“Kwalitas hubungan Anda dengan orang-orang dekat, itulah praktik spiritual Anda yang paling dalam”, itu pesan seorang Guru. Setiap sahabat yang meditasinya mendalam tahu, kwalitas hubungan kita dengan orang-orang dekat, khususnya orang dekat yang tidak bisa dipilih seperti orang tua dan anak-anak, adalah cermin yang sangat jujur tentang keindahan hati seseorang di dalam.
Mirip dengan berkaca pada cermin yang bersih dan jernih, keindahan orang-orang dekat adalah pantulan dari keindahan jiwa di dalam. Sedihnya, di zaman ini sedikit ada manusia yang bisa melihat keindahan dirinya di orang-orang dekat. Itu sering terjadi, terutama karena hubungan pernikahan bisa menjadi hubungan yang membakar, bisa juga membuat jiwa jadi mekar. Semuanya tergantung pada seberapa cerdas seseorang bertumbuh di sana.
“Racun di tangan kirimu, madu di tangan kananmu”, begitu bunyi sebuah lirik lagu di zaman dulu. Sekaligus begitu juga wajah pernikahan yang diisi oleh jiwa-jiwa gelisah. Pagi mereka berpelukan bersama madu saling menyayangi, sore mereka bertengkar karena racun perselisihan. Ini terjadi karena seseorang mengidentikkan dirinya dengan pikiran kuat, lengkap dengan salah-benar, serta buruk-baik di dalamnya.
Semakin keras pikiran seseorang, semakin keras juga bandul racun-madu, sedih-senang, duka-senang berguncang. Ujungnya mudah ditebak, pasangan pernikahan lelah kemudian terjun ke jurang musibah. Ringkasnya, pikiran kuat membuat seseorang memiliki cinta yang berlawananan dengan benci. Saat pasangan hidup tidak cocok dengan selera, benci muncul di dalam. Tatkala pasangan hidup menyenangkan, cinta muncul di dalam. Begitulah bandul pernikahan bergoyang dari hari ke hari.
Belajar dari runtuhnya banyak sekali pernikahan oleh perceraian, layak merenungkan ulang pesan tua yang berbunyi seperti ini: “Begitu hubungan Anda dengan diri yang kerdil berhenti, di sana semua hubungan akan menjadi hubungan cinta kasih”. Merasa diri lebih begini lebih begitu, itulah yang dimaksud dengan diri yang kerdil. Itu juga yang membuat pernikahan jadi mudah terbakar dan bubar.
Sebelum Anda dijemput oleh masa tua yang berbahaya – badan lemah, sakit-sakitan, takut mati, tidak ada yang merawat, anak-anak lari entah ke mana, pasangan hidup kabur – mari belajar menjauh dari diri yang kecil dan kerdil. Tidak mudah tentu saja. Namun siapa saja yang bisa menjauh dari diri yang kerdil ini, ia akan mengerti pesan sebuah buku suci: “No self no problem”. Begitu diri kerdil menghilang, semua masalah juga menghilang.
Sebagai pedoman praktis untuk bertindak, tiga langkah berikut ini akan sangat membantu perjalanan jiwa kemudian. Pertama, tatkala malam terang benderang penuh dengan bintang-bintang, renungkan dalam-dalam kalau bumi hanya salah satu planet kecil di tengah gugusan bintang-bintang yang jumlahnya tidak berhingga. Dan sehebat apa pun manusia, ia hanya mahluk kecil di planet yang juga kecil.
Kedua, setiap kali memasuki keramaian, latih diri untuk menyadari kalau Anda bukan yang paling hebat di sana. Sebaliknya renungkan dalam-dalam, bunga di hari ini akan jadi sampah di hari berikutnya. Orang-orang hebat di hari ini akan dilupakan orang di waktu berikutnya. Apa yang membuat Anda senang di hari ini, akan membuat Anda sedih di waktu lain. Seperti itulah hukum di alam ini. Ada yang menyebutnya dengan God as a law (Tuhan sebagai sebuah hukum).
Ketiga, sebagaimana dilakukan oleh jiwa-jiwa yang dalam, sekali-sekali latih diri untuk “mati sebelum mati”. Maksudnya, sebelum kematian betul-betul menjemput, tidak ada salahnya membayangkan kalau diri Anda sudah tidak ada. Setiap kali meninggalkan rumah menuju kantor, ucapkan ke diri sendiri kalau Anda mati di rumah terlahir di kantor. Kapan saja orang dekat sangat mengecewakan, ingatkan diri Anda kalau bagian tertentu dari diri Anda sedang mengalami kematian.
Jika tekun berlatih seperti ini, suatu hari Anda akan berhenti menghakimi diri kemudian berhenti menghakimi orang lain. Anda akan belajar mendengar orang lain dengan pikiran yang jauh lebih terbuka. Puncaknya, seseorang akan bisa menerima apa-apa yang sebelumnya tidak bisa diterima. Jiwa seperti inilah yang bisa merawat keluarga menjadi taman jiwa terindah. Di tingkat ini, cinta tidak lagi berpasangan dengan benci. Pernikahan tidak lagi bergoyang dalam bandul benci tapi rindu. Di taman jiwa seperti ini sering terdengar pesan begini: “Ukuran terindah cinta adalah mencintai tanpa pernah mengukurnya. Hadiah terindah cinta adalah cinta itu sendiri”.
Penulis: Guruji Gede Prama.
Photo: Daily.jstor. –sumber