Wanita mampu mengambil pekerjaan laki-laki. Tapi laki-laki belum tentu mampu menggantikan, mengambil pekerjaan seorang wanita. Ungkapan itu ada benarnya. Contohnya di Bali, wanita Bali mampu dan terampil mencangkul di sawah, menyabit (ngarit) rumput untuk ternak sapi, jadi buruh bangunan hingga membawa beban berat di kepala.
Laki-laki belum tentu mampu berkutat metanding membuat banten, ngurus anak, keluarga sekaligus menyelesaikan urusan di dapur. Wanita Bali nyaris tidak ada waktu untuk rehat dari pagi hingga petang bahkan malam hari. Wanita Bali memang senantiasa sibuk. Sibuk untuk keluarga, dapur, menyangga ekonomi keluarga, mejejahitan, adat dan upacara.
Usaha salon jarang dan susah bisa berkembang di desa. Kenapa ? Wanita Bali berumah tangga merasa malu pergi ke salon. Pergi ke salon apalagi sering, segera akan dicap malas. Kalaupun pergi ke salon, itupun kalau ada kegiatan lomba desa atau ada odalan yang jatuhnya 6 bulan sekali. Usaha (salon) mana yang bisa bertahan kalau hanya didatangi konsumen tiap 6 bulan sekali ?
Tapi aktivitas mejejahitan hampir tidak ada putus dilakoni wanita Bali. Jauh-jauh hari sudah menyiapkan banten untuk mererainan, purnama-tilem, odalan, pepeson banten untuk di banjar, hari-hari raya dan seterusnya nyaris tidak pernah putus. Bahan busung (janur) dan ibung tidak pernah lepas dari tangan dan keseharian wanita Bali.
Kalau pergi ke pasar atau ke warung, wanita Bali tidak cukup sebatas untuk membeli kebutuhan dapur saja, ia tidak akan lupa untuk membeli busung (janur), bunga atau canang. Sebagai bahan persiapan membuat sarana upacara. “Pang ade gaenin jumah sambilang ngoyong. Rainan suba paek,” begitu alasannya. Jadi sesungguhnya tidak bakal ada waktu ngoyong atau diam.
Setinggi-tingginya wanita Bali menempuh pendidikan, akan tiba waktunya untuk menempuh “pendidikan tradisi” untuk mengenal dan membuat sarana upacara (bebantenan). Semegah apapun kantor tempatnya bekerja, ia akan kembali dibawa ke “rumah tradisi”. Begitupun kalau ada kegiatan kesenian wanita Bali juga mengambil peran sejajar dengan laki-laki. Maka sekaa-sekaa gong wanita pun bermunculan, hingga beradu pentas di Pesta Kesenian Bali.
Begitulah wanita Bali, disamping sebagai ibu rumah tangga, penyangga ekonomi keluarga, Wanita Bali adalah “benteng hidup” bagi tradisi, adat dan budayanya. Mereka, wanita-wanita Bali ini juga sebagai penerus dan pengawal warisan adat dan budaya Bali. Dalam kelembutannya, dalam keeksotisan wanita Bali, tersimpan kekuatan penjaga sekaligus pelaku adat, tradisi dan budayanya beserta nilai-nilai luhur yang dikandungnya. –sumber