikan lebih mendalam makna banten canang adalah sebagai simbul perjuangan manusia yang selalu mohon petunjuk dan bantuan dari Ida Sanghyang Widhi. Selain itu, canang juga merupakan simbol pikiran yang jernih serta tulus, karena pikiran merupakan sumber segalanya tercermin dari frint out yang berupa perbuatan dan perkataan.
Bunga sebagai lambang makna, hal ini tampak jelas dalam kekawin Ramayana ketika Rama berperang melawan Rahwana. Para dewa berpihak pada Sang Rama dengan menghujani bunga yang harum baunya. Dalam kitab Surya Sewana yang merupakan kitab pagelaran sang Pandita, ketika akan membuat Tirtha, bunga sebagai lambang Dewi Gangga dewanya tirtha. Bunga sebagai lambang keprawiraan. “Lontar Dasa Nama menyebutkan para prajurit atau mahapatih dalam penokohan kesenian Bali selalu memakai kembang sepatu yang memancar gagah berani bergelar Wira Kusuma,” tuturnya.
Dalam Kekawin Negara Kerthagama dijelaskan bunga dipakai Upacara Saradha yaitu upacara penyucian Roh Leluhur tahap kedua di Bali disebut Puspa Lingga. Tahap pertama dinamakan Puspa Sarira yang artinya berbadan bunga. Inilah yang dibakar sebagai simbul badan manusia. Tujuannya agar jiwatman bisa menyatu ke alam Ketuhanan yang dinamakan Mur Amungsi Maring Siwa Buda Loka.
Fungsi bunga berbeda beda tidak setiap bunga bisa dipakai sebagai sarana persembahyangan. Untuk bunga yang paling baik menurut ajaran agama dan multi guna adalah bunga Teratai. Bunga ini akarnya di lumpur daunnya di air dan bunganya membujur di udara. “Bunga yang terbaik adalah bungan teratai untuk digunakan sebagai persembahan,” jelasnya.
Bagian kedua dari Sarana persembahyangan adalah Dupa atau Api. Api atau Dupa adalah sejenis harum-haruman yang dibakar sehingga berbau harum dan menyala sebagai lambang Agni dan berfungsi sebagai Perantara yang menghubungkan pemuja dengan yang dipuja. Sebagai pembasmi segala mala dan pengusir roh jahat. dan sebagai saksi dalam upacara. “Dupa itu juga menjadi simbol agni, pengusir roh jahat,” sambungnya.
Pemangku atau Pinandhita dalam memimpin upacara menggunakan api dalam bentuk Pasepan yang isinya Menyan untuk memuja Dewa Siwa, Majegau untuk memuja Dewa Sada Siwa dan Cendana untuk memuja Parama Siwa. Disinilah Pemangku atau Pinandita menggunakan Puja Seha sebagai medianya. Mengenai pasepan atau asep sangat jelas terdengar pada bait Kidung Warga Sari yang biasa disuarakan pada upacara panca yadnya sebagai permohonan agar para Dewata segera turun.
Makna Dupa sebagai pembasmi segala kotoran tampak jelas pada persembahyangan sehari hari dimana melalui mantram Ong Ang Dipastraya namah swaha berarti mohon disucikan diri atas sinar suci Ida Sanghyang Widhi. Api juga sebagai saksi upacara dalam kehidupan. Dalam persembah¬angan dupa sebagai saksi dan asapnya sebagai lambang gerakan rohani ke angkasa sebagai stana para Dewa. Dupa sebagai sarira Sanghyang Agni maha melihat perbuatan manusia. Dalam Mitos Hindu yang terdapat pada Lontar Siwa Gama dijelaskan saat rapat para dewa di Sorga yang dipimpin oleh Dewa Siwa, saat itu hadir pula Dewa Surya, oleh karena penampilan Dewa Surya sangat simpatik maka dewa Siwa menganugrahkan tugas agar mewakili dirinya di dunia yaitu sebagai saksi alam semesta. Pada saat itu pula Dewa Siwa bergelar Siwa Raditya. Begitu pula Dewa Surya mulai saat itu berguru padanya sehingga diberi nama Batara Guru. Lontar Siwa Gama menyebutkan bahwa matahari sebagai ciptaan Tuhan dan saksi di dunia, maka dari konsepsi ini merupakan dasar setiap upacara panca yadnya selalu dibuatkan Sanggar Surya mengarah dimana matahari terbit sebagai stana Siwa Raditya.
Yang ketiga adaah air, air merupakan sarana yang Penting dalam persembahyangan. Ada dua jenis air yng digunakan untuk persembahyangan, yakni Air pembersihan secara pisik dan Air untuk suci (tirtha). “Berdasarkan cara pembuatannya tirtha dibedakan atas dua jenis tirtha yang dimohonkan pada Tuhan dan tirtha yang dibuat oleh pandita melalui mantra atau puja,” terangnya.
Air suci (tirtha) berfungsi sebagai pembersihan diri dan kecemaran pikiran sabda, bayu dan idep. Tirtha pada dasarnya merupakan air biasa bila diuraikan secara kimia maka unsurnya adalah H2O tetapi karena dilandasi dengan kepercayaan dan keyakinan agama maka materi tersebut disakralkan sehingga mampu menumbuhkan keheningan pikiran bahkan memiliki kekuatan magis.
Hubungannya dengan persembahyangan fungsi tirta sebagai pembukaan dan penutup. Pembukaan yaitu tirtha pengelukatan dan penutup adalah tirta wangsuh sebagai perlambang anugerah yang dipuja. Tirtha hanya bisa dibuat oleh Pendeta (Dwijati), tapi tirtha bisa dimohon oleh siapa saja sepanjang memenuhi syarat agama, sesuai desa kala dan patra dengan cara nuur kehadapan dewa Siwa. Tirtha yang digunakan sebagai pengurip atau penciptaan caranya dengan dipercikkan di atas banten maka secara resmi menjadi sarana agama yang bernilai sacral dan berjiwa sepiritual.
Nama bebanten akan sah bila sudah mendapat tirtha pengurip bebanten sebelum itu masih merupakan rangkaian bunga, daun dan buah-buahan. “Demikian sarana persembahyangan mempunyai makna sesuai ajaran agama Hindu bila kita yakini akan memberi manfaat yang besar untuk kehidupan umat yang percaya.” tutup Sudanta.
(bx/gus /rin/yes/JPR) –sumber