Kata kasta berasal dari bahasa spanyol atau portugis (casta) yang artinya pembagian masyarakat. Kasta yang sebenarnya merupakan perkumpulan tukang-tukang atau orang-orang ahli dalam bidang tertentu. Pembagian manusia dalam masyarakat agama Hindu (Bangsa-bangsa Kerajaan Nusantara).
Dalam agama Hindu sebenarnya tidak ada atau tidak mengenal istilah kasta. Istilah yang termuat dalam kitab suci Veda adalah Warna. Apabila kita mengacu pada Kitab Bhagavadgita, maka yang dimaksud dengan Warna adalah Catur Warna, empat pilihan hidup atau empat pembagian dalam kehidupan berdasarkan atas bakat (guna) dan ketrampilan (karma) seseorang, serta kwalitas kerja yang dimiliki sebagai akibat pendidikan, pengembangan bakat yang tumbuh dari dalam dirinya dan ditopang oleh ketangguhan mentalnya dalam menghadapi suatu pekerjaan. Sementara itu, yang muncul dalam kehidupan masyarakat Bali adalah Wangsa, yaitu sistem kekeluargaan yang diatur menurut garis keturunan.
Pembagian Catur Warna
Catur Warna dibagi atau dikelompokkan menjadi 4, yaitu:
- Brahmana, Disimbulkan dengan warna putih, adalah golongan fungsional di dalam masyarakat yang setiap orangnya menitikberatkan pengabdian dalam swadharmanya di bidang kerohanian keagamaan. Jika dalam kasta diberi gelar Ida Bagus (laki-laki) dan Ida Ayu (perempuan).
- Ksatrya, Disimbulkan dengan warna merah adalah golongan fungsional di dalam masyarakat yang setiap orangnya menitikberatkan pengabdian dalam swadharmanya di bidang kepemimpinan, keperwiraan dan pertahanan keamanan negara. Jika di dalam kasta di beri gelar Anak Agung.
- Wesya, Disimbulkan dengan warna kuning adalah golongan fungsional di dalam masyarakat yang setiap orangnya menitikberatkan pengabdiannya di bidang kesejahteraan masyarakat (perekonomian, perindustrian, dan lain- lain). Jika dalam kasta diberi gelar Gusti Bagus (laki-laki) dan Gusti Ayu (perempuan).
- Sudra, Disimbulkan dengan warna hitam adalah golongan fungsional di dalam masyarakat yang setiap orangnya menitikberatkan pengabdiannya di bidang ketenagakerjaan. Jika dalam kasta tidak terdapat gelar. Biasanya Diberi nama depan Wayan, Made, Nyoman, dan Ketut.
Sejarah Adanya Kasta
Di Indonesia Kasta tidak pernah ditemukan sampai akhir kerajaan Hindu Majapahit abad 14 akhir. Kasta baru ada di Indonesia setelah kerajaan Hindu Majapahit runtuh. Bukti dari tidak adanya kasta pada masa kerjaan Majapahit bisa dilihat pada beberapa contoh seperti
- Mpu Sendok, seorang Brahmana, anak-anaknya menjadi Ksatrya di Medang Kemulan.
- Patih Gajah Mada, Perdana menteri Majapahit, lahir dari keluarga yang tidak diketahui ( bukan darikeluarga atau keturunan Ksatrya maupun Brahmana), Kemudian menjadi Ksatrya terkemuka Indonesia sepanjang sejarah Indonesia
- Damar Wulan, Seorang pengangon kuda ( tukang arit rumput ), kemudian bisa menjadi Raja (Ksatrya) di Majapahit dan berganti nama menjadi Brawijaya.
Itu merupakan beberapa contoh saja dan masih banyak lagi pembuktiannya. Dari itu bisa disimpulkan bahwa pada masa kerajaan Majapahit siapapun dan latar belakang apapun mereka dapat menjadi seorang dengan kasta Ksatrya, bukan berdasarkan keturunan tapi melalui sebuah proses serta ketrampilan yang dimilikinya.
Kasta dibali dimulai ketika Bali dipenuhi dengan kerajaan-kerajaan kecil dan Belanda pun datang mempraktekkan politik pemecah belah, kasta dibuat dengan nama yang diambilkan dari ajaran Hindu, Catur Warna. Lama-lama orang Bali pun bingung, yang mana kasta dan yang mana ajaran Catur Warna. Kesalah-pahaman itu terus berkembang karena memang sengaja dibuat rancu oleh mereka yang terlanjur “berkasta tinggi” pada masa itu. Sehingga terjadilahi polemik (pro dan kontra) masyarakat Hindu di Bali, dalam pemahaman dan pemaknaan warna, kasta, dan wangsa yang berkepanjangan.
Sejarah Pro dan Kontra Kasta di Bali
Penolakan sistem Kasta yang dikait-kaitkan dengan Agama Hindu bukannya tidak pernah ada, bahkan saat gagasan pengadopsian Catur Warna menjadi empat kasta dimunculkan, para Cendikiawan Hindu maupun yang perduli akan perkembangan Agama Hindu sudah bereaksi memprotesnya, misalnya dengan terbitnya Surya Kanta, koran berbahasa Melayu di Bali tahun 1920-an. Tetapi gempuran para Indolog pendukung kastaisme ditambah dukungan penguasa pribumi boneka kolonialis dan “Brahmana palsu”, lebih dahsyat dari pada yang menentang kastaisme. Terlebih lagi kondisi umat Hindu saat itu tidak berdaya oleh kolonialisme, sehingga konsep kaku kasta maupun aturan-aturannya tetap dijalankan, meski terus mendapat penentangan.
Pada tanggal 20 Juni tahun 1916 warga Desa Lodjeh, Karangasem, memprotes keputusan Raad Van Kerta, disusul pada bulan Mei 1917 warga Desa Sukawati Gianyar. Dengan todongan bedil kolonialis Belanda, protes-protes tersebut dapat dipadamkan dengan dibayar nyawa warga Umat Hindu yang tidak berdaya. Pada kasus Sukawati sebanyak 5 orang umat Hindu mati dibunuh, 11 orang luka-luka dan 26 orang ditangkap dan di jual sebagai budak.
Perkembangan Kasta Di Jaman Modern
Pada dewasa ini seiring dengan perkembangan jaman, masyarakat Bali sendiri sebagian besar sudah mulai memudarkan paham kasta dan hanya sebagai formalitas pada nama saja. Tidak lagi membeda-bedakan, siapa saja bisa menjadi pemimpin asal mempunyai ketrampilan dan sikap teladan. Meskipun demikian masih ada yang memegang prinsip kasta itu. Seperti contohnya dalam perkawinan, tidak dibolehkan menikah dengan kasta yang berada dibawahnya. Tentu hal ini merupakan sebuah hak setiap orang karena sejatinya setiap orang mempunyai sudut pandang yang berbeda-beda.
Kesimpulannya menurut kami adalah kasta itu sendiri tidak perlu dihilangkan karena itu sudah melekat dengan Bali akan tetapi yang perlu dihilangkan adalah sikap membeda-bedakan seseorang seperti memandang rendah atau memandang tinggi seseorang melalui kastanya. Jika terdapat penjelasan dan sejarah yang kurang tepat pada artikel ini. Mohon maaf dan mari kita koreksi bersama. Suksma…–sumber