BALI EXPRESS, TEGALLALANG – Tradisi ngerebeg, diselenggarakan sehari sebelum piodalan di Pura Duur Bingin, Desa Tegallalang. Tradisi itu dilaksanakan oleh anak-anak, sampai sekaa teruna. Sebagai pertanda rencangan (penjaga) yang ada di sana sangat senang dengan anak-anak.
Hal itu diungkapkan oleh Bendesa Parakaman Tegallalang, I Made Jaya Kesuma saat pelaksanaan ngrebeg, Rabu kemarin (6/12). Menurutnya, jika anak yang berkeinginan ngayah harus diizinkan. Jika tidak, maka akan menjadikan sebuah mala petaka.
Tradisi itu bersamaan dengan rentetan pujawali di Pura Duur Bingin. Jaya Kesuma mengatakan pengamong pujawali dilakukan secara bergilir. Tetapi dalam tradisi ngerebeg tersebut, bisa seluruh warga desa. Bahkan luar desa juga diperbolehkan.
“Pelaksanaan piodalan di sini diselenggarakan secara berputar. Ketika satu banjar melaksanakan piodalan di Pura Dalem Kangin, maka piodalan di Pura Duur Bingin banjar tersebut juga yang ngamong,” terang Kesuma ketika diwawancarai Rabu kemarin (7/12).
Dalam kesempatan itu, dirinya juga menjelaskan bahwa di Desa Pakraman Tegallalang sendiri memiliki dua pura dalem. Terdapat Pura Dalem Kangin, dan Pura Dalem Kauh. Maka dalam prosesi pelaksanaan di Pura Duur Bingin diamong secara bergantian. Meskipun secara bergantian, Kesuma menerangkan yang ikut ngerebeg tidak pernah dengan pengayah yang sedikit.
Diakarenakan setiap pelaksanaan ngerebeg, ia mengatakan bahwa harus dijalankan dengan keinginan sendiri. Terlebih memang dari keinginan anak-anak yang mau ngayah.
“Sebab dulu pernah ada yang melarang untuk ikut ngerebeg, karena dianggap masih kecil. Sehingga beberapa hari setelah piodalan di sini, orang tersebut masuk ke dalam jerami yang dibakar. Karena tempatnya yang seperti lubang di areal persawahan. Bahkan mengakibatkan kulitnya melepuh mengalami luka bakar,” papar pensiunan guru tersebut.
Maka sampai saat ini, Jaya Kesuma mengakui tidak ada yang berani lagi untuk menghalangi kemauan anaknya untuk ngayah ngerebeg.
Sebelum pelaksanaan negerebeg dimulai, prosesi pecaruan dilakukan terlebih dulu. Yang ia katakan sebagai pembersih secara niskala di areal pura. Setelah itu baru sasuhunan yang ada di sana dilinggihkan pada gedong. Bahkan pujawali di sana nyejer salama tiga hari.
Setelah pecaruan selesai, dilanjutkan untuk nunas pica alit. Yang berisi nasi dan lawar saja, di mana dibungkus menggunakan daun pisang. Kesuma juga menerangkan, selesai nunas pica alit ada yang disebut dengan nunas pica ageng. Yang berisi adonan lawar saja, namun dengan porsi yang lebih banyak. Alasnya digunakan sebauh klakat (bambu yang dirangkai) dan daun pisang. Baru saat itu dilakukan magibung dengan serentak pada penataran pura.
Selesai magibung, Jaya Kesuma juga menjelaskan ada pelaksanaan malukat terlebih dahulu. Sambil mempersiapkan pelaksanaan tradisi ngerebeg tersebut. Yang ia katakan berawal dari jaba pura, menuju ujung desa pakraman Tegallalang. Melewati Obyek Wisata Ceking, kemudian ke barat menuju Pura Dalem Kauh. Di sana akan melewati sebuah persawahan, yang akan sampai Pura Duur Bingin kembali.
Disinggung Sasuhunan yang malinggih di sana, Jaya Kesuma mengaku hanya terdapat tiga Sasuhunan saja. Yang pertama ada Sasuhunan berupa rangda, dan Sasuhunan berupa barong landung lanang – istri. Bahkan ia juga mengaku, kalau pecaruan yang diselenggarakan saat ini menggunakan seekor anak sapi (godel). Di mana yang dilaksanakan setiap tiga tahun sekali.
“Pecaruan yang menggunakan sarana anak sapi ini, bertujuan untuk menyelenggarakan sebuah taur. Yaitu suatu upakara terkait status Gunung Agung saat ini. Semoga dari pecaruan yang diselenggarakan di sini, sebagai salah satu langkah untuk membuat situasi tetap kondusip. Agar bencana ini tidak sampai memakan korban satu pun,” tandas Jaya Kesuma.
Ditemui di jaba pura, salah satu pemangku, Jero Mangku I Made Muda menerangkan rentetan upakara yang akan berlangsung. Setelah ngerebeg dilaksanakan, maka ada yang disebut dengan malasti. Yaitu Sasuhunan lunga ke beji yang ada di wilayah desa setempat. Sedangkan keesokan harinya, dilaksanakan prosesi pujawali di Pura Duur Bingin. Yang bertepatan pada Umanis Buda Kliwon Pegat Uwakan.
“Saat piodalan berlangsung, dilakukan upacara ngingsah dan nyangling. Yang merupakan suatu prosesi menggunakan sebuah beras untuk dibersihkan. Pertanda bahwa pujawali akan segera dilaksanakan,” terang pria 40 tahun tersebut.
Ditanya apa saja yang dibawa saat ngerebeg, Jero Mangku Muda menjelaskan hanya membuat hiasan pada diri nampak seperti wong samar. Dan membawa sebuah penjor dari pohon enau dihiasi juga dengan bunga dan janur. Penjor tersebut ia terangkan sebagai senjata rencangan tersebut ketika malancaran (bepergian). Dan itu diselenggarakan agar rencangan di sana tidak ngera bedha (mengganggu) masyarakat.
Salah satu peserta yang ikut ngerebeg, I Gede Pasek Manik Pradana mengaku sudah ikut tradisi itu sejak dirinya TK. Bahkan setiap enam bulan sekali ia selalu mengikuti tradisi tersebut. Pasek juga mengatakan, makna dari nunas pica alit itu merupakan persembahan kepada anak-anak yang ikut ngerebeg. Dikarenakan wong samar sangat menyukai sosok anak-anak.
“Maka saat anak-anak sudah berkumpul di pura, terlebih itu akan mengikuti ngerebeg. Semua pasti akan merasakan sebuah kegembiraan. Saat macaru juga sambil bersorak-sorak menunjukkan kebahagiaan,” urai pemuda 25 tahun tersebut.
Selesai melakukan teradisi ngerebeg, Pasek juga mengaku akan kembali ke pura untuk melakukan persembahyangan lagi. Sebab selama ikut ngerebeg dianggap masih sebagai tapakan wong samar. Sehingga ke pura lagi untuk mengembalikan tapakan tersebut. Kemudian dilanjutkan dengan membersihkan diri ke sungai, yaitu di beji Pura Taman desa setempat.
Ditanya dengan pewarna yang digunakan pada tubuhnya, Pasek mengaku menggunakan cat air yang sangat gampang dibersihkan dengan air. Bahkan Pasek juga mengaku tidak merasakan gatal pada kulitnya. Sebab sudah terbiasa menggunakan cat tersebut, terlebih yang ia gunakan pada tubuhnya setiap ngerebeg berlangsung.
Jika penasaran dengan berlangsung dengan tradisi tersebut, bisa datang langsung ke Desa Tegallalang, Gianyar. Yang ditempuh dari Kota Denpasar memerlukan waktu sekitar 45 menit saja. Menuju arah Pasar Sukawati ke utara, maka akan sampai di Patung Arjuna Ubud. Dari sana hanya lurus ke utara lagi tiga kilometer, maka akan sampai di Desa Tegallalang.
Sampai di sana, hanya belok kiri di utara Balai Banjar Penusuan, Tegallalang. Maka akan sampai di Jaba Pura Duur Bingin Desa Adat Tegallalang. Sedangkan tradisi tersebut berlangsung pada pukul 12.00 sampai sore hari. Kalau memang berminat, siapa saja boleh ngayah berhias seram tersebut.
(bx/ade/bay/yes/JPR) –sumber