Pada akhirnya jiwa hanya membutuhkan kedamaian, demikian sering terdengar di dunia spiritual mendalam. Buku suci Weda bahkan secara eksplisit menyebutkan: “Kedamaian adalah wajah Tuhan yang paling tinggi”. Kendati pesan ini sudah berumur sangat tua, manusia sudah melakukan terlalu banyak upacara, tapi tetap saja manusia yang penuh kedamaian sangat-sangat langka.
Lingkungan yang semakin rumit adalah salah satu sebab di balik langkanya kedamaian. Semakin kerasnya cengkraman keinginan dan kekuasaan adalah sebab lain. Perlombaan tiada akhir untuk selalu disebut lebih juga sebentuk racun kedamaian. Namun di atas semua itu, yang paling menentukan adalah keindahan taman jiwa seseorang di dalam.
Sahabat-sahabat yang bertumbuh jauh di jalan meditasi mengerti, tangga pertama yang mesti dilewati seorang pencari kedamaian adalah drama tua tentang diri yang palsu. Agar wajah diri yang palsu ini lebih konkrit, coba bayangkan seseorang yang pernah melukai jiwa Anda sampai dalam sekali. Emosi yang memanas, pikiran yang diseret amarah, bibir yang spontan bercerita buruk, itulah bentuk konkrit diri yang palsu.
Diri seperti inilah yang membuat tembok tinggi-tinggi sehingga seseorang kehilangan kesempatan untuk mengalami keterhubungan. Bagi manusia yang tidak disentuh meditasi mendalam, diri palsu ini terus menerus membesar. Terutama dengan cara menjelekkan orang, menyebut diri lebih tinggi, mengatakan orang lain sesat. Diri yang palsu ini terus menerus membesar. Ia bisa berujung pada penyakit kronis, keluarga yang berantakan, atau jiwa yang masuk jurang berbahaya.
Sebelum diri yang palsu ini membuat kehidupan betul-betul terbakar, sangat disarankan untuk menyembuhkan diri dengan langkah ke dua. Yakni mempraktikkan kesadaran penuh (mindfulness). Dalam bentuknya yang sederhana namun mendalam, kapan saja diri yang palsu datang dengan wajah pikiran yang penun amarah, atau emosi yang mau terbakar, belajar hadir sepenuhnya di sana.
Konkritnya, tidak perlu memberi judul negatif. Tidak perlu melawan. Lihat ia seperti anak-anak yang melihat semuanya dengan mata yang polos apa adanya. Yang dibutuhkan dari Anda hanya pikiran yang bersih dan jernih. Perasaan yang hening dan bening. Sebagai bahan renungan, kehidupan yang selalu aman dan nyaman tidak ada. Bahkan Avatara (reinkarnasi Tuhan) seperti Sang Rama dan Shri Krisna harus bertempur, Sang Buddha berkali-kali mau dilukai orang.
Oleh karena itu, lupakan mimpi untuk memiliki kehidupan yang selalu nyaman. Kemudian latih diri agar bersahabat dekat dengan ketidaknyamanan. Awalnya ketidaknyamanan menimbulkan ketegangan di dalam. Tapi kalau seseorang tidak berreaksi, membiarkan ia lewat bersama sang waktu seperti membiarkan ombak berlalu di pantai, lama-lama cengkraman ketidaknyamanan melemah.
Sejalan dengan melemahnya cengkraman ketidaknyamanan, kwalitas kedamaian di dalam mulai bertumbuh sehat. Lebih-lebih kalau benih kedamaian ini disirami dengan praktik meditasi mendalam, lingkungan yang mendukung, serta bersahabat dekat dengan ajaran suci. Persoalan waktu jika diberkati, benih kedamaian ini akan berbunga indah.
Bunga indah kedamaian inilah yang membuat seseorang bisa memasuki tangga yang ke tiga. Sebagaimana ombak tidak perlu berjuang menjadi air, mirip dengan kupu-kupu yang tidak perlu mempercantik dirinya agar tampak indah, manusia yang sudah bersahabat dekat dengan ketidaknyamanan, tidak perlu berjuang untuk menjadi baik. Sifat alami hati mereka penuh kebaikan.
Bagi jiwa-jiwa jenis ini, mereka melaksanakan kebaikan bukan karena takut neraka, bukan juga karena rindu surga. Tapi karena menemukan kebahagiaan dan kedamaian dengan cara melaksanakan kebaikan. Ia senatural kupu-kupu yang memperindah taman, sealami burung-burung yang bernyanyi setiap hari. Dalam bahasa tetua Tibet, musim hujan tidak menambahkan jumlah air di alam. Musim kemarau tidak mengurangi jumlah air di alam. Demikian juga dengan sedih-senang, duka-suka. Ia tidak melakukan pengurangan, tidak melakukan penambahan. Semuanya mengalir damai apa adanya.
Penulis: Guruji Gede Prama.
Photo: Twitter GaillardoJose.