“Tempatnya di Perempatan Agung?”
“Patung Catur Muka dong…”
“Catuspatha kali yaaa??”
“Patung Perempatan Agung siihhh…”
“Patung Kanda Pat Sari mungkin?”
Itulah jawaban beberapa masyarakat Kota Semarapura ketika ditanya mengenai patung yang terletak di perempatan Jl. Untung Surapati – Jl. Puputan. Patung yang berada di jantung bumi serombotan ini tentunya sudah tidak asing lagi. Meski begitu, penyebutan nama patung ini masih menuai argumen berbeda-berbeda. Ada yang menyebutnya Patung Catur Muka, Catusphata, dan Kanda Pat Sari. Bagaimana dengan semeton?
Nama asli patung ini sebenarnya adalah Patung Kanda Pat Sari. Patung Kanda Pat Sari sebagai centre Kabupaten Klungkung kerap dijadikan sebagai pusat berlangsungnya suatu acara. Seperti pelaksanaan upacara tawur agung dan pawai ogoh-ogoh, patung ini menjadi pusat perhatian masyarakat Klungkung serta wisatawan asing. Di tempat ini pula diadakan karnaval dan serentetan acara besar lainnya.
Masyarakat di Bali sering menilai patung adalah produk kebudayaan, ekpresi jiwa, sarana pemujaan, seni, identitas, serta sebagai saksi bisu. Jika dihayati dan dirasakan makna patung tidak akan habis dibicarakan. Patung juga kerap dijadikan sebuah icon dari setiap kabupaten. Patung Catur Muka digunakan sebagai icon Kota Denpasar, Patung Dewa Ruci menjadi icon Kabupaten Badung, Patung Kebo Iwa menjadi icon Gianyar, Patung Kanda Pat Sari menjadi icon Klungkung, dan lain-lain. Semua ini adalah karya-karya yang telah mendapat tempat di hati masyarakat. Keberadaan patung-patung ini telah membangun spirit peradaban.
Patungkarya arsitek Ida Bagus Tugur ini memiliki filosofi penting. Empat patung yang mengambil filosofi “Catur Sanak” bersama-sama memperoleh makna dari mitologi tentang air suci yang berasal dari “Sindu Rahasia Muka”. Patung ini berlatar kisah tentang keempat “saudara” manusia saat lahir yakni ari-ari (Sang Anta), tali pusar (Sang Preta), darah (Sang Kala), dan air nyom (Sang Dengen), usai mendapat anugerah berganti nama menjadi Sang Anggapati (Bhagawan Penyarikan) berkedudukan di timur, Sang Prajapati (Bhagawan Mrcukunda) di selatan, Sang Banaspati (Bhagawan Sindu Pati) di barat dan Sang Banaspatiraja (Bhagawan Tatul) di utara.
Menurut budayawan Klungkung Kanda Pat Sari memiliki arti yakni empat saudara yang sudah memiliki suatu kekuatan murni dari unsur-unsur yang memberikan kebahagiaan dalam kehidupan. Empat saudara tersebut lahir dan mati bersama. Ketika ada seseorang yang jatuh, disana akan dilakukan upacara “Ngenteg Bayu”. Upacara itu dilakukan agar saudara-saudara yang tertinggal disana kekuatannya kembali kepada kita, baik itu ari-ari, tali pusar, darah, dan air nyom.
Meski sering disamakan, filosofi antara Catur Muka dan Kanda Pat Sari sebenarnya sangatlah berbeda. Catur muka memiliki arti yaitu bermuka empat yang dimiliki oleh Bhatara Brahma, yaitu berpengelihatan empat pandangan arah penjuru. Sedangkan Kanda Pat Sari adalah empat saudara yang mewakili dari kiblat masing-masing.
Lalu kenapa bisa beredar berbagai istilah untuk menyebut patung ini? Kondisi seperti ini sudah ada sejak zaman kakek nenek kita. Kurangnya pemahaman dan sosialisasi adalah penyebab utama kesalahpahaman masyarakat. Sejak awal masyarakat cenderung menyebut patung itu adalah Patung Catur Muka, sehingga tertanamlah jika itulah penyebutan yang sebenarnya.
Pemerintah sendiri telah memberikan perhatian khusus terhadap patung ini. Terbukti dengan adanya berbagai perawatan dan juga aksesoris lampu yang ditambahkan. Tak hanya pemerintah, namun segenap masyarakat juga harus ikut berkontribusi dalam menjaga eksistensi patung ini sehingga tidak ada lagi salah penyebutan icon khas Kabupaten Klungkung. —sumber