Usaba Dodol, berlangsung setiap tahun di Desa Duda, Kecamatan Selat, Kabupaten Karangasem, Bali. Tradisi ini dilaksanakan saat Tilem Kesanga, di Pura Dalem Selat, sehingga sering disebut Usaba Dalem. Keunikan tradisi ini, membuat masyarakat dan wisatawan berdatangan ke Selat tepat sehari sebelum Hari Raya Nyepi, khusus untuk menyaksikan kemeriahan Usaba Dodol. Bayangkan saja, jika biasanya masyarakat lumrah menemukan dodol berukuran kecil dan beratnya hanya sekitar 100 gr, mendadak disuguhi pemandangan mencengangkan karena menyaksikan dodol yang beratnya bisa mencapai 150 – 200 kg. Saking besar dan beratnya dodol itu, sehingga harus ditandu puluhan lelaki dewasa. Selain menemukan dodol ‘raksasa’, tradisi usaba pun tidak kalah unik.
Sebelum tradisi dilangsungkan, maka jero desa akan beramai-ramai ‘berburu’ pisang kayu di kebun-kebun penduduk. Perburuan itu dilakukan 27 orang dan dilakukan pagi hari sekitar pukul 06.30 wita. Ada sejumlah persyaratan pisang kayu yang hendak digunakan sebagai upakara tradisi. Yakni jumlah buahnya 17 buah dalam satu ‘ijas’ dan kondisinya mulus tanpa cacat sedikitpun. Jika pisang tidak diketemukan, maka itu seolah menjadi penanda kalau usaba tidak bisa dilakukan. Pisang kayu memang menjadi simbol ‘nyejerang’ Ida Betara Durga, sehingga menjadi persyaratan wajib, sekaligus menjadi proses awal dari usaba. Apabila pisang kayu telah ditemukan, selanjutkan akan disucikan dan diletakkan di bagian jeroan pura. Acara kemudian berlanjut dengan persembahyangan dan akan di-puput Ida Pedanda. Tatkala persembahyangan usai, di senja harinya pisang kayu akan ditanam sebagai pertanda mengembalikan lagi ke bumi.
Di lain pihak, di antara prosesi persembahyangan itu, beberapa warga akan sibuk menghaturkan dodol berbagai ukuran. Biasanya orang yang mempersembahkan dodol berukuran ‘raksasa’ karena mempunyai kaul. Misalnya, kalau sembuh dari sakit atau kehidupannya membaik, maka akan memberikan persembahan kepada Ida Betara Durga. Sesungguhnya, dodol persembahan itu dibuat dari ketan sebagai bahan utamanya. Masyarakat acapkali menyebutnya jaja uli. Latar belakang jaja uli ini disebut dodol, menurut beberapa penduduk setempat disebabkan sebelum dibawa ke pura, jaja uli itu lebih dulu dibungkus menggunakan upih atau pelepah pinang, sehingga bentuknya menyerupai dodol. Jika dodol berukuran normal, tentu biaya pembuatannya tidak memberatkan. Namun, pada dodol pembayar kaul yang sering ukurannya sangat besar, maka baik biaya maupun pengerjaannya dilakukan beramai-ramai dalam suatu keluarga besar.
Hal ini membuat proses pembuatan dodol sama sekali tidak memberatkan dan justru memperat hubungan kekeluargaan di antara mereka. Bahan untuk membuat dodol adalah ketan, beras, gula dan garam. Kalau dodol yang dibuat berukuran besar, bisa dikerjakan terus-menerus selama empat hari. Selama proses pengerjaan maka dodol harus terus diaduk agar tidak gosong. Pengadukan inilah yang dilakukan bergantian antarkeluarga secara bergiliran sampai akhirnya dodol benar-benar matang. Jika sudah didinginkan, maka dodol itu dibungkus menggunakan pelepah pinang dan dihias menggunakan rangkaian bunga sehingga terlihat menarik. Barulah kemudian dodol siap ditandu untuk dipersembahkan ke Pura Dalem. Setelah dipersembahkan, dodol kembali dibawa pulang, ditandu beramai-ramai. Sesampai di rumah, dodol akan dinikmati bersama-sama oleh keluarga besar. Kegiatan ini benar-benar menyisakan kesan mendalam tentang sebuah persembahan yang ikhlas dan terekatnya lebih erat jalinan hubungan kekeluargaan. –sumber