BALI EXPRESS, UBUD – Dalam rentetan pelaksanaan hari Galungan dan Kuningan, di masing-masing desa adat mempunyai dresta (kebiasan) yang berbeda. Seperti yang dilaksanakan oleh krama Desa Sayan, Ubud, Gianyar yang melakukan ngunya (ngiring sasuunan). Yaitu mamundut (mengikuti) Ida Sasuhunan di Pura Dalem ke wilayah desa.
Matahari sore itu sangat panas dirasakan oleh krama Desa Sayan, Ubud Gianyar. Padahal, posisi matahari pada Hari Raya Kuningan, Sabtu (11/11), itu sudah condong ke barat. Sebab, waktu sudah menunjukkan pukul 15.00. Atau bertepatan dengan dimulainya ritual ngunya di sana. Saat itu, Ida Sesuhunan mulai memargi dari selatan Desa.
Untuk diketahui, prosesi ngunya ini diawali dari selatan desa sesuai dengan kesepakatan warga. Sebelumnya, warga sudah melakukan prosesi ngiasin sasuhunan. Setelah ngiasin (berhias) sasuhunan, ada upacara matur piuning. Bertujuan untuk memberitahukan bahwa saat itu akan dilaksanakan ngunya ke masing-masing wilayah desa. Pada prosesi di banjar masing-masing melaksankan prosesi maprani, segehang, dan dilanjutkan nunas ica untuk mohon keselamatan.
“Kalau dulu dilaksanakan pada sandikala. Karena memang tepatnya pada jam-jam seperti itu harus memargi. Mungkin karena terlalu malam selesai, maka dibicarakan dan menghasilkan keputusan dimulai agak siang,” terang Pemangku Pura Dalem Gede Sayan, Ketut Weda.
Ritual ini bertujuan untuk menetralisir hal jahat yang ada di wilayah desa setempat. Menurut Mangku Weda, berdasarkan tattwa, yaitu pelaksanaan ngunya tersebut berasal dari salah satu kitab suci agama Hindu. Yaitu Siwa Gama, yang bertujuan untuk melawan hal yang jahat. “Sebenarnya sama saja seperti pelaksanaan ngelawang lainnya. Sebagai penetralisir sifat-sifat jahat, dan dianggap mengganggu warga,” jelas pria 54 tahun tersebut.
Dirinya mengatakan pelaksanaan ngunya pada umumnya baru memulai sasih keenam. Sedangkan akhir dari pelaksanaan ngunya pada sasih ke-sanga (sembilan). Tetapi pelaksanaan ngunya dilaksanakan sesuai dresta dan kesepakAtan desa setempat.
Di Desa Sayan sendiri menurut Mangku Weda dilaksanakan setiap enam bulan sekali, yakni bertepatan pada Hari Raya Kuningan.Tetapi pada hari pegat tuakan, merupakan pengujung dari perayaan hari Galungan, juga aka nada ritual lagi.
“Sesuai dengan dresta di sini, walaupun saat Kuningan sasuhunan yang malinggih di Pura Dalem sudah ngunya. Namun saat pegat tuakan tetap juga diupacarai. Yaitu ada yang disebut dengan nebasin. hanya saja pelaksanaannya di areal Pura Dalem saja,” papar pria PNS Pemkab Klungkung tersebut.
Selain untuk menetralisir hal yang negatif, ia juga mengatakan sebagai salah satu cara agar desa setempat tidak mengalami kabrebehan (musibah). Baik itu berupa gangguan secara sekala maupun niskala. Maka setiap ngunya di masing-masing banjar harus dihaturkan sebuah sesajen, dan masyarakat masing-masing banjar melaksanakan persembahyangan. Seperti yang terjadi pada saat prosesi ngunya, Sabtu lalu (11/11).
Setelah mengelilingi seluruh desa, Ida Sesuhunan menuju Pura Dalem. Saat itu, tiba-tiba langit mendung lalu hujan lebat sampai Ida Sesuhunan dilinggihkan di Gedong .
Menurut Mangku Weda, ini adalah fenomena alam yang selalu terjadi setiap enam bulan sekali. Menurutnya, saat awal prosesi ngunya selalu diikuti cuaca yang sangat panas. Dan, ketika Ida Sesuhunan akan dilinggihkan, maka tiba-tiba hujan lebat mengguyur seluruh warga yang mengikuti prosesi ini. Hal itu diyakini sebagai perlambang kesuburan dan kesejahteraan akan dialami desa setempat.
Salah satu kelihan adat, I Made Sadawan mengungkapkan rasa ketakjubannya dengan fenomena tersebut. Karena setiap ngunya dan Ida Sasuhunan sudah mendekati Pura Dalem kembali, pasti hujan turun dan membasahi pemedek semua yang ngiring.
“Kalau diingat-ingat setiap enam bulan pasti seperti itu, pada awal mau lunga disambut dengan panas teriknya matahari. San ketika akan dilinggihkan kembali akan disambut juga dengan hujan yang lebat,” papar pria 53 tahun tersebut.
Sada juga mempercayai bahwa fenomena tersebut berkaitan dengan tedunnya Ida Sasuhunan di Pura Dalem. Di mana sebagai menetralisir hal yang negatif di skala dan niskala. Bahkan merupakan salah satu rasa keharmonisan pemedek dengan sasuhunan. Sebab hujan yang turunnya secara tiba-tiba muncul menjelang dilinggihkan ke gedong. Namun ajaibnya setelah malinggih akan terang kembali.
Sementara, Mangku Weda juga menjelaskan terdapat beberapa pantangan dalam prosesi ngunya ini. Terdiri atas yang cuntaka tidak boleh ikut dalam ngunya tersebut. Baik halangan dalam diri ataupun ada keluarga yang meninggal dunia.
Namun ia juga menjelaskan tujuh hari sebelum prosesi ngunya dilaksanakan, prosesi upacara atiwa-tiwa (kematian) tidak boleh dilakukan oleh masyrakat setempat.
(bx/ade/yes/JPR) –sumber